Produktivitas Ribuan Hektar Sawah di Cirebon Direnggut Banjir
Banjir di sejumlah wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, sejak Minggu (17/1/2021) merendam sedikitnya 5.287 hektar sawah. Ratusan hektar sawah terancam gagal tanam dan petani merugi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Banjir di sejumlah wilayah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, sejak Minggu (17/1/2021) merendam sedikitnya 5.287 hektar sawah. Produksi padi terancam berkurang karena ratusan hektar sawah terancam gagal tanam dan berpotensi diserang hama penyakit.
Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Wasman mengatakan, hingga Kamis (21/1/2021), pihaknya mencatat 5.287 hektar di 11 kecamatan terendam banjir dengan ketinggian 40–100 sentimeter. Adapun usia tanaman padi umumnya di bawah 30 hari.
Daerah yang paling parah adalah Kecamatan Kapetakan seluas 1.467 hektar dan Suranenggala dengan 907 hektar. Kedua daerah itu kerap kekeringan saat musim kemarau. Daerah terdampak banjir lainnya adalah Gegesik, Susukan, Panguragan, Kaliwedi, Plered, Gunung Jati, Jamblang, Arjawinangun, dan Klangenan.
Dari total sawah kebanjiran, terdapat 503 hektar yang masuk dalam kategori waspada atau terancam gagal tanam. Artinya, petani harus menyemai ulang bibit padi dan menanamnya. ”Kami masih mengamati. Kalau sampai terendam tujuh hari, petani harus tanam ulang,” katanya.
Banjir melanda sejumlah daerah di Cirebon sejak Minggu. Sebanyak 6.752 rumah terendam dan 26.836 warga terdampak. Meskipun permukiman berangsur surut, banjir mengalir ke sawah.
Wasman mengatakan, pihaknya terus mendata luas sawah terdampak banjir. ”Produksi bisa terancam berkurang karena padi yang terendam akan busuk dan banyak hama OPT (organisme pengganggu tanaman). Untuk antisipasi, kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian,” katanya.
Produksi bisa terancam berkurang karena padi yang terendam akan busuk dan banyak hama OPT (organisme pengganggu tanaman).
Menurut dia, jika gagal tanam, petani merugi lebih dari Rp 4 juta per hektar. Biaya itu berasal dari pengolahan lahan dan ongkos tanam. ”Namun, yang mengasuransikan sawahnya hanya 700 hektar. Ini sedikit sekali,” katanya.
Wasman mengakui, sebagian besar petani belum paham pentingnya asuransi tani. Padahal, dengan asuransi, petani bisa mendapat ganti rugi Rp 6 juta per hektar pada satu musim. Pihaknya mengklaim telah menyosialisasikan asuransi tani meski hasilnya belum maksimal.
Selain hama dan gagal tanam, banjir juga dapat memundurkan musim tanam gadu atau kedua. Artinya, petani bakal menghadapi musim kemarau dan kekeringan. Gagal panen pun membayangi.
”Kami berharap ini tidak terjadi karena sudah ada Waduk Jatigede yang memasok air ke petani,” ujarnya. Dengan luas sawah 45.000 hektar, Cirebon termasuk sentra padi di Jabar. Dalam setahun, produksi beras sekitar 350.000 ton beras.
Kasmad, Kuwu (Kepala Desa) Suranenggala Kulon, mengatakan, 230 hektar sawah di desanya terancam mati karena banjir. ”Ini kerugian terbesar warga. Biaya persemaian sampai penanaman itu Rp 2 juta. Jadi total kerugiannya dikali saja (Rp 460 juta),” katanya.
Menurut Kasmad, petani biasanya ikut asuransi saat musim tanam gadu karena khawatir sawahnya gagal panen akibat kemarau. Embung setempat juga hanya mampu mengairi 2 hektar sawah. ”Ternyata, sekarang sawah kebanjiran. Ini yang terparah sejak 39 tahun terakhir,” katanya.