Banjir Masih Mengancam, Cirebon Berlakukan Tanggap Darurat Bencana
Banjir diprediksi masih mengancam Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, hingga Februari 2021. Pemkab Cirebon pun menetapkan status tanggap darurat banjir di sembilan kecamatan pada 17-30 Januari 2021.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menetapkan status tanggap darurat banjir di sembilan kecamatan, 17-30 Januari 2021. Status tersebut diberlakukan karena banjir belum sepenuhnya surut dan masih mengancam warga.
Status tanggap darurat bencana itu tercantum dalam Surat Bupati Cirebon Nomor 360/98/BPBD yang diterbitkan pada Selasa (19/1/2021). Surat yang ditandatangani Bupati Cirebon Imron Rosyadi itu menetapkan status tanggap darurat di sembilan kecamatan. Daerah itu adalah Plered, Klangenan, Tengah Tani, Suranenggala, Panguragan, Susukan, dan Gunung Jati.
Banjir setinggi 30-120 sentimeter itu berlangsung sejak Minggu (17/1/2021) seiring tingginya curah hujan. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Namun, 5.352 rumah terendam dan 21.199 warga terdampak. Sebanyak 114 warga mengungsi dan ratusan hektar sawah terendam.
Meskipun sudah berangsur surut, warga masih mengkhawatirkan banjir susulan. Di Desa Suranenggala Kulon, Kecamatan Suranenggala, misalnya, sejumlah warga masih mengungsi di rumah kerabatnya. ”Lima anggota keluarga saya masih mengungsi. Kalau sore hujan lagi, jadi takut banjir. Apalagi, di rumah ada bayi,” kata Walino (50), warga setempat.
Walino telah membawa barang elektronik ke tempat lebih tinggi dan memasang karung pasir di depan pintunya untuk menghalau banjir. Namun, air tetap masuk sehingga ia harus bersiaga di rumah. Itu sebabnya, Walino sudah tiga hari terakhir tidak bekerja sebagai kernet lagi.
Kuwu (Kepala Desa) Suranenggala Kulon Kasmad mengatakan, banjir yang merendam sekitar 1.100 rumah memaksa warga mengungsi ke rumah kerabat. ”Tidak ada pengungsian karena balai desa, dua masjid, dan beberapa mushala juga terendam banjir. Kami hanya menyediakan dapur umum,” katanya.
Banjir juga merendam 230 hektar sawah di desanya. ”Ini baru selesai tanam dan bisa mati. Kerugian besar. Biaya persemaian sampai penanaman itu Rp 2 juta. Jadi, total kerugiannya dikali saja (Rp 460 juta). Petani biasanya tidak ikut asuransi untuk musim tanam pertama,” katanya.
Menurut Kasmad, banjir kali ini merupakan yang terparah sejak 39 tahun terakhir. Ironisnya, kawasan yang sama justru dilanda kekeringan saat kemarau. Embung setempat tidak mampu mengairi sawah petani sehingga gagal panen kerap terjadi.
Camat Suranenggala Indra Fitriani mengatakan, banjir berasal dari luapan Sungai Winong atau yang dikenal warga setempat dengan Sungai Karangsembung. Sungai itu mengalir dari Arjawinangun, Panguragan, hingga ke Suranenggala sebelum dibuang ke laut. Selain sampah rumah tangga, tumpukan limbah cangkang kerang hijau juga tampak di sekitar sungai.
Sungai ini infonya belum dikeruk sejak 1988. Kami sudah minta pihak terkait untuk mengeruk sungai sejak 2017.
Pihaknya sudah berupaya membuang air dengan mesin pompa ke sungai. Namun, debit air di sungai juga masih tinggi. Bahkan, seorang warga berusia 17 tahun masih dinyatakan hilang sejak Senin karena terbawa arus sungai. Korban dikabarkan bermain air di sekitar sungai.
Pemicu banjir lainnya, menurut dia, adalah pendangkalan sungai. ”Sungai ini infonya belum dikeruk sejak 1988. Kami sudah minta pihak terkait untuk mengeruk sungai sejak 2017. Namun, belum ada realisasi sampai sekarang,” lanjutnya.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Kertajati, Ahmad Faa Izyin, meminta warga di daerah rawan banjir meningkatkan kewaspadaan. ”Potensi curah hujan tinggi masih bisa terjadi hingga Februari karena itu puncak musim hujan,” katanya.