Menggugat Data Ruang Rawat saat Kondisi Darurat di Yogyakarta
Data keterisian tempat tidur rumah sakit yang dirilis Pemda DIY diduga tak sesuai kondisi lapangan. Apapun alasannya, hal ini membuat pusing keluarga yang sedang mencari ruang rawat untuk pasien Covid-19.

Petugas menggunakan pengeras suara untuk memberi instruksi kepada pedagang agar segera mengemasi lapak dagangan mereka di Jalan Malioboro, Yogyakarta, pada hari pertama penerapan surat edaran Wali Kota Yogyakarta tentang pengetatan secara terbatas kegiatan masyarakat, Senin (11/1/2021). Pemerintah Kota Yogyakarta hingga 25 Januari 2021 mendatang membatasi waktu operasional sejumlah tempat usaha seperti pusat perbelanjaan dan toko hingga pukul 19.00.
Kondisi darurat yang menimpa layanan kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diperparah persoalan data Covid-19 yang tak sinkron. Salah satunya mengenai ketersediaan tempat tidur rumah sakit. Akibatnya, keluarga kelimpungan mencari ruang rawat bahkan saat kondisi pasien terbilang gawat.
Sejak beberapa bulan lalu, Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY rutin mempublikasikan data bed occupancy rate atau keterisian tempat tidur perawatan pasien Covid-19 di provinsi tersebut. Data yang disebut bersumber dari laporan rumah sakit itu dipublikasikan setiap hari bersamaan dengan laporan perkembangan kasus Covid-19.
Dalam data harian itu, tercantum total jumlah tempat tidur yang tersedia, jumlah tempat tidur terisi, serta jumlah tempat tidur yang masih kosong. Data tempat tidur itu dibedakan menjadi dua, yakni tempat tidur critical atau intensive care unit (ICU) serta tempat tidur noncritical. Tempat tidur critical dilengkapi dengan ventilator atau peralatan lainnya, sedangkan tempat tidur noncritical tak dilengkapi ventilator.
Berdasar data Dinkes DIY, selama Desember hingga Januari 2021, keterisian tempat tidur tersebut selalu di atas 70 persen. Bahkan, beberapa hari selama Januari, keterisian tempat tidur sempat mencapai 93 persen. Meski begitu, data Dinkes DIY menyebutkan, tempat tidur untuk perawatan pasien Covid-19 tak pernah terisi 100 persen sehingga setiap hari selalu ada tempat tidur tersisa.
Baca juga: Layanan Kesehatan Penanganan Pandemi di Yogyakarta Terancam Kolaps
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FBOR-DIY-2_1610698556.jpeg)
Data keterisian tempat tidur untuk perawatan pasien Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama beberapa waktu terakhir. Data ini bersumber dari laporan harian Dinas Kesehatan DIY.
Masalahnya, data itu terkadang tak sinkron dengan kondisi di lapangan. Pada Selasa (12/1/2021), misalnya, Dinkes DIY menyatakan masih ada 53 tempat tidur untuk perawatan pasien Covid-19 yang kosong. Sebanyak 53 tempat tidur yang kosong itu terdiri dari 23 tempat tidur critical serta 30 tempat tidur noncritical.
Pada hari yang sama saat data dirilis, Kompas dan wartawan sejumlah media massa di Yogyakarta menghubungi 27 rumah sakit rujukan Covid-19 di DIY melalui telepon. Dari 27 rumah sakit itu, ada satu rumah sakit yang tak menjawab panggilan telepon sehingga total ada 26 rumah sakit yang berhasil dihubungi.
Baca juga: Cegah Layanan Kesehatan Kolaps, Pembatasan Mobilitas di DIY Mendesak
Berdasar hasil pengecekan itu, sebanyak 23 rumah sakit menyatakan tempat tidur perawatan pasien Covid-19 di tempat mereka telah penuh. Selain itu, ada dua rumah sakit yang menyatakan masih tersedia tempat tidur khusus untuk pasien perempuan. Hal ini karena tempat tidur itu berlokasi di ruang rawat bersama sehingga semua pasien yang dirawat di sana harus memiliki jenis kelamin yang sama.
Di sisi lain, ada satu rumah sakit yang masih memiliki enam tempat tidur yang kosong, tetapi tempat tidur itu hanya khusus untuk pasien Covid-19 dengan gangguan jiwa. Rumah sakit tersebut memang khusus menangani pasien dengan gangguan jiwa.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fd23030e3-2b6d-473d-88d7-02e6de12799c_jpg.jpg)
Pekerja menata ranjang untuk pasien di RS Veteran Patmasuri, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (13/1/2021). Rumah sakit yang berhenti beroperasi sejak 2018 itu disiapkan untuk tempat merawat pasien penderita Covid-19 tanpa gejala serta bergejala ringan hingga sedang. Pada tahap awal, sebanyak 60 tempat tidur disiapkan di tempat tersebut.
