Penyintas Gempa Sulawesi Barat Mendapat Dana Tunggu Hunian
Pemerintah tidak menyediakan hunian sementara bagi korban gempa di Majene dan Mamuju. Namun, pemerintah mengalokasikan dana tunggu hunian dan bantuan pembangunan rumah tetap.
Oleh
Videlis Jemali/Reny Sri Ayu/Ikhsan Mahar
·4 menit baca
MAMUJU, KOMPAS -- Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana tidak membangun hunian sementara untuk penyintas gempa dengan rumah rusak berat di Kabupaten Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat. Sambil menunggu rumahnya dibangun kembali, mereka menerima dana tunggu hunian Rp 500.000 setiap keluarga per bulan dalam jangka waktu enam bulan.
“Dengan DTH (dana tunggu hunain), penyintas bisa menyewa rumah kos atau tinggal sama keluarga. DTH ini pengganti hunian sementara yang tidak lagi dibangun,” kata Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Rifai di sela-sela rapat koordinasi penanganan bencana Sulawesi Barat di Mamuju, Sabtu (23/1/2021).
Ia menyebutkan hunian sementara (huntara) tak relevan dengan upaya pencegahan pandemi Covid-19. Dengan konsep komunal huntara berpotensi meningkatkan risiko Covid-19.
Alasan lainnya, huntara seperti pada mekanisme penanganan pascabencana di Palu, Sulawesi Tengah, tidak menjadi aset pemerintah daerah atau pusat. Saat rumah penyintas telah dibangun, huntara ditinggalkan. Padahal, pembangunan huntara menyedot anggaran. Di Palu, satu unit huntara dengan 12 kamar menyedot tak kurang dari Rp 400 juta.
Penyintas sebaiknya segera mengurus dokumen kependudukan karena pendataan rumah berbasis nama dan alamat yang jelas. (Ilham Borahima)
Saat ini, pendataan rumah rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan masih berjalan di tingkat desa. Data indikatif ditargetkan bisa diterima dinas terkait pada Selasa (26/1). Data itu lalu diverifikasi dengan basis kartu tanda penduduk, kartu keluarga, titik koordinat rumah, dan foto kerusakan rumah.
Data rumah rusak diharapkan sudah final pada Februari 2021. Jika terpenuhi, pada bulan itu juga pembangunan rumah dimulai. Untuk rumah rusak ringan dan rusak berat dengan anggaran masing-masing Rp 10 juta dan Rp 25 juga, pengerjaan dilakukan mandiri oleh penyintas. Dana ditransfer ke rekening penerima. Untuk rumah rusak berat dikerjakan oleh aplikator atau rekanan. Semua rumah dibangun dengan spesifikasi tahan gempa.
Pemerintah menargetkan rumah rusak berat, rusak sedang, dan rusak ringan selesai dibangun pada Juli 2021. Kepala Dinas Permukiman dan Catatan Sipil Sulbar Ilham Borahima memastikan Pemerintah Kabupaten Mamuju dan Mejene sudah bisa melayani penyintas. Penyintas sebaiknya segera mengurus dokumen kependudukan karena pendataan rumah berbasis nama dan alamat yang jelas.
Pada kesempatan itu, terhimpun data jumlah pengungsi sebanyak 90.000 yang tersebar di 250 titik pengungsian di Mamuju dan Majene. Juru Bicara Satuan Tugas Penanggulangan Bencanan Sulbar Moh Natsir berharap dengan data itu penyaluran bantuan kebutuhan pokok dan perlengkapan lainnya dapat berjalan merata.
Padat pengungsi
Pantauan di tenda-tenda pengungsian sepanjang kota Mejene, Kecamatan Sendana, Tubo Sendana, Ulumanda, Malunda di Majene, hingga Tapalang, Mamuju, Sabtu menunjukkan tenda pengungsian yang padat. Satu tenda pengungsian bisa diisi tiga hingga lebih 10 keluarga.
“Persoalan lain adalah sulitnya air bersih. Untuk keperluan mandi, cuci, buang air, kami mengambil di sungai. Umtuk minum dan memasak kami berharap air bersih dari tangki di posko pengungsian. Sebenarnya kami berharap bisa segera pindah dari tenda pengungsian. Tapi rumah kami hancur,” kata Jamilah (50), pengungsi di Kecamaran Malunda.
Di sepanjang jalan trans Sulawesi antara Majene hingga Mamuju, tenda-tenda pengungsian umumnya didirikan. Sebagian besar berada persis di tepi jalan. Hal ini antara lain menjadi penyebab macet di jalur trans Sulawesi.
Terkait tawaran DTH, sebagian warga masih berpikir. Persoalannya sebagian besar rumah di Malunda dan Ulumanda sudah rawan ditempati. Sebagian berada di ketinggian yang rawan longsor, sebagian lagi berada di pesisir. Untuk menyewa rumah, yang memungkinkan di Sendana, Pamboang atau Kota Majene yang berjarak 60-90-an kilometer.
“Kalau harus mengontrak rumah ke Majene atau tempat yang jauh, lebih baik saya di tenda saja. Kalau di sini kami masih bisa ke kebun jika kondisi sudah aman,” kata Amiruddin (38), warga Desa Kabiraan.
Pasien Covid-19
Rumah Sakit Umum Daerah Sulawesi Barat mencatatkan kenaikan jumlah pasien penderita Covid-19. Hingga kemarin, RSUD Sulbar menangani 252 korban gempa. Dari jumlah itu, ada tujuh korban yang positif dari hasil tes usap antigen yang dilakukan RSUD Sulbar sejak Senin (18/1). Pasien Covid-19 yang menjalani proses rawat inap di rumah sakit itu kini total ada 14 orang.
Kepala Bagian Perencanaan RSUD Sulbar Wahyuddin menuturkan, rumah sakit itu menjadi rujukan utama bagi pasien Covid-19 di Sulbar. Ketika tiga hari awal setelah gempa, lanjut Wahyuddin, RSUD Sulbar belum terlalu ketat memantau potensi penyebaran Covid-19 karena keterbatasan fasilitas penunjang.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, satu pekan terakhir, ada penambahan 16 kasus baru Covid-19. Alhasil, jumlah kasus hingga Sabtu kemarin ialah 2.790 kasus.
Untuk menangani pasien Covid-19, RSUD Sulbar menyiapkan empat tenda di sisi barat gedung utama rumah sakit. Dua tenda besar berwarna jingga yang masing-masing berukuran sekitar 6x12 meter menjadi tempat bagi pasien Covid-19 bergejala berat.
Lalu, satu tenda berukuran serupa berwarna biru, yang berada di sisi utara gedung RSUD Sulbar, diperuntukkan bagi pasien Covid-19 bergejala ringan. Selain itu, ada satu tenda lain untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 dari kluster korban gempa.