Pancasila Bukan Penghalang Penerapan Aturan Syariat Islam
Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dinilai tak bertentangan, bahkan selaras dengan syariat Islam. KH Afifuddin Muhajir menyampaikan hal itu saat penganugerahan doktor kehormatan oleh UIN Walisongo Semarang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pancasila, yang merupakan dasar negara Indonesia, dinilai tak bertentangan, bahkan selaras dengan syariat Islam. Lebih jauh, Pancasila merupakan syariat itu sendiri karena dalam teks-teks syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang patut menjadi dalil ataupun landasan bagi setiap sila.
Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir mengatakan hal tersebut saat penganugerahan dirinya sebagai doktor kehormatan (honoris causa) bidang fiqih/ushul fiqh oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (20/1/2021).
KH Afifuddin, melalui orasi ilmiah berjudul ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Timbangan Syariat, Kajian Pancasila dari Aspek Nushush dan Maqashid”, mengatakan, Allah SWT menakdirkan Pancasila, sejak kemunculannya, sebagai solusi persoalan dan pengurai perbedaan.
Hingga kini, Afifuddin, yang juga Rais Syuriah PBNU 2019-2020 tersebut, mengaku, tak menemukan satu pun kejanggalan baik dalam bentuk ataupun kandungan maknanya. ”Maka, menurut akal sehat, sudah semestinya Pancasila sebagai keputusan final. Seandainya Pancasila diposisikan dan diimplementasikan dengan sebaik-baiknya, tentu Indonesia akan jauh lebih baik dari keadaannya saat ini,” katanya.
KH Afifuddin menuturkan, sesungguhnya sila pertama Pancasila itu adalah ungkapan tauhid, yakni iman kepada Allah yang Esa lagi Maha Unik, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 di Situbondo (1984). Bagi kaum Muslimin, tauhid merupakan intisari akidah Islam, bahkan sari pati seluruh ajaran agama, semenjak Adam hingga Muhammad SAW.
Sesungguhnya sila pertama Pancasila itu adalah ungkapan tauhid, yakni iman kepada Allah yang Esa lagi Maha Unik, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 di Situbondo.
Kemanusiaan, yang juga salah satu asas dalam Pancasila, tak serta-merta diungkapkan secara mutlak, tetapi dibatasi dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini tidak lain semakin menunjukkan betapa para ulama dan pemimpin negara sepenuhnya menyadari bahwa nilai kemanusiaan seseorang terletak pada jiwanya, bukan raganya.
Adapun Persatuan Indonesia, sejatinya keyakinan bahwa bangsa Indonesia merupakan satu bangsa yang disatukan oleh bahasa, budaya sejarah, letak geografis, dan kepentingan yang sama. ”Tak ada satu pun dari pemahaman ini yang bertentangan dengan syariat maupun ukhuwwah islamiyah sebagai tali persaudaraan utama,” kata Afifuddin.
Sementara itu, esensi demokrasi yang termaktub dalam sila keempat, yakni kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, rakyat ialah pemilik kehendak dan kewenangan. Namun, kedaulatan rakyat tak lantas menegasikan kedaulatan Allah. Penyeru demokrasi tidak menolak otoritas Tuhan atas manusia. Yang mereka tolak hanya otoritarianisme tirani.
”Persatuan Indonesia, permusyawaratan, kebebasan berpendapat, dan keadilan dalam segala dimensinya adalah cita-cita agama Islam yang hendak diaktualkan dalam realitas agar tak hanya jadi tinta di atas kertas,” kata Afifuddin, yang juga dosen di Universitas Ibrahimy, Situbondo.
Pada akhirnya, kata Afifuddin, NKRI, dengan melihat Pancasila sebagai dasarnya, adalah negara syar’i yang sesuai dengan teks-teks dan tujuan-tujuan syariat. ”Pancasila bukan penghalang untuk menerapkan aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya,” ujar Afifuddin.
Membumikan pemikiran Islam
KH Afifuddin, yang lahir di Sampang, Madura, 20 Mei 1955, memiliki keahlian khusus pada bidang fiqih/ushul fiqh. Rektor UIN Walisongo Imam Taufiq menuturkan, penganugerahan doktor kehormatan bagi Afifuddin melalui pertimbangan yang matang dan melewati kajian mendalam hingga proses seleksi uji akademik yang sangat serius.
KH Afifuddin dinilainya memiliki peran besar dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa melalui proses transfer pengetahuan, ataupun pengajaran pendidikan akhlak dan karakter. ”Beliau juga memiliki dedikasi yang tinggi dalam membumikan pemikiran-pemikiran Islam, khususnya bidang hukum Islam. (Itu dilakukan) secara dinamis dan terbuka, yang sesuai dengan nilai kebijaksanaan dan kepribadian bangsa Indonesia,” kata Imam.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, saat memberi sambutan melalui tayangan video, mengatakan, ilmu ushul fiqh merupakan kajian yang sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Dari ilmu tersebut, dilakukan eksplorasi makna dari teks Al Quran ataupun As-Sunnah hingga dapat dihadirkan norma-norma hukum praktis (fiqih) untuk kemudian menjadi panduan praktis bagi umat Muslim di dunia.
KH Afifuddin menjadi satu dari sejumlah ulama yang memberi perhatian pada ilmu tersebut. ”Beliau aset bangsa yang perlu mendapat kehormatan yang tinggi sesuai ketinggian ilmunya. Saya mengucapkan selamat dan berharap KH Afifuddin Muhajir terus mengembangkan ilmu ushul fiqh yang ditekuni. Juga mengajarkan dan menyebarkan ilmu tersebut kepada generasi muda dan para santri,” kata Menag.