Hasil pengecekan itu menunjukkan, meski Dinkes DIY menyatakan masih terdapat 53 tempat tidur yang kosong, pasien tetap akan kesulitan mendapat ruang perawatan di rumah sakit. Apalagi, dalam data yang dipublikasikan Dinkes DIY, tidak disebutkan rumah sakit mana saja yang masih memiliki tempat tidur kosong untuk pasien Covid-19.
Antrean di IGD
Kondisi rumah sakit yang penuh itu diperkuat pernyataan pihak manajemen sejumlah rumah sakit. Saat diwawancarai pada Kamis (7/1/2021), Direktur Utama RS Panti Rapih, Yogyakarta, Vincentius Triputro Nugroho, mengatakan, sebanyak 49 tempat tidur perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit itu telah penuh.
Triputro juga menyebut, pada hari itu, sedikitnya masih ada enam orang pasien yang menunggu di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Mereka mesti dirawat sementara di IGD karena ruang isolasi untuk merawat pasien Covid-19 sudah penuh.
Triputro menambahkan, selama beberapa waktu terakhir, bed occupancy rate atau tingkat keterisian tempat tidur Covid-19 di RS Panti Rapih mencapai 95 persen hingga 100 persen. “Minggu-minggu terakhir ini full terus dan di IGD masih ada pasien yang harus dilayani sementara sambil menunggu ada ruang perawatan yang kosong,” tuturnya.
Baca juga: Saatnya Menarik ”Rem Darurat” Penanganan Pandemi di Yogyakarta?
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F20201231_235417_1609506276.jpg)
Wisatawan dan warga berkerumun di kawasan Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta, Kamis (31/12/2020) malam menjelang pergantian tahun. Kerumunan itu dikhawatirkan akan berdampak pada melonjaknya kasus Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Banyaknya pasien yang harus dirawat itu membuat IGD RS Panti Rapih terkadang harus ditutup sementara. Penutupan sementara, misalnya, dilakukan pada Selasa (29/12/2020) pagi hingga keesokan harinya. “Kondisi ini membuat IGD kami menjadi crowded sehingga kami harus melakukan buka-tutup,” ujar Triputro.
Kondisi yang penuh itu terus terjadi meski RS Panti Rapih sudah menambah jumlah tempat tidur untuk merawat pasien Covid-19. Pada Maret 2020, tempat tidur perawatan pasien Covid-19 di rumah sakit itu hanya 18 unit. Namun, pada Januari ini, jumlahnya sudah ditambah menjadi 49 tempat tidur.
Penambahan tempat tidur harus diimbangi penambahan jumlah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian khusus.
Menurut Triputro, jumlah tempat tidur untuk merawat pasien Covid-19 di RS Panti Rapih sudah sulit untuk ditambah. Hal ini karena penambahan tempat tidur harus diimbangi penambahan jumlah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian khusus.
“Kami tidak mungkin meningkatkan layanan, mengingat untuk pelayanan Covid-19 ini tidak sembarang tenaga kesehatan bisa dilibatkan. Seperti diketahui, tenaga kesehatan yang dilibatkan itu harus dengan pelatihan khusus dan kondisi khusus, misalnya tidak punya komorbid (penyakit penyerta),” ungkap Triputro.
Baca juga: Kerumunan Malam Tahun Baru di Yogyakarta, Lonjakan Kasus Mengancam
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fc9d094c5-feb9-48de-96e2-418c4570fe75_jpg.jpg)
Wisatawan berjalan-jalan di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, Sabtu (2/1/2021). Pada libur awal Tahun Baru ini, kawasan Malioboro masih ramai dikunjungi para wisatawan dan warga. Namun, sebagian pengunjung Malioboro itu masih melanggar protokol kesehatan, misalnya memakai masker secara tidak benar dan tak menjaga jarak.
Situasi mirip juga terjadi di Rumah Sakit Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman. Penanggungjawab layanan Covid-19 RSA UGM, Siswanto, mencontohkan, pada Selasa (5/1/2021), jumlah pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit itu sebanyak 53 orang.
Padahal, kapasitas ruang perawatan pasien Covid-19 di RSA UGM waktu itu hanya 42 orang. Oleh karena itu, sejumlah pasien akhirnya harus menunggu di IGD sebelum bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Bahkan, sebagian pasien itu mesti menunggu di IGD hingga dua hari
“Harusnya setelah di IGD selama dua jam, pasien itu dipindahkan ke ruang perawatan atau dirujuk ke rumah sakit lain. Tapi kondisi sekarang kan enggak bisa,” ujar Siswanto yang merupakan dokter spesialis paru.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F3acfba3d-702f-48f7-b8d2-c79560b55c48_jpg.jpg)
Tenaga medis mengenakan hazmat membawa tabung oksigen pasien Covid-19 di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat (8/1/2021). RSKD Duren Sawit menjadi salah satu dari 101 rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 dengan status pengawasan di Ibukota.
Siswanto juga memaparkan, sejumlah pasien yang membutuhkan perawatan intensif ternyata tidak bisa dirawat di ruangan ICU karena ruangan tersebut sudah penuh. Akibatnya, para pasien dengan kondisi berat itu terpaksa dirawat di ruang rawat biasa. Meski tenaga kesehatan sudah berupaya maksimal, sebagian pasien pun meninggal dunia.
“Kami seharusnya merawat pasien itu di ruang ICU dengan peralatan yang seharusnya diberikan kepada beliau, tapi karena ruangannya enggak ada, alatnya juga enggak ada, ya akhirnya semampunya dilakukan perawatan di ruang perawatan biasa. Dan memang beberapa meninggal. Ini keprihatinan yang luar biasa yang kami rasakan,” ungkap Siswanto.

Kematian melonjak
Di RS PKU Muhammadiyah Kabupaten Bantul, DIY, tempat tidur perawatan pasien Covid-19 bahkan sudah penuh sejak November 2020. “Kami merasakan, sejak minggu kedua Oktober sudah mulai over capacity (kelebihan kapasitas). Kemudian, sejak November, tempat tidur selalu terisi penuh,” kata Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul, Nurcholid Umam Kurniawan.
Oleh karena itu, sama seperti di rumah sakit lain, sejumlah pasien yang datang ke RS PKU Muhammadiyah Bantul pun mesti dirawat sementara di IGD sebelum bisa masuk ke ruang perawatan. Masalahnya, sebagian pasien itu datang dengan kondisi gejala berat sehingga butuh perawatan intensif.

Petugas memakamkan jenazah dengan protokol Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Selasa (29/12/2020).
Umam menyebut, sejak pekan kedua Desember 2020, jumlah pasien yang datang dengan gejala berat meningkat signifikan. Bahkan, beberapa pasien yang datang dengan gejala berat akhirnya meninggal dunia saat masih berada di IGD.
Sebagian pasien tersebut meninggal dunia tanpa sempat mendapat bantuan peralatan memadai karena peralatan yang tersedia lebih sedikit dibanding jumlah pasien. “Setiap minggu, kemungkinan ada satu atau dua orang yang tidak dapat peralatan memadai sehingga harus meninggal dunia di IGD,” tutur Umam.
Banyaknya pasien yang meninggal sebelum mendapat perawatan memadai itu diduga turut menyebabkan lonjakan jumlah pasien positif Covid-19 yang meninggal di DIY. Berdasarkan data Dinkes DIY, pada Oktober 2020, jumlah pasien positif Covid-19 yang meninggal di provinsi itu sebanyak 26 orang.
Baca juga: Sultan HB X Instruksikan Pengetatan Kegiatan Masyarakat di DIY
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FData-Kematian_4x_1610701372.jpeg)
Data kematian pasien Covid-19 dan pemakaman protokol Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Angka kematian itu meningkat dua kali lipat menjadi 52 orang pada November 2020 dan kemudian meningkat lagi dua kali lipat lebih menjadi 115 orang pada Desember 2020. Sementara itu, pada 1-14 Januari 2021, terdapat 89 orang pasien positif Covid-19 yang meninggal di DIY.
Artinya, pada Januari ini, rata-rata terdapat lebih dari enam pasien positif Covid-19 yang meninggal setiap hari di DIY. Padahal, pada Desember 2020, rata-rata pasien positif Covid-19 yang meninggal di DIY masih kurang dari 4 orang per hari.
Selain itu, jumlah orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 di DIY juga meningkat signifikan. Mereka yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 itu memang belum tentu terkonfirmasi positif, tetapi bisa saja memiliki gejala yang mengarah ke penyakit Covid-19.
Berdasarkan data Posko Dukungan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY, jumlah orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 di DIY pada Oktober sebanyak 62 orang. Jumlah itu meningkat menjadi 95 orang pada November, lalu melonjak signifikan menjadi 264 orang pada Desember 2020.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F20210114WEN10_1610602168.jpg)
Tenaga medis bertugas di ruang gawat darurat di Rumah Sakit Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (14/1/2021). Tenaga kesehatan menjadi prioritas pertama mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Lonjakan itu terus berlanjut pada Januari 2021. Pada 1-9 Januari, tercatat ada 101 orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 di DIY. Artinya, selama Januari ini, setiap hari ada 11 orang yang meninggal dan dimakamkan dengan protokol Covid-19 di DIY. Padahal, pada Desember 2020, rata-rata orang yang dimakamkan dengan protokol Covid-19 di DIY sekitar delapan orang per hari.
Tanggapan dinkes
Menanggapi data keterisian tempat tidur yang dinilai tak sesuai kondisi lapangan, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes DIY Yuli Kusumastuti menuturkan, terkadang rumah sakit memang tidak bisa menerima pasien dari luar meski masih memiliki tempat tidur kosong. Hal ini karena tempat tidur yang kosong itu akan digunakan untuk merawat pasien yang telah mengantre di IGD.
“Misalnya ada satu tempat tidur yang kosong di sebuah rumah sakit, ya kami melaporkannya ada satu yang kosong. Tetapi ketika ada pasien dari luar datang mau mengisi tempat tidur yang kosong itu, ya nanti dulu karena di IGD sudah ada pasien yang antre,” ujar Yuli.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fff86828c-2697-4e53-abba-e8959ca9c1cd_jpg.jpg)
Petigas kesehatan mengambil sampel tes usap Covid-19 di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (5/1/2021). Puskesmas Kecamatan Duren Sawit ditutup sementara dari tanggal 4 hingga 6 Januari Januari 2021 terkait ditemukannya kasus positif tenaga medis.
Kepala Dinkes DIY Pembajun Setyaningastutie menyatakan, sejumlah rumah sakit juga menerapkan sistem kohorting, yakni merawat sejumlah pasien di satu ruang perawatan secara bersama-sama. Dalam sistem kohorting, seluruh pasien yang dirawat di ruang perawatan itu harus memiliki jenis kelamin sama.
“Misalnya di rumah sakit A, ada satu ruangan yang memiliki dua bed (tempat tidur) tapi satu bed sudah diisi pasien putri kan enggak mungkin satu bed lainnya diisi pasien putra. Lalu kalau ruangan itu sudah diisi pasien dewasa, ya tidak bisa ada pasien anak-anak mau masuk,” ungkap Pembajun.
Dalam sistem kohorting, seluruh pasien yang dirawat di ruang perawatan itu harus memiliki jenis kelamin sama.
Menurut Pembajun, kondisi itulah yang antara lain menyebabkan rumah sakit tidak bisa menerima pasien dari luar meski masih memiliki tempat tidur yang kosong. Selain itu, ada juga kemungkinan rumah sakit menyediakan satu atau dua tempat tidur khusus untuk tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut.
“Saya tidak melarang bila teman-teman rumah sakit kemudian menyediakan satu atau dua bed untuk internal. Misalnya dokter atau perawat yang bertugas di situ sakit, kan harus dirawat di rumah sakit itu kan,” tutur Pembajun.

Warga mendaftarkan diri untuk mendapat layanan medis dengan BPJS Kesehatan di RSUD Kota Yogyakarta, Umbulharjo, Yogyakarta, Senin (24/8/2020).
Berdasar data Dinkes DIY, total tempat tidur pada 27 rumah sakit rujukan Covid-19 sebenarnya mencapai 4.977 tempat tidur yang terdiri dari 520 tempat tidur critical dan 4.475 tempat tidur noncritical.
Akan tetapi, jumlah tempat tidur yang didedikasikan untuk perawatan Covid-19 baru sebanyak 728 unit atau sekitar 14,6 persen dari total tempat tidur. Tempat tidur untuk Covid-19 itu terdiri 76 tempat tidur critical dan 652 tempat tidur noncritical.
Pembajun memaparkan, jumlah tempat tidur untuk pasien Covid-19 idealnya berkisar 25-30 persen dari total tempat tidur di rumah sakit. Oleh karena itu, Dinkes DIY akan mendorong rumah sakit menambah jumlah tempat tidur perawatan pasien Covid-19.

Pekerja keluar dari sebuah toko sepatu di Jalan Malioboro, Yogyakarta, yang tutup lebih awal pada hari pertama penerapan surat edaran Wali Kota Yogyakarta tentang pengetatan secara terbatas kegiatan masyarakat, Senin (11/1/2021).
Akan tetapi, penambahan tempat tidur itu juga mesti diikuti penambahan tenaga kesehatan. Padahal, saat ini, jumlah tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan merawat pasien Covid-19 sangat terbatas.
Di sisi lain, upaya penanganan pandemi Covid-19 juga tak bisa diserahkan hanya kepada tenaga kesehatan di rumah sakit. Masyarakat mesti berperan aktif mencegah penularan dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Sementara itu, pemerintah harus melakukan intervensi untuk mengendalikan penularan, misalnya dengan membatasi kegiatan masyarakat.
Apabila laju penularan Covid-19 tak bisa dikendalikan, lonjakan jumlah pasien bakal terus terjadi. Pada akhirnya, rumah sakit akan tetap kewalahan meski jumlah tempat tidur dan tenaga kesehatan terus ditambah.