Potensi Penularan Kluster Keluarga di Surabaya Harus Diwaspadai
Hasil penelusuran Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya, akhir-akhir ini ada kecenderungan kluster keluarga meningkat dan kepatuhan warga akan protokol kesehatan cenderung menurun.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Potensi penularan Covid-19 lewat kluster keluarga di Surabaya, Jawa Timur, terbilang tinggi. Akhir-akhir ini, penerapan protokol kesehatan cenderung longgar di tengah meningkatnya aktivitas masyarakat.
Berdasarkan data Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya, ada 150 kasus terkonfirmasi Covid-19 dipicu kontak erat keluarga. Hal itu terjadi pada periode 10-17 Januari 2021.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita, di Surabaya, Selasa (19/1/2021), mengatakan, dari 150 sampel itu, 68 persen melaksanakan isolasi di rumah atau apartemen. Sementara 25 persen lainnya diisolasi di rumah sakit atau tempat yang disediakan pemerintah dan swasta serta 7 persen di tempat lainnya.
Terkait tingginya kasus di kluster keluarga, Febria mengatakan, isolasi mandiri di rumah akan segera dievaluasi. ”Ada kecenderungan, warga kurang patuh menjalani isolasi mandiri, terutama di rumah. Pengawasan dari rukun warga atau rukun tetangga juga agak kendur,” katanya.
Wakil Sekretaris Satuan Tugas Covid-19 Surabaya Irvan Widyanto mengatakan, penularan lainnya dipicu aktivitas warga bepergian ke luar kota (14,7 persen) penularan di tempat kerja (12,7 persen), keramaian atau kerumunan (10 persen), serta pekerja di rumah sakit atau tenaga kesehatan (7,3 persen).
”Ada kasus positif Covid-19 yang ditemukan saat pasien sedang melengkapi syarat perjalanan sebesar 2,6 persen,” katanya.
Ke depan, Irvan mengatakan, selain evaluasi isolasi mandiri, cara lain mengurangi penularan dengan menggencarkan kembali tes usap gratis yang digelar di beberapa rumah sakit selain puskesmas di Surabaya.
Terkait longgarnya pengawasan RT/RW, Irvan mengatakan bakal kembali menguatkan konsep ”Kampung Wani Jogo Suroboyo”. Saat ini, sangat diperlukan penanganan cepat, terutama penelusuran kontak erat pasien terkonfirmasi agar pemutusan mata rantai Covid-19 bisa terkendali.
Berdasarkan evaluasi pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di 11 kota di Jawa Timur, Ketua Gugus Kuratif Satgas Covid-19 Pemprov Jatim Joni Wahyuhadi mengatakan, kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan masih rendah. Padahal, mobilitas warga terbilang tinggi.
Hal itu harus diwaspadai. Alasannya, Kementerian Kesehatan memperkirakan puncak Covid-19 gelombang kedua akan terjadi 28 Januari hingga 1 Februari 2021. Untuk itu, mobilitas masyarakat diharapkan bisa ditekan sampai 40 persen. Saat ini, penurunan mobilitas masyarakat diperkirakan masih di angka 13 persen.
Menurut epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, untuk mengendalikan penyebaran Covid-19, berbagai peraturan harus ditegakkan lagi. Kini, kepatuhan masyarakat cenderung semakin rendah di tengah mobilitas yang tinggi.
Saat ini, ketika PPKM berlangsung, Windhu belum melihat perbedaan situasi dibandingkan dengan sebelumnya. Kepatuhan masyarakat bahkan diperkirakan turun 50 persen dari sebelumnya. Dia meminta pemerintah perlu lebih serius meningkatkan testing, tracing, dan treatment sembari terus menahan pergerakan warga.