Merawat Pengungsi Merapi Tanpa Batasan Administrasi
Dana penanganan bencana, termasuk untuk kebutuhan di lokasi pengungsian di Kabupaten Magelang, belum cair. Pemerintah desa penyedia lokasi pengungsian pun berupaya mandiri memenuhi kebutuhan pengungsi.
Dalam bayang bencana erupsi Merapi, tuan-tuan rumah di sejumlah desa pengungsian di Kabupaten Magelang menunjukkan tak ada batas untuk kemanusiaan. Tanpa kepastian dana pemerintah, mereka berjibaku merawat dan menanggung pengungsi dari desa lain.
Sejumlah perempuan duduk melingkar di sudut dapur umum pengungsian Balai Desa Banyurujo, Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ada yang mengupas singkong, mengiris wortel, dan merajang kubis. Mereka sedikit bergegas karena waktu makan bagi pengungsi segera menjelang.
”Kacang tanah, sukun, dan ketela pohon kami panen dan diolah menjadi kudapan sore bagi pengungsi,” ujar Affandi, koordinator barak di Tempat Evakuasi Akhir (TEA) Desa Banyurojo, Kecamatan Mertoyudan, Rabu (13/1/2021). Sebagai desa penyangga, mereka adalah tuan rumah bagi sedikitnya 265 pengungsi asal Dusun Babadan I, Desa Paten, Kecamatan Dukun, yang masuk zona bahaya erupsi Merapi.
Baca juga : Anggaran Belum Cair, Logistik Pengungsi Merapi Dicukupi dari Donasi
Hasil bumi itu sebenarnya ditanam warga Banyurojo di halaman belakang balai desa setempat untuk keperluan program Jogo Tonggo guna memenuhi kebutuhan pasien Covid-19 yang sedang menjalani isolasi mandiri. Namun, demi menghemat pengeluaran stok kudapan yang mulai menipis, atas izin kepala desa, warga berinisiatif memenuhi kebutuhan pengungsi dengan memanen aneka tanaman tersebut sejak awal Januari.
Hal itu dilakukan Affandi dan warga Desa Banyurojo karena hingga pertengahan Januari, anggaran dari Pemerintah Kabupaten Magelang untuk pengungsi belum bisa dipastikan kapan diterima. Sementara aliran donasi, yang saat awal ancaman erupsi melimpah, belakangan kian seret.
Di tengah keterbatasan logistik, beberapa pekan terakhir, Affandi kadang terpaksa menyajikan mi instan sumbangan donatur untuk makan pengungsi di malam hari. Padahal, semula, pemerintah berharap makanan yang disajikan bagi pengungsi adalah makanan sehat non-instan. ”Dalam semalam biasanya habis dua hingga empat dus mi instan,” ujarnya.
Sesuai kesepakatan, sejak awal barak pengungsian dibuka, awal November lalu, berlaku mekanisme bahwa pihak pemerintah desa lokasi pengungsian harus membiayai terlebih dahulu segala kebutuhan pengungsi. Selanjutnya, semua pengeluaran dicatat dan dilaporkan untuk mendapatkan penggantian dari pos bantuan tak terduga (BTT) dari APBD.
Namun, menurut Sekretaris Desa Banyurojo Agus Firmansah, karena hingga kini jadwal pencairan dana BTT belum bisa dipastikan, pihaknya menempuh berbagai upaya demi menghemat pengeluaran, termasuk dengan cara utang.
Karena hingga kini jadwal pencairan dana BTT belum bisa dipastikan, kami menempuh berbagai upaya demi menghemat pengeluaran, termasuk dengan cara utang. (Agus Firmansah)
”Sejak awal Januari, utang kami untuk belanja logistik telah lebih dari Rp 10 juta,” ujar Agus. Toleransi berutang diberikan oleh salah satu pedagang karena sudah sering bekerja sama dalam banyak kegiatan di Desa Banyurojo.
Untuk memenuhi kebutuhan sayur-mayur yang juga mulai menipis, Agus berencana meminta pasokan sayuran dari desa pengungsi. ”Kami memang terpaksa meminta bantuan pengungsi. Kalau tidak, keuangan kami bisa jebol,” ujarnya.
Adapun barak-barak pengungsian Merapi di Kabupaten Magelang mulai dibuka Jumat (6/11/2020), sehari setelah status Gunung Merapi ditetapkan Siaga. Warga 11 dusun dari empat desa mengungsi di sembilan pengungsian.
Utang
Sukarelawan di pengungsian juga punya andil merawat pengungsi. Bukan hanya tenaga, melainkan juga biaya. Sumaryatin, koordinator TEA Desa Deyangan, mengatakan, sumbangan sering didapatkan justru dari inisiatif sukarelawan. ”Kami pernah sama sekali tidak memiliki lauk-pauk dan tiba-tiba saja ada sukarelawan yang menawarkan untuk menyumbang ayam atau bebek hidup siap potong,” ucapnya.
Saat kehabisan bumbu untuk memasak, ibu-ibu dari Desa Deyangan pun berinisiatif membawa bumbu di rumah mereka. Selain itu, Sumaryatin mengatakan, pihaknya juga sempat beberapa kali berutang guna memenuhi kebutuhan gas untuk memasak.
Kepala Desa Deyangan, Mertoyudan, Risyanto mengaku, sejak awal tidak mengandalkan kucuran dana APBD untuk mengurus pengungsi. Hal ini karena penggantian pengeluaran pemerintah desa sering dibayarkan terlambat oleh Pemkab Magelang. “Kami lebih banyak mengandalkan donasi, baik dari donatur luar ataupun patungan kami sendiri,” ujarnya.
Risyanto pun selalu menekankan semua perangkat dan relawan, untuk selalu bergerak cepat dengan mengabaikan masalah dana. “Segala belanja bisa dicukupi dengan uang sendiri ataupun dengan cara utang lebih dulu,” ujarnya.
Ia menambahkan, kas di pengungsian kini sudah minus Rp 200.000. Perangkat desa dan relawan sering iuran untuk memenuhi kebutuhan pengungsi.
Baca juga : Kabupaten Magelang Siapkan Empat Skenario Pengungsian Merapi
Adapun penggantian uang belanja tersebut, lebih banyak diganti dari uang donasi dari donatur luar desa. Karena itu, Desa Deyangan terbiasa mengatasi berbagai masalah sendiri, mulai dari masalah gas untuk memasak hingga kebutuhan bumbu dapur.
Jika desa-desa lain mengandalkan donasi atau utang, di Desa Mertoyudan, kepala desa setempat, Eko Sungkono, menjadikan dirinya penyedia dana talangan untuk kebutuhan pengungsi.
“Saya sadar harus tersedia dana talangan karena kebutuhan pengungsi adalah kebutuhan manusia yang harus cepat dipenuhi,” ujar Eko. Dia pun sadar tidak bisa mengandalkan dana APBD karena pencairan anggaran pemerintah biasanya harus melalui proses administrasi yang cukup lama.
Eko sadar tidak bisa mengandalkan dana APBD karena pencairan anggaran pemerintah biasanya harus melalui proses administrasi yang cukup lama.
Terkait hal itu, Kepala Seksi Perlindungan Sosial dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kabupaten Magelang Prasetya Sakti, mengatakan, saat ini pihaknya sudah berupaya mengajukan permintaan dana talangan dari donatur untuk mencukupi kebutuhan pengungsi. Dana itu diharapkan dapat menjadi cadangan sementara saat BTT belum cair.
Nilai dana talangan yang diajukan mencapai Rp 101,25 juta, atau sekitar separuh kebutuhan sekitar 900 pengungsi dan relawan di seluruh pengungsian selama sebulan. Adapun separuh lainnya diharapkan tetap bisa dipenuhi dari donasi yang langsung masuk ke pengungsian.
Pelaksana tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Edy Susanto mengatakan, segala masalah dalam kondisi darurat bencana, semestinya disikapi dengan gotong royong. Dalam kasus kekurangan logistik di pengungsian misalnya, dapat dipecahkan dengan kerja sama antara desa penyedia pengungsi dan desa asal pengungsi.
"Desa asal pengungsi misalnya, bisa turut digerakkan, bekerja sama memenuhi kebutuhan sayur mayur di pengungsian," ujarnya. Upaya mandiri memenuhi kebutuhan di pengungsian, sangat diperlukan dan justru menunjukkan ketangguhan desa menghadapi bencana.
Terasah sejak lama
Kesigapan warga Kabupaten Magelang untuk bahu membahu, memang tidak diragukan. Keberadaan Gunung Merapi dengan beragam aktivitas vulkaniknya, telah mengasah perilaku tersebut sejak lama.
Tresno Widodo, ketua II TEA Desa Mertoyudan, mengatakan, hingga kini, dia belum melupakan pengalamannya saat terjadi erupsi Merapi 2010 silam. Ketika itu, dia diminta membantu mengevakuasi ratusan warga asal Desa Tlogolele, Kabupaten Boyolali dan warga Desa Bringin, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, yang kebingungan berdiri di tepi jalan di Kecamatan Mertoyudan.
“Mereka korban erupsi. Sebagian badannya sudah berwarna putih, tertutup abu. Mereka kebingungan harus mengungsi ke mana,” kenangnya. Melihat itu, Tresno pun langsung mengarahkan warga untuk mengungsi di gedung olahraga Desa Mertoyudan.
Karena dapur umum dan logistik saat itu belum disiapkan, Tresno pun berinisiatif menghubungi 12 kepala dusun di Desa Mertoyudan dan meminta mereka untuk menggerakkan warga menyiapkan nasi bungkus. Gerakan nasi bungkus terus dilakukan hingga dua hari pertama Desa Mertoyudan menerima pengungsi. Setelah itu, barulah beroperasi dapur umum dari donatur.
Baca juga : Dana Kemanusiaan Kompas Disiapkan Antisipasi Kondisi Darurat Merapi
Selama dua bulan, Desa Mertoyudan menerima sekitar 2.000 pengungsi. Selain menempati Gedung olahraga, sebagian pengungsi disebar untuk menempati segala Gedung, ruang pertemuan yang ada di 12 dusun di Desa Mertoyudan.
Keikhlasan menolong itu pun memunculkan jalinan persaudaraan dari warga dua desa di lereng Merapi dengan Desa Mertoyudan. Tresno mengenang, kepulangan pengungsi saat bahaya erupsi berakhir menjadi perpisahan yang mengharukan.
Baca juga : Warga Satu Dusun di Magelang Belum Mau Kembali Mengungsi
Terbawa kenangan tahun 2010, banyak perangkat dan warga Desa Mertoyudan kini kembali ingin melayani pengungsi sepenuh hati dan menganggap mereka saudara. Perasaan bersaudara itu yang kemudian membuat para perangkat desa dan relawan di pengungsian, seringkali secara otomatis memberikan sumbangan sekadar kue, makanan ringan, atau mainan kepada bocah-bocah pengungsi. Segala sumbangan dari warga itu tidak tercatat. “Tidak perlu diingat-ingat lagi karena sumbangan itu bernilai kecil,” ujarnya merendah.
Di masa darurat, inisiatif kemanusiaan pemerintah desa, warga, dan relawan di lokasi pengungsian bergerak melampaui semua aturan administrasi. Keikhlasan hati menjadi pendorong berjalannya tugas kemanusiaan.