Pengendalian Tata Ruang di Cekungan Bandung untuk Antisipasi Bencana
Pengendalian tata ruang di Cekungan Bandung, Jawa Barat, mendesak dilakukan. Sebab, pembangunan yang tidak terkendali berpotensi memicu bencana, seperti banjir dan longsor.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Kawasan Cekungan Bandung, Jawa Barat, yang terlihat mulai sesak dilihat dari Bandung utara, Senin (30/11/2015).
BANDUNG, KOMPAS — Pengendalian tata ruang di kawasan Cekungan Bandung, Jawa Barat, mendesak dilakukan. Sebab, pembangunan yang tidak terkendali berpotensi mudah memicu bencana, seperti banjir dan longsor.
Kawasan hulu di Cekungan Bandung, terutama Bandung utara, beralih fungsi menjadi ”hutan beton”. Lereng terjal dimanfaatkan sebagai permukiman sehingga berisiko menimbulkan korban saat terjadi longsor.
”Banyak perumahan di lereng dengan kemiringan tajam. Penertiban tata ruang harus digalakkan,” ujar Sekretaris Daerah Jabar Setiawan Wangsaatmaja dalam seminar web bertema ”Koordinasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Cekungan Bandung”, Kamis (21/1/2021).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Perbukitan di Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terlihat gundul, Senin (25/11/2019). Rusaknya kawasan Bandung utara yang berfungsi menjadi daerah resapan air rentan memicu banjir di Kota Bandung dan sekitarnya saat musim hujan.
Kawasan Cekungan Bandung terdiri dari 85 kecamatan di lima daerah, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan sebagian Kabupaten Sumedang. Luasnya 349.750 hektar dengan dihuni sekitar 10 juta penduduk.
Permukiman di lereng berisiko longsor saat musim hujan. Sabtu (9/1/2021), longsor menerjang permukiman di perbukitan di Cimanggung, Sumedang. Sejumlah 40 orang tewas dalam bencana itu.
”Permukiman tersebut berada di bawah lereng dengan kemiringan 40 derajat. Seharusnya tidak ada masyarakat bermukim di sana. Lagi-lagi persoalan desakan populasi,” ujarnya.
Personel Basarnas Bandung mengamati bekas longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (17/1/2021).
Pertumbuhan permukiman yang tidak terkendali berisiko menghadirkan bencana lainnya. Oleh sebab itu, Setiawan meminta pemerintah kabupaten/kota mempertimbangkan matang dalam memberikan izin pemanfaatan ruang. Salah satunya menyesuaikan dengan peta risiko kerawanan bencana yang dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi.
Setiawan menuturkan, luas hutan di Cekungan Bandung meningkat dari 65.195 hektar pada 2014 menjadi 71.392 hektar di 2018. Sementara perkebunan menyusut dari 73.017 hektar menjadi 69.533 hektar pada periode yang sama. Luas sawah dan semak belukar juga berkurang. Namun, kawasan terbangun meningkat dari 62.159 hektar menjadi 64.395 hektar.
Kawasan hulu di Cekungan Bandung, terutama Bandung utara, beralih fungsi menjadi ’hutan beton’. Lereng terjal dimanfaatkan sebagai permukiman sehingga berisiko menimbulkan korban saat terjadi longsor.
”Pola perubahannya biasanya dari hutan menjadi perkebunan, lahan pertanian, semak belukar, dan perumahan. Jadi, tetap perlu diwaspadai,” ujarnya.
Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Wisnubroto Sarosa berujar, permukiman penduduk di Cekungan Bandung justru terkonsentrasi di hulu. Padahal, daerah itu seharusnya menjadi kawasan hijau sebagai resapan air.
”Ini sebuah anomali dari pola yang seharusnya dikembangkan untuk daerah aliran sungai,” ujarnya. Cekungan Bandung dilintasi Sungai Citarum dan puluhan anak sungai.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Petugas Balai Besar Wilayah Sungai Citarum menggunakan ekskavator untuk mengeruk sedimentasi Sungai Cisangkuy di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (10/11/2020). Pengerukan dilakukan untuk mengurangi potensi banjir di kawasan itu.
Wisnubroto menuturkan, Cekungan Bandung mirip dengan kawasan metropolitan Madellin di Kolombia. Meskipun dipadati bangunan tinggi, kota itu mempunyai sabuk hijau untuk melindungi daerah di bawahnya.
”Madellin juga dilalui dua sungai besar. Kawasan hijaunya dilindungi tetapi proyek perkotaannya tetap berjalan,” ujarnya.
Pengendalian tata ruang sejalan dengan perbaikan aspek ekologis. Menurut dia, hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung.
”Pengendalian itu bisa berupa pencegahan dan penindakan. Ini sangat penting untuk memberikan feedback terhadap rencana itu,” ujarnya.
Kondisi perumahan yang dibangun di punggung perbukitan di Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Minggu (10/1/2021).
Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung, Denny Zulkaidi, menuturkan, pengendalian tata ruang sering terlambat. Artinya, bangunan sudah berdiri tanpa mempertimbangkan perencanaan tata ruang.
”Jadi, perlu diaudit dahulu mana saja yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Setelah itu diberhentikan dan tidak boleh dikembangkan lagi,” ujarnya.
Denny juga menekankan pentingnya sosialisasi pengenalan risiko bencana. Dengan begitu, masyarakat dapat melakukan mitigasi untuk meminimalkan dampak bencana.