Kenaikan Ekspor Sarang Burung Walet di Jateng Belum Dinikmati Pencari Sarang di Kebumen
Volume ekspor sarang burung walet di Jawa Tengah meningkat 15,3 persen pada tahun 2020 ketimbang periode sama 2019. Namun, pencari sarang belum sepenuhnya menikmati hasil dari peningkatan ekspor tersebut.
Oleh
Aditya Putra Perdana/Wilibrordus Megandika Wicaksono
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Volume ekspor sarang burung walet di Jawa Tengah meningkat 15,3 persen pada tahun 2020 ketimbang periode sama 2019. Sempat terhambat pada awal tahun karena pembatasan penerbangan akibat Covid-19, produksi perlahan pulih seiring peningkatan permintaan dari sejumlah negara, terutama China. Walakin, pencari sarang belum sepenuhnya menikmati hasil dari peningkatan ekspor tersebut.
Berdasarkan data Balai Karantina Pertanian Semarang, volume ekspor sarang burung walet pada 2020 mencapai 64.094 kilogram (kg) atau naik 15,3 persen dari 2019 yang sebesar 55.576 kg. Nilai ekspor juga meningkat, dari Rp 1,2 triliun pada 2019 menjadi Rp 1,5 triliun pada 2020.
Dari total ekspor burung walet melalui Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang pada 2020, sekitar 79 persen dikirim ke China. ”Sisanya, antara lain, dikirim ke Hong Kong, Taiwan, Amerika Serikat, Singapura, dan Kanada. Peningkatan terjadi karena permintaan dari China cukup tinggi,” kata Subkoordinator Bidang Karantina Hewan, Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang, R Pratiwi A, Selasa (19/1/2021).
Pratiwi menuturkan, pada awal tahun 2020 atau saat permulaan penyebaran Covid-19, ekspor sarang burung walet terpengaruh akibat pembatasan wilayah (lockdown), termasuk di China. Keterbatasan penerbangan membuat pengiriman terhambat. Namun, seiring pembukaan kembali pembatasan serta permintaan yang meningkat, pengiriman kembali pulih.
Pada 2020 terdapat 94 eksportir sarang burung walet yang mengirim produk melalui Balai Karantina Pertanian Semarang. Bahan baku berasal dari Kalimantan, Sulawesi, dan sejumlah daerah di Jateng. Sementara harga produk ekspor berkisar Rp 10 juta-Rp 40 juta per kg. ”Sarang burung walet sudah lama diekspor. Sempat menurun pada 2016, lalu meningkat tiga tahun terakhir,” kata Pratiwi.
Pada awal 2020 atau saat permulaan penyebaran Covid-19, ekspor sarang burung walet terpengaruh akibat pembatasan wilayah (lockdown), termasuk di China. Keterbatasan penerbangan membuat pengiriman terhambat. Namun, seiring pembukaan kembali pembatasan serta permintaan yang meningkat, pengiriman kembali pulih.
Direktur PT Waleta Asia Jaya, Salatiga, Djoko Hartanto menuturkan, pada awal 2020, ekspor sarang burung walet terkendala kebijakan lockdown.
”Mei 2020 sudah terasa membaik. Kembali kencang. Bisa dikatakan permintaan sarang burung walet meningkat di China karena dikonsumsi untuk penambah stamina tubuh. Ada sialic acid (asam sialat) yang kandungannya hingga 10 persen,” ujar Djoko.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyebut, tren ekspor sarang burung walet secara nasional meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Data sistem perkarantinaan Badan Karantina Pertanian, Kementan, IQFAST, mencatat, selama pandemi Covid 19, jumlah ekspor sarang burung walet 1.155 ton dengan nilai Rp 28,9 triliun atau meningkat 2,13 persen dari pencapaian pada 2019 yang 1.131,2 ton atau senilai Rp 28,3 triliun.
Dari Kebumen, Jateng, dilaporkan, pencari sarang burung walet di Desa Karangduwur, Kecamatan Ayah, tidak menikmati langsung kenaikan ekspor komoditas ini. Pemasukan yang didapat pencari sarang burung walet hanya berkisar Rp 500.000-Rp 1 juta sekali panen.
”Sekali panen dapatnya 3-4 kilogram. Harganya berkisar Rp 3 juta-Rp 5 juta per kilogram. Kalau kualitasnya sangat bagus, ya, sekitar Rp 7 juta per kilogram. Dengan sistem bagi hasil, bisa terima Rp 500.000-Rp 1 juta per orang,” kata Miran (45), pencari sarang burung walet Desa Karangduwur.
Dalam setahun, sarang burung bisa dipanen 3-4 kali. Untuk memanen, diperlukan 10-15 orang karena sarang burung ada di dalam goa yang terletak di tebing curam.