Abrasi yang mengikis pesisir pantai di Banyuwangi semakin mengkhawatirkan. Dalam waktu kurang dari setahun, abrasi mengikis 42.000 meter persegi pesisir Pantai Cemara, Banyuwangi.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Abrasi yang mengikis pesisir pantai di Banyuwangi semakin mengkhawatirkan. Dalam waktu kurang dari setahun, abrasi mengikis 42.000 meter persegi pesisir Pantai Cemara, Banyuwangi.
Berdasarkan pantauan hingga Sabtu (16/1/2021), abrasi di Pantai cemara membuat aktivitas nelayan terganggu. Selain itu, terkikisnya pesisir juga membuat lahan yang biasa digunakan untuk pariwisata dan konservasi alam semakin menyempit.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Perikanan Banyuwangi Hary Cahyo Purnomo di Banyuwangi, Jumat (15/1). ”Abrasi saat ini menjadi ancaman nyata yang mengikis pantai-pantai di Banyuwangi. Dari panjang pantai 175 km, ada beberapa pantai di Banyuwangi bagian timur yang terkikis akibat fenomena alam ini,” tuturnya.
Hary mencontohkan beberapa pantai yang mengalami abrasi ialah Pantai Cacalan, Pantai Boom, dan Pantai Cemara. Tingkat keparahan abrasi di masing-masing pantai berbeda antara 50 meter dan 100 meter dalam satu tahun terakhir.
Menurut Hary, hal itu terjadi murni karena faktor alam. Pihaknya belum bisa berbuat banyak selain berupaya menekan laju abrasi dengan membangun pemecah gelombang.
Adanya abrasi dirasakan langsung Ketua Kelompok Sadar Wisata Pantai Cemara Mohammad Muhyi. Pantai di Pesisir Timur Banyuwangi yang berbatasan langsung dengan Selat Bali itu juga terdampak abrasi.
”Sejak 5 Mei 2020, luasan pesisir pantai yang terkikis mencapai lebar 60 meter dengan panjang pantai 700 meter. Abrasi ini diperparah dengan banjir rob. Dulu, pengikisan terjadi, tetapi tidak secepat satu tahun terakhir ini,” ungkapnya.
Selain mengikis pesisir pantai, Muhyi mengatakan, abrasi juga membuat 1.200 pohon cemara udang dan cemara laut tumbang. Pohon-pohon cemara tersebut semula ditanam di atas pesisir yang terkikis tersebut.
Biasanya, wisatawan memanfaatkan pohon cemara untuk berteduh dan menggelar tikar saat berwisata di Pantai Cemara. Akibat abrasi tersebut, wisatawan semakin kesulitan apabila ingin berteduh di bawah rimbunnya pohon cemara di pesisir pantai.
”Tumbangnya pohon cemara juga mengganggu aktivitas para nelayan yang hendak bersandar atau berangkat berlayar. Saat ini hampir setiap hari ada pohon yang tumbang. Setiap hari pula kami harus bersihkan agar tidak mengganggu nelayan atau bahkan justru membuat pohon tersebut terseret ke tengah Selat Bali,” tuturnya.
Muhyi menambahkan, abrasi juga membuat bangunan semipermanen yang biasa digunakan untuk konservasi penyu roboh. Bangunan berukur 4 meter x 6 meter tersebut roboh karena pasir yang menjadi dasar bangunan ikut terkikis.
Pantai Cemara merupakan destinasi wisata sekaligus sarana konservasi alam. Sejak Januari 2011, para nelayan di Pantai Cemara melakukan penanaman pohon cemara di pesisir pantai dan mangrove di muara sungai yang mengarah ke Selat Bali tersebut.
Pada awal penanaman, para nelayan menanam sedikitnya 20.000 bibit cemara dengan tingkat kehidupan tanaman mencapai 80 persen. Hingga kini, ada lebih dari 50.000 cemara yang ditanam di lokasi tersebut.
Saat ini, berbagai upaya untuk mencegah abrasi semakin luas akan dilakukan. Salah satunya dengan membuat pemecah ombak yang rencananya akan dibangun menggunakan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT Pertamina.
Selain itu upaya penanaman kembali pohon cemara juga terus digalakkan. Terakhir, Dharma Wanita Persatuan Dirjen Perhubungan Laut bersama Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Wangi juga melakukan penanaman 1.000 bibit cemara udang di Pantai Cemara.