Layanan Kesehatan Penanganan Pandemi di Yogyakarta Terancam Kolaps
Layanan kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta berada dalam kondisi darurat karena jumlah pasien Covid-19 melonjak. Banyak pasien kesulitan mendapat ruang perawatan, yang sebagian di antaranya akhirnya meninggal.
Layanan kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta berada dalam kondisi darurat karena jumlah pasien Covid-19 melonjak signifikan. Banyak pasien kesulitan mendapat ruang perawatan karena sejumlah rumah sakit telah penuh. Bahkan, sebagian pasien akhirnya meninggal tanpa perawatan memadai.
Kesulitan mendapat ruang perawatan di rumah sakit itu antara lain dirasakan Akib Aryo (26). Akhir Desember lalu, warga Kota Yogyakarta itu dinyatakan positif Covid-19 setelah menjalani tes reaksi berantai polimerase atau PCR beberapa hari sebelumnya. ”Saya merasa demam, batuk-batuk kering, dan kepala sakit banget,” katanya.
Setelah dinyatakan positif, Akib meminta bantuan teman dan saudaranya mencari ruang perawatan di rumah sakit. Selain agar bisa dirawat maksimal, hal itu dilakukan agar Akib tak menularkan Covid-19 ke keluarganya. ”Di rumah, saya tinggal dengan ibu dan budhe yang cukup berisiko karena usianya di atas 50 tahun,” kata Akib, Minggu (10/1/2021).
Salah satu teman Akib, Benedicta Kirana (38), menceritakan, hasil tes PCR Akib keluar pