Seminggu Berjalan, Cakupan Vaksinasi di Palembang Masih Rendah
Hingga tujuh hari pelaksanaanya, cakupan vaksinasi terhadap sumber daya manusia kesehatan di Kota Palembang masih rendah, yakni hanya 11,23 persen. Ini terjadi karena tenaga kesehatan kesulitan melakukan registrasi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Hingga tujuh hari pelaksanaannya, cakupan vaksinasi terhadap sumber daya manusia kesehatan di Kota Palembang masih rendah, yakni hanya 11,23 persen. Ini terjadi karena tenaga kesehatan kesulitan dalam melakukan registrasi. Padahal, vaksinasi dinilai sangat penting untuk mengurangi risiko terpapar atau menularkan Covid-19.
Hal ini ini mengemuka dalam pertemuan virtual bertemakan ”Sosial Masyarakat Sumsel Pascavaksin” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen Kota Palembang, Jumat (22/1/2021). Hadir dalam pertemuan tersebut, Pelaksana Tugas Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Palembang Mirza Susanty, ahli mikrobiologi dari Universitas Sriwijaya, Yuwono; pakar epidemiologi dari Universitas Sriwijaya, Iche Andriyani Liberty; dan Guru Besar Sosiologi Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Abdullah Idi.
Mirza mengungkapkan, berdasarkan data dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPen), cakupan vaksinasi sumber daya manusia kesehatan (SDMK) di Palembang masih rendah. Dari sasaran vaksinasi yang berjumlah 13.567 orang, baru 1.530 orang (11,23 persen) yang divaksinasi.
Rendahnya cakupan vaksinasi ini disebabkan oleh permasalahan dalam sistem registrasi yang menyulitkan tenaga kesehatan untuk mendaftarkan diri. Hal ini dialami Direktur RS Pusri Palembang Yuwono dan pegawainya yang sudah berkali-kali melakukan registrasi ulang, tetapi gagal. ”Sampai sekarang kami belum divaksinasi karena kendala sistem pendaftaran,” ucapnya.
Menindaklanjuti masalah tersebut, terang Mirza, mulai Jumat (22/1/2021) pendaftaran vaksinasi sudah mulai disederhanakan. SDMK tinggal datang ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dan menunjukkan nomor induk kependudukan (NIK). Selanjutnya, NIK itu akan disesuaikan dengan sistem informasi SDMK. ”Jika nama mereka tertera di dalam sistem, maka bisa langsung menjalani vaksinasi,” ucap Mirza.
Dengan penyederhanaan ini, cakupan vaksinasi di Palembang meningkat cukup signifikan. Per Jumat, jumlah SMDK yang divaksin mencapai 1.530 orang atau meningkat 873 orang dibandingkan dengan hari sebelumnya yang hanya 657 orang. Dengan penyederhanaan sistem registrasi ini, Mirza berharap cakupan vaksinasi di Palembang dapat ditingkatkan dan seluruh proses vaksinasi terhadap SDMK bisa tuntas pada Februari 2021.
Korelasi erat
Pakar epidemiologi dari Univeristas Sriwijaya, Iche Andriyani Liberty, menuturkan, keberadaan vaksin berkolerasi erat dengan jumlah kasus positif Covid-19. ”Semakin banyak orang yang divaksin, harapannya jumlah kasus positif Covid-19 di Sumsel bisa menurun,” ucapnya. Namun, untuk mencapai kekebalan komunal (herd immunity), setidaknya 66 persen warga Sumsel atau sekitar 5,7 juta warga harus divaksinasi.
Semakin banyak orang yang divaksin, harapannya jumlah kasus positif Covid-19 di Sumsel bisa menurun.
Hanya saja, untuk merealisasikannya, butuh waktu yang cukup lama. Sebelumnya, Gubenur Sumatera Selatan Herman Deru menargetkan proses vaksinasi di Sumsel tuntas dalam waktu 345 hari sejak vaksinasi perdana pada 14 Januari 2021. Selama proses itu berlangsung, Iche berharap masyarakat dapat menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang berpotensi mengundang kerumunan.
Namun, menurut Iche, kesadaran itu sudah terlihat dari mulai berkurangnya mobilitas warga ke sejumlah sarana fasilitas umum, seperti kantor, taman, tempat rekreasi, dan sejumlah fasilitas publik lain. Alhasil, jumlah konfirmasi positif Covid-19 di Sumsel pun menurun. Dari sekitar 600 kasus per minggu pada Desember 2020, kini hanya sekitar 520 kasus per minggu.
Walau demikian, lanjut Iche, warga diimbau tetap waspada lantaran sampai saat ini angkat positivity rate (angka kasus positif dibandingkan jumlah pemeriksaan) di Sumsel mencapai 27,4 persen. Sangat jauh dari yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni di bawah 5 persen. ”Ini menandakan risiko tertular di Sumsel masih cukup tinggi,” ujarnya.
Pakar mikrobiologi dari Universitas Sriwijaya, Yuwono, menuturkan, tujuan dari vaksinasi adalah untuk memperkuat imunitas tubuh. Jika vaksin itu berhasil, tubuh akan menghasilkan antibodi penetral yang melindungi sel dari beragam jenis partikel infeksi, termasuk SARS-CoV-2.
Hanya saja, untuk Coronavac, tingkat kemanjuran (efikasi) masih 65,3 persen. Artinya, masih ada kemungkinan vaksin itu gagal. ”Dari 100 pasien yang mendapatkan vaksin, sekitar 34 orang masih mungkin tertular Covid-19,” ucapnya. Untuk itu, memang diperlukan dua kali vakasinasi agar terbentuk titer antibodi yang optimal.
Dia pun mengimbau agar jeda waktu vaksinasi diperpanjang jangan hanya dua minggu. ”Saya khawatir, jika hanya dua minggu, belum terbentuk titer antibodi yang optimal. Dengan begitu, efektivitas vaksin pun rendah. Lebih baik diberi selang waktu sekitar sebulan, tiga bulan, atau kalau bisa satu tahun,” kata Yuwono.
Guru Besar Sosiologi Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Abdullah Idi berpendapat masih ada pro dan kontra di tengah masyarakat mengenai vaksinasi. Hal ini wajar karena banyak informasi yang mereka serap dan tentu menjadi bahan pertimbangan. Karena itu, perlu ada edukasi dan sosialisasi secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk meyakinkan masyarakat agar cakupan vaksinasi dapat ditingkatkan.