Warga Mamuju Masih Khawatir untuk Kembali ke Rumah
Meski telah lebih dari sepekan pascagempa bermagnitudo 6,2, kekhawatiran terkait adanya gempa susulan masih membayangi warga di Mamuju, Sulbar.
Oleh
M Ikhsan Mahar/Videlis Jemali
·5 menit baca
MAMUJU, KOMPAS — Para penyintas gempa di Sulawesi Barat menunggu keputusan resmi pemerintah sebelum memutuskan kembali menempati rumah masing-masing. Meski telah lebih dari sepekan pascagempa bermagnitudo 6,2, kekhawatiran terkait adanya gempa susulan masih membayangi masyarakat.
Di wilayah pesisir Kabupaten Mamuju, terutama di sepanjang Kecamatan Simboro, mayoritas warga masih bermukim di tenda yang didirikan di sisi jalan dan wilayah perbukitan. Sebuah tenda berukuran 2x5 meter bisa menjadi tempat berteduh bagi dua hingga tiga keluarga. Alhasil, satu tenda itu bisa menjadi tempat tidur sementara hingga 10 jiwa.
Hal itu dilakukan Abdul Rauf (70), warga Desa Tapandullu, Kecamatan Simboro. Rumah Rauf yang berada di sisi Pantai Simboro hanya mengalami keretakan di sejumlah titik dinding. Namun, kondisi itu membuat Rauf tidak berani tidur di dalam rumahnya.
”Saya khawatir ada gempa susulan yang bisa meruntuhkan rumah saya. Jadi, kami masih akan tinggal di dalam tenda hingga ada pengumuman dari pemerintah bahwa gempa susulan besar tidak akan terjadi lagi,” kata Rauf saat ditemui, Jumat (22/1/2021).
Rauf tinggal di dalam tenda itu bersama tiga anak dan enam cucunya. Setelah gempa itu, Rauf pun melarang cucunya yang mayoritas masih berusia di bawah 10 tahun untuk masuk ke dalam rumah.
Adapun gempa yang terakhir dirasakan di Mamuju terjadi pada Kamis (21/1) malam. Saat itu, gempa yang terjadi sekitar pukul 20.00 WITA tersebut bermagnitudo 4,0, mengakibatkan permukaan tanah terasa terangkat.
Di kawasan Desa Tapandullu terdapat belasan tenda berdiri di sisi jalan yang menghubungkan antara Kecamatan Simboro dan kawasan perbukitan di Kecamatan Tapallang.
Sebelum ada pengumuman situasi sudah aman, lebih baik kami tinggal sementara di dalam tenda meski dalam keterbatasan.
Muthalib (42), warga Rangas, Kecamatan Simboro, juga belum memikirkan untuk segera kembali menempati rumahnya. Sejak gempa sepekan lalu, Muthalib hanya pada siang hari memantau kondisi rumahnya.
Ketika malam tiba, Muthalib masuk ke dalam tenda yang berada di wilayah perbukitan di desa itu. Di dalam tenda itu, ia tinggal bersama istri dan empat anaknya. Sekitar 20 kepala keluarga membangun tenda di posko pengungsian Desa Rangas itu.
”Setiap malam, kami masih teringat kejadian gempa. Sebelum ada pengumuman situasi sudah aman, lebih baik kami tinggal sementara di dalam tenda meski dalam keterbatasan,” kata Muthalib.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sulbar mengumpulkan data bencana di Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Majene untuk dibenahi. Desa dan kelurahan menjadi tulang punggung penghimpunan data. Pembenahan data untuk memastikan meratanya distribusi bantuan bahan pokok dan kejelasan data dampak bencana untuk penanganan secara umum.
Pembenahan data bencana tersebut menjadi komitmen bersama dari pertemuan antara Gubernur Sulbar Ali Baal Masdar dengan para kepala desa, lurah, camat, dan kepala dinas terkait untuk penanganan pascabencana, di Mamuju, Jumat (22/1). Data jumlah pengungsi dan titik-titik pengungsian ditargetkan bisa terhimpun pada Sabtu (23/1).
Data jelas tersebut dibutuhkan untuk distribusi kebutuhan pokok, seperti beras, air minum, mi, tenda, tikar, serta perlengkapan bayi dan perempuan. ”Data yang jelas bisa didapatkan besok (Sabtu). Data itu terkait jumlah pengungsi setiap desa dan titik-titik mereka mengungsi. Data ini penting agar penyaluran sembako merata. Bagi bantuan dengan tak membeda-bedakan,” kata Ali.
Selain data terkait jumlah pengungsi, data bencana yang dibutuhkan adalah soal kerusakan fasilitas umum (jalan), kerusakan rumah, dan korban meninggal serta ahli warisnya. Namun, data tersebut bisa dihimpun dalam tiga hari ke depan. Data itu pun masih perlu diverifikasi lebih lanjut. Data yang harus segera dirampungkan adalah jumlah pengungsi.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulbar Moh Natsir menyatakan, data yang belum jelas terutama jumlah pengungsi, titik-titik pengungsian, dan jumlah korban meninggal serta korban hilang. Selama ini, satuan tugas sudah bekerja, temasuk menyalurkan bantuan, tetapi di lapangan ada laporan distribusi tak merata, bahkan ada penumpukan bantuan. ”Pak Gubernur inginkan ada keadilan dalam distribusi. Keadilan ini dasarnya pada data. Ini yang perlu dirapikan,” katanya.
Natsir menyatakan, merujuk data yang dihimpun Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulbar, jumlah pengungsi diperkirakan 90.000 orang. Sementara jumlah korban meninggal sebanyak 91 orang dengan rincian 80 orang meninggal di Mamuju dan 11 orang meninggal di Majene.
Dalam pantauan Kompas selama ini, bantuan pada umumnya relatif terdistribusi dengan baik di kota, terutama di posko-posko besar, seperti Stadion Manakarra dan di gerbang masuk kota Mamuju dari arah Palu, Sulawesi Tengah. Sementara, di desa-desa yang pengungsinya menyebar di berbagai titik, bantuan tidak tersalurkan merata.
Pada hari-hari awal pascabencana, distribusi bantuan dilakukan dengan pembagian langsung dari posko induk. Belakangan, mekanisme itu diubah dengan penyaluran bantuan melalui desa/kelurahan. Aparat desa kemudian mendistribusikan bantuan ke posko atau titik-titik pengungsian.
Distribusi bantuan melalui desa pun tak menyelesaikan masalah meratanya bantuan. Kepala Desa Sumare, Kecamatan Simboro, Condro Budayo menuturkan, aparat desanya bingung karena jumlah bantuan yang didistribusikan melalui desa tak sesuai dengan jumlah pengungsi.
”Jumlah pengungsi di desa saya 700 jiwa, tetapi beras yang dibagikan hanya 20 kilogram, tikar hanya 3 buah. Ini masalah untuk kami ketika dibagikan kepada pengungsi. Ini harus dibenahi agar semua pengungsi kebagian,” ujarnya.
Andra (42), penyintas di Desa Tadui, Kecamatan Mamuju, menyatakan, pengungsi di desa itu selama ini menerima bantuan dengan jumlah yang minim. Meskipun lambat, pemerintah harus segera membenahi data untuk pemenuhan kebutuhan penyintas.
Lurah Simboro, Kecamatan Simboro, Rusli heran pertemuan terkait data baru dilaksanakan sekarang. Selama ini, mereka bingung untuk mendata jumlah pengungsi dan hal-hal terkait bencana lainnya karena tak adanya instruksi. ”Kami mau mendata, tetapi tidak jelas mau dibawa ke mana,” katanya.