Selain Gempa Susulan, Waspadai Longsor Lanjutan di Sulbar
Selain gempa susulan, bencana lanjutan berupa tanah longsor juga mengintai warga di wilayah Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat. Potensi longsor meningkat seiring dampak gempa dan curah hujan tinggi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Selain gempa susulan di wilayah Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat, pemerintah dan warga diminta mewaspadai ancaman longsor lanjutan. Hujan yang terus turun berpotensi membuat batuan semakin rapuh dan bisa memicu longsor meski tanpa guncangan gempa. Mitigasi bencana mendesak dilakukan.
Kepala Pusat Kebencanaan Universitas Hasanuddin Adi Maulana menjabarkan, potensi longsor lanjutan di daerah Mamuju, Majene, dan sekitarnya masih sangat besar. Hal ini diakibatkan rekahan atau celah di batuan yang timbul akibat gempa utama magnitudo 6,2 beberapa hari lalu.
”Rekahan itu adalah akumulasi dari gempa sebelumnya, semisal gempa Palu tiga tahun lalu. Namun, gempa kemarin membuat rekahan bertambah besar karena dekatnya radius gempa. Gempa-gempa susulan juga terus terjadi dan membuat batuan semakin rapuh,” kata Adi di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (17/1/2021).
Meski tanpa adanya guncangan, longsoran juga sangat berpotensi terjadi. Sebab, hujan dengan intensitas sedang hingga lebat terus turun merata di semua wilayah. (Adi Maulana)
Bahkan, meski tanpa guncangan, ia melanjutkan, longsoran juga sangat berpotensi terjadi. Sebab, hujan dengan intensitas sedang hingga lebat terus turun merata di semua wilayah. Aliran air masuk ke celah batuan sehingga membuat konsolidasi batuan semakin lemah.
Batuan di Majene dan Mamuju, kata Adi, sebagian besar disusun dari batuan terumbu karang dan vulkanik. Batuan terumbu karang mudah rapuh ketika tejadi guncangan, sedangkan batuan vulkanik di daerah tersebut cukup lapuk karena perubahan cuaca dan kandungan mineral lempung yang tinggi.
Dengan kondisi seperti ini, tingkat kerawanan ancaman longsor juga semakin tinggi. ”Tanpa guncangan gempa pun tetap berpotensi besar. Sementara kita tahu gempa susulan terus terjadi pascagempa dengan magnitudo 6,2 beberapa hari lalu,” ucapnya.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah segera melakukan mitigasi, khususnya terhadap masyarakat yang menetap di sekitar lereng atau kawasan perbukitan. Lokasi pengungsian juga diarahkan di tempat lapang dengan ketinggian di atas 20 meter. Masyarakat harus diberi tahu untuk mengantisipasi potensi bencana dan ciri-ciri ketika akan terjadi longsor. Bunyi gemuruh dari dalam tanah adalah tanda awal sebelum longsoran terjadi.
Pada 2015, kata Adi, pihaknya telah memetakan kerawanan bencana di Sulawesi Barat. Sejumlah potensi bencana, baik gempa, longsor, maupun tsunami telah dipetakan. Beberapa titik di Majene dan Mamuju terpantau rawan longsor dan sejumlah bencana lain. Hal ini berdasarkan beragam parameter yang digunakan saat riset.
Potensi bencana ini telah disampaikan ke pemerintah setempat. Permasalahannya, hasil riset belum tentu menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan pembangunan dan penentuan ruang di tingkat daerah.
Gempa dengan magnitudo 6,2 melanda Majene, Jumat (15/1/2021) pukul 02.28 Wita. Gempa ini menimbulkan kerusakan bangunan parah, termasuk Kantor Gubernur Sulawesi Barat, longsoran yang menutup jalan, dan puluhan korban jiwa. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total korban meninggal hingga Senin pagi mencapai 81 orang dan ribuan orang terdampak.
Kerusakan bangunan parah banyak terjadi di Mamuju dan Majene. Rumah sakit juga rusak parah dan rumah-rumah rata dengan tanah. Sejumlah daerah juga terdampak longsor. Jalur Majene-Mamuju terputus akibat longsor meski saat ini telah terbuka. Namun, beberapa desa belum bisa diakses karena dampak longsoran.
Akademisi perencanaan wilayah Universitas Hasanuddin, Slamet Trisutomo, mengatakan, sejak tahun 1970-an, ia telah mengetahui bahwa daerah Mamuju hingga Palu adalah daerah rawan bencana. Informasi tersebut semakin tervalidasi dengan adanya peta sesar di dua daerah tersebut yang berpotensi menimbulkan dampak kerusakan dahsyat.
Meski demikian, tambah Slamet, dalam perjalanan pembangunan di Sulbar, kerawanan bencana tidak menjadi dasar utama dalam menata wilayah. ”Contoh sederhana adalah kantor Gubernur Sulbar yang dibangun di atas bukit tinggi. Padahal, kalau gempa, guncangan akan semakin terasa jika berada di tempat tinggi. Belum lagi soal konstruksi,” ucapnya.
Oleh karena itu, peta rawan bencana penting menjadi landasan pembangunan. Evaluasi menyeluruh terhadap rencana tata ruang dan rencana detail diselaraskan dengan peta kerawanan yang telah ada.
Peta kerawanan tersebut juga harus disebarkan ke masyarakat luas, khususnya yang bermukim di wilayah rentan. Masyarakat wajib tahu lokasi tempat mereka bermukim, termasuk rawan atau tidak. Mitigasi bisa dilakukan jika mengetahui tempat yang mereka pijak apakah rawan gempa, tsunami, longsor, atau lainnya.
”Umumkan saja peta rawan bencana itu. Pakai baliho, ditempel di kantor kecamatan, atau lainnya. Yang penting masyarakat tahu di mana mereka bermukim,” kata Slamet.