Saat Jaringan Internet Jadi Alasan Dokter Tak Berminat ke Daerah Terpencil
Buruk layanan kesehatan di daerah terpencil salah satunya disebabkan kurangnya minat dokter bertugas di sana. Sejumlah kendala jadi alasan.
Pada Minggu 10 Januari 2021 siang, kondisi Zadrak Hayer (67) lemah tak berdaya. Pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tiakur di Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, angkat tangan. Mereka tak punya dokter spesialis jantung untuk menolong Zadrak.
Keluarga pun berembuk lalu memutuskan segera membawa Zadrak ke rumah sakit di kota. Ada dua pilihan, Kota Ambon, ibu kota provinsi Maluku, yang dijangkau dengan perjalanan kapal paling cepat dua hari; atau Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang ditempuh dengan kapal hampir tiga hari.
Untuk dua rute itu, tak ada pelayaran setiap hari. Kadang sekali dalam seminggu, sekali dalam dua minggu, hingga sekali sebulan. Di tengah kekalutan itu, datang kabar bahwa kapal perintis KM Sabuk Nusantara 87 dengan rute Ambon-Kupang akan tiba di Pulau Moa Minggu malam. Keluarga sepakat membawa Zadrak ke Kupang.
Malam itu, KM Sabuk Nusantara 87 tak bisa sandar di pelabuhan lantaran air laut sedang surut. Zadrak dinaikkan ke perahu motor lalu dibawa ke tengah laut, tempat kapal lego jangkar. Zadrak dievakusi ke atas kapal yang segera bertolak menuju Kupang. Melihat kondisi Zadrak, pihak rumah sakit menugaskan dokter Meyke Tahalele mendampingi dalam perjalanan itu.
Satu hari kemudian, KM Sabuk Nusantara 87 baru keluar dari wilayah Maluku setelah menyinggahi beberapa pulau sebagaimana rute normalnya. Pada Selasa, 12 Januari pagi, kapal mulai memasuki Laut Sawu dekat sisi barat Pulau Timor, NTT. Kondisi Zadrak, yang juga menderita beberapa penyakit lainnya itu, semakin lemah. Sementara, waktu tiba di kupang masih sekitar satu hari lagi.
Sayangnya, pada Selasa sekitar pukul 21.18 Wita, saat posisi kapal sekitar 13 mil laut dari Ataputu, Kabupaten Belu, NTT, Zadrak mengembuskan napas terakhirnya. Jenazah Zadrak terus dibawa ke Kupang dan kembali lagi ke Moa mengikuti jadwal kapal tersebut. Total waktu perjalanan hampir satu minggu.
Sebagai pejabat, ini tamparan. Saya sedih dan malu.
Kisah tragis warga yang berjuang mencari pengobatan itu dituturkan Anos Yeremias, anggota DPRD Provinsi Maluku, kepada Kompas. Anos ikut dalam pelayaran tersebut. Ia kebetulan sedang memantau pelayaran keperintisan di Maluku.
Ia pun terlibat saat evakuasi Zadrak ke kapal pada 10 Januari, berlayar ke Kupang, hingga balik lagi mengantar jenazah ke Pulau Moa. ”Kesehatan terlalu mahal. Sebagai pejabat, ini tamparan. Saya sedih dan malu,” ujarnya di ujung telepon.
Baca juga : Hendak Berobat ke NTT, Pasien Asal Maluku Meninggal di Tengah Laut
Bukan baru kali ini pasien dari daerah tersebut berjuang mencari kesembuhan di daerah lain. Bahkan, di Pulau Wetar dan Lirang, yang berada di sisi barat Pulau Moa, warga yang sakit nekat mencari rumah sakit di negara tetangga Timor Leste.
Pasien menggunakan perahu motor nelayan. Bagi pasien gawat darurat, akan dijemput menggunakan pesawat di Pulau Atauro, pulau milik Timor Leste yang berada dekat Lirang. Mereka tak dipungut biaya. Layanan kesehatan dan angkutan, termasuk pesawat itu, gratis. Namun, pada masa pandemi Covid-19 saat ini, mereka tak bisa leluasa ke Timor Leste.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Meikyal Pontoh mengatakan, minimnya akses menyebabkan banyak dokter tidak berminat masuk wilayah terpencil. Akses yang dimaksudnya seperti kelancaran transportasi, listrik, sinyal telepon seluler, dan jaringan internet. Padahal, pemerintah di daerah itu bersedia membayar insentif dokter spesialis hingga Rp 50 juta per bulan.
Lalu, mengapa pemerintah tidak bisa menempatkan dokter spesialis yang merupakan aparatur sipil negara (ASN) di sana?
Baca juga : Rumah Sakit Perbatasan Maluku-Timor Leste Jadi Prioritas
”ASN, kan, diangkat oleh daerah, tetapi kuotanya terbatas. Sudah terbatas, begitu dilakukan seleksi, banyak yang tidak lolos. Saat ini memang Kemenkes (Kementerian Kesehatan) menempatkan tim Nusantara Sehat di daerah-daerah terpencil. Tetapi, permasalahannya, mereka diberi kesempatan untuk memilih, bukan ditugaskan yang bersifat wajib,” jawab Pontoh.
Untuk menjawab kebutuhan dokter spesialis dalam waktu dekat, lanjut Pontoh, Pemerintah Kabupaten Maluku Barat Daya, tempat almarhum Zadrak berasal, sedang mengupayakan mengontrak tenaga-tenaga dokter spesialis. Saat ini, yang tersedia baru dokter spesialis bedah, spesialis lain sedang diupayakan.
”Kami juga berencana membangun kerja sama, semacam Sister City dengan fakultas kedokteran di universitas terdekat, seperti Universitas Hasanuddin Makassar (Sulawesi Selatan). Sebenarnya, rencana ini sejak tahun 2019, tetapi terhambat dengan Covid-19. Memang tidak mudah,” katanya.
Kompas pernah mengikuti bakti sosial kesehatan yang digelar Bank Indonesia Kantor Perwakilan Maluku pada 2017. Di Desa Batu Goyang, Kabupaten Kepulauan Aru, banyak warga sakit menangis haru saat bertemu dokter. Mereka menuturkan, selama hidup, mereka baru pertama kali bertemu dokter dan merasakan sentuhan stetoskop.
Baca juga : Negara Tetangga Masih Jadi Tumpuan Selamatkan Nyawa
Kendati demikian, masih ada dokter yang berminat mengabdi di wilayah terpencil. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan menyekolahkan anak daerah untuk menjadi dokter agar apabila selesai nanti, mereka dapat ditugaskan di daerah mereka. Itu dilakukan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru.
Dokter Verdyanto Saliama yang memberi pelayanan kesehatan pun ikut terharu dengan kondisi itu. Menurut dia, setiap dokter punya keinginan besar untuk bisa melayani masyarakat, terutama mereka yang membutuhkan. Namun, di sisi lain, dokter juga perlu mempertimbangkan keselamatan dirinya.
Sebelum menangani pasien, dokter harus sehat.
Untuk bertugas di tempat itu, paling tidak harus ada listrik, air bersih, dan perahu cepat khusus orang sakit. ”Sebelum menangani pasien, dokter harus sehat. Waktu tempuh dengan kapal ikan terlalu lama dan melampaui golden period (waktu krusial) penanganan pasien yang hanya 8 jam,” katanya.
Aru juga merupakan daerah yang minim tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Kondisi geografis membuat pasien yang sakit parah kehilangan nyawa karena terlambat ditangani. Tak hanya warga, tahun 2015, dua dokter program internship, Dionisius Giri Samudra dan Afrianda Novan Firsty, meninggal saat bertugas di Aru.
Sementara itu, dokter spesialis penyakit dalam Sofyan Umarella secara terpisah berpendapat, alasan akses transportasi dan sinyal telepon seluler tak bisa diterima. ”Sarana dan prasarana adalah urusan pemerintah. Yang utama itu tanggung jawab moral sebagai seorang dokter. Apalagi, dokter di puskesmas. Itu terkait pelayanan primer dan utama untuk screening dan preventif,” kata Sofyan.
Menurut dia, jika dokter selalu ada, lambat laun tercipta tingkat kesehatan yang lebih baik. Otomatis, tuntutan sarana dan prasarana akan lebih mudah diadakan. Ia mengingatkan sumpah pertama dokter, yaitu membaktikan diri untuk kemanusiaan. Sangat wajar dan wajib bisa ditempatkan di mana saja. ”Tanggung jawab moral kepada manusia dan tangung jawab sumpah kepada Tuhan,” ucapnya.
Meksi begitu dalam catatan Kompas, masih ada dokter yang keluar-masuk daerah terpencil dan pedalaman untuk melayani masyarakat. Mereka tak peduli dengan ada tidaknya sinyal telepon, internet, serta layanan listrik. Yang mereka pikirkan adalah di sana banyak orang membutuhkan santuhan mereka. Semoga spirit pengabdian ini bisa dicontoh.
Baca juga : Dokter Sisca Wiguno, Blusukan di Pedalaman hingga Sarang Teroris