Gempa di Sulawesi Barat masih menyisakan persoalan wilayah terisolasi yang hingga kini sulit diakses. Longsor menutup akses ke sejumlah desa. Alat berat dan distribusi bantuan via udara dibutuhkan saat ini.
Oleh
RENY SRI AYU
·3 menit baca
MAJENE, KOMPAS — Hingga Selasa (19/1/2021), masih banyak penyintas yang terisolir di desa-desa dataran tinggi Ulumanda dan Malunda, Majene, Sulawesi Barat. Longsor menyebabkan akses ke wilayah ini sulit ditembus kendaraan roda empat.
Sejumlah tim sukarelawan berusaha menembus lokasi itu, tetapi sulitnya akses membuat baru beberapa desa yang bisa dicapai. Desa-desa terisolir ini di antaranya Desa Kabiraan, Sambabo, Pangallo, Tandiallo, Ulumanda, Pompenga, yang berada di Kecamatan Ulumanda. Selebihnya adalah sejumlah desa di Kecamatan Malunda. Kedua kecamatan ini termasuk yang terdampak parah gempa dengan magnitudo 6,2 pada Jumat (15/1/2021).
”Lokasinya di dataran tinggi dan cukup jauh dari jalan poros. Jadi, mobil pembawa logistik hanya bisa sampai di satu titik dan selebihnya logistik dibawa pakai kendaraan roda dua dan sebagian lagi harus jalan kaki. Di satu titik jalan putus, kami diseberangkan pakai eskavator,” kata Yayat, mahasiswa sekaligus sukarelawan Fakultas Teknik Industri (FTI) Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Selasa (19/1).
Sejauh ini baru personel sukarelawan yang berhasil menembus sejumlah lokasi terisolir. Bantuan dari pemerintah beberapa kali didrop menggunakan heli, tetapi jumlahnya terbatas dan tidak setiap hari. Terisolirnya desa-desa ini juga membuat pemerintah masih kesulitan melakukan pendataan.
”Kami masuk ke Kecamatan Ulumanda dan di sana ada enam desa yang terisolir. Dua desa cukup parah, bahkan hingga kini belum diketahui persis bagaimana kondisinya. Kerusakan di wilayah ini juga cukup parah karena sangat dekat dengan pusat gempa. Kami berharap pemerintah dan siapa pun bisa membantu dengan mengirim alat berat dan mendrop bantuan via heli,” tutur Zakir Sabara, Dekan FTI UMI, yang memimpin sukarelawan ke wilayah terisolir ini.
Selain tim FTI UMI, sukarelawan Nusa Pustaka juga melakukan hal sama. Mereka mencoba menembus dan mendistribusikan bantuan ke wilayah terisolasi.
”Tim ke sana menggunakan kendaraan roda dua karena hanya itu yang bisa tembus. Hari ini kami coba ke beberapa desa terpencil dan terisolir di Kecamatan Tappalang di Mamuju,” kata Ridwan Alimuddin, pemilik Nusa Pustaka.
Malunda dan Ulumanda adalah dua kecamatan yang sebagian besar wilayahnya berupa dataran tinggi. Wilayah ini dan sebagian besar dataran tinggi Majene sangat rawan longsor. Bukan hanya gempa, bahkan hujan pun akan membuat dataran tinggi dan tebing-tebing mudah longsor.
Ini membuat banyak warga menyelamatkan diri turun ke dataran rendah saat gempa pertama, tetapi tak semua berhasil turun. Sebagian justru terjebak.
Sayangnya, pas gempa kedua justru longsor bertambah dan alat itu terjebak di antara longsoran.
”Kami masih sempat turun setelah gempa pertama. Saat itu, memang sudah banyak longsor dan rumah rusak. Saya bahkan tidak tahu sekarang kondisi rumah saya seperti apa setelah gempa kedua,” kata Abdul Haris (42), warga Desa Salu Tambo, yang kini mengungsi di dekat ibu kota Kecamatan Malunda di jalan Trans-Sulawesi.
Kepala Dinas PUPR Majene Inindria yang ditemui di lokasi longsor Tubo Sendana, Senin (18/1), mengaku menerima banyak permintaan dari warga ataupun kepala desa di wilayah terisolir di Malunda dan Ulumanda untuk mengirim alat berat. Sayangnya, sebagian besar alat berat dikerahkan ke Mamuju.
”Kami hanya punya satu eskavator di Mejene. Saat gempa pertama, alat itu dikirim untuk membuka longsoran di Ulumanda. Sayangnya, pas gempa kedua justru longsor bertambah dan alat itu terjebak di antara longsoran. Sekarang tak bisa dioperasikan karena tak ada BBM. Di jalur Trans-Sulawesi juga sering longsor hingga alat dari balai jalan disiagakan di sini,” katanya.