Aliran Listrik PLN dan Kerlip Asa Petambak Dipasena di Lampung
Selama satu dasawarsa, petambak di kawasan Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, menjalankan budidaya udang dalam keterbatasan. Kehadiran listrik di kawasan itu memberi harapan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·6 menit baca
Selama satu dasawarsa, petambak di kawasan Bumi Dipasena, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, menjalankan budidaya udang dalam keterbatasan. Kehadiran listrik di kawasan itu memberi harapan akan bangkitnya kejayaan lumbung udang di Tanah Air.
Masih jelas di ingatan Wagiran (50), warga Kampung Dipasena Sejahtera, saat kegelapan seketika meyergap blok-blok tambak udang di Bumi Dipasena, Mei 2011. Saat itu, ribuan petambak yang hidup di rumah panggung berukuran 5x7 meter hanya dapat memanfaatkan senter, lampu teplok, atau cahaya rembulan sebagai penerangan saat malam hari.
Di kolam-kolam tambak, udang-udang mati mengambang karena kekurangan oksigen. Penyebabnya, kincir air yang mengalirkan oksigen ke kolam tak bisa beroperasi karena jaringan listrik diputus. Pemutusan listrik di kawasan itu merupakan buntut konflik antara petambak dan perusahaan. Dampaknya, ribuan petambak merugi.
Selama 10 tahun pula, petambak di Bumi Dipasena menjalankan budidaya udang secara mandiri tanpa aliran listrik dari pemerintah. Petambak hanya mengandalkan mesin diesel untuk mendapatkan listrik. Kondisi itu membuat produksi udang tak optimal.
Namun, sejak PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memasang jaringan listrik di Dipasena pada Agustus 2020, Wagiran dan ribuan petambak lainnya bisa menjalankan budidaya udang dengan lebih mudah. Seperti pada Kamis (14/1/2021), Wagiran baru saja memanen 2,4 ton udang dari tambaknya.
Udang vaname segar langsung dikirim ke Jakarta hari itu juga. Selain untuk konsumsi warga Ibu Kota, pasokan udang dari Dipasena juga diekspor ke berbagai negara.
Menurut Wagiran, listrik PLN membuat perputaran kincir air lebih stabil sehingga ketersediaan oksigen untuk tambak lebih terjamin. Hal itu membuat petambak bisa menebar lebih banyak benih udang.
”Sebelum ada listrik, benur udang yang bisa ditebar paling banyak hanya 50.000 ekor dalam satu kolam. Sekarang, saya bisa menebar sampai 100.000 benur udang,” ujar Wagiran kepada Kompas, Jumat (15/1/2021).
Hasil panen udang pun lebih melimpah. Jika dulu petambak hanya mendapat 0,5-1 ton udang, kini hasil panen bisa lebih dari 2 ton. Keuntungan yang diperoleh juga lebih banyak. ”Kalau tidak ada serangan penyakit dan kondisi cuaca bagus, bisa dapat untung sampai Rp 100 juta,” ujar Wagiran.
Wagiran yang memiliki empat kolam tambak sudah menjadi pelanggan listrik PT PLN Distribusi Lampung sejak tiga bulan terakhir. Dia memasang listrik dengan kapasitas daya 10.600 volt ampere (VA). Kapasitas itu cukup untuk mengaliri listrik empat kolam tambak secara bergantian serta dua rumah terpisah milik keluarganya.
Lebih murah
Selain dapat menggenjot produksi udang, biaya operasional yang dikeluarkan petambak juga lebih murah. Untuk satu kali periode panen, biaya listrik untuk budidaya udang hanya Rp 5 juta-Rp 6 juta.
Biaya itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan saat petambak menggunakan mesin diesel. Dahulu, Wagiran mengaku harus menyiapkan modal minimal Rp 10 juta guna membeli solar untuk budidaya udang.
Setiap hari, dia membutuhkan sekitar 30 liter solar untuk menghidupkan kincir air. Jika diakumulasi untuk satu periode panen selama 90 hari, satu kolam tambak bisa menghabiskan 1.000-1.500 liter solar. Jumlah solar yang diperlukan bergantung pada banyaknya benih udang yang dipelihara.
Kehadiran listrik di kawasan itu tidak hanya membawa berkah bagi petambak. Kini, warga di delapan desa di kawasan Bumi Dipasena juga menikmati layanan listrik selama 24 jam.
Kondisi itu membuat semua pekerjaan rumah bisa dimulai sejak pagi hingga malam hari. Aktivitas mencuci pakaian, menonton televisi, hingga mengisi daya telepon genggam untuk komunikasi bisa dilakukan kapan saja.
”Dulu, kami mesti menunggu malam karena listrik di rumah hanya mengalir pukul 18.00 sampai 06.00,” ujar Mukhlas (54), warga Kampung Dipasena Utama.
Pada siang hari, keluarga petambak membatasi pemakaian mesin diesel hanya untuk keperluan budidaya udang. Hal itu dilakukan agar biaya operasional tidak semakin membengkak.
Ketersediaan listrik juga membuat kawasan tambak udang seluas 16.250 hektar itu kini lebih hidup. Kondisi jalan menuju petak-petak tambak kini lebih terang. Warung-warung kecil milik warga sekitar juga bisa beroperasi lebih lama.
Ketua Perhimpunan Petambak Pembudidaya Udang Wilayah Lampung Suratman mengatakan, masyarakat Dipasena bersyukur karena PLN memfasilitasi pembangunan gardu induk dan jaringan listrik di wilayah itu. Dia berharap, adanya listrik bisa memacu produksi udang dan meningkatkan perekomian warga.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, potensi budidaya air payau di Lampung seluas 93.951,58 hektar. Dari junlah itu, area yang termanfaatkan baru 37.985,36 hektar atau 40,43 persen.
Adapun menurut penelitian Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), potensi produksi udang di Bumi Dipasena mencapai 75.000 ton per tahun atau senilai Rp 4,5 miliar dengan asumsi harga udang Rp 60.000 per kilogram.
Lebih cepat
Manager Komunikasi PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Lampung Junarwin menuturkan, pembangunan jaringan listrik di Dipasena merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan produksi udang di Dipasena. Bahkan, pembangunan Gardu Induk Dipasena satu tahun lebih cepat dari target.
Saat ini, jaringan listrik di wilayah itu sudah terbangun 100 persen. Total daya yang tersambung di Dipasena sebesar 6,73 MVA. Adapun jumlah rumah tangga yang sudah mendapat layanan listrik sebanyak 3.901 pelanggan. Secara keseluruhan, tercatat ada 5.774 calon pelanggan PLN di kawasan tambak udang Dipasena.
Menurut dia, pelanggan listrik di Dipasena umumnya memasang daya 1.300-10.600 VA. Penyambungan daya 1.300 VA dimanfaatkan oleh rumah tangga yang tidak menjalankan usaha budidaya tambak udang dengan skema pembayaran listrik prabayar. Adapun pemasangan daya 6.600 VA-10.600 VA digunakan untuk budidaya tambak udang dan menggunakan listrik pascabayar.
Junarwin mengungkapkan, pemasangan listrik di Bumi Dipasena bukan tanpa kendala. Lokasi yang jauh dan kondisi jalan rusak membuat petugas kerap terkendala saat memasok material, seperti tiang listrik dan kabel.
Saat musim panas, akses jalan berdebu sehingga mengganggu jarak pandang petugas. Ketika musim hujan, akses jalan berlumpur sehingga kendaraan yang membawa material rawan tergelincir.
Berdasarkan data PLN Unit Induk Distribusi Lampung, hingga akhir 2020, rasio elektrifikasi di Lampung mencapai 96,08 persen. Adapun rasio desa yang sudah teraliri listrik di Lampung sebesar 99,43 persen. Rasio elektrifikasi ditargetkan mencapai 100 persen tahun ini.
Selama dua tahun terakhir, pihaknya juga telah membangun dan mengoperasikan lima gardu induk, yakni Gardu Induk (GI) Dipasena, GI Pakuan Ratu, GI Ketapang, GI Jati Agung, dan GI Langkapura. Pada 2021, PLN merencanakan pembangunan enam GI lain untuk mengoptimalkan pasokan listrik ke wilayah pelosok.
Setelah satu dekade hidup dalam keterbatasan listrik, kini Bumi Dipasena perlahan berubah. Kerlip cahaya lampu yang menerangi petak-petak tambak kian benderang saat malam tiba. Asa para petambak untuk membangkitkan kembali kejayaan kawasan lumbung udang itu juga semakin terang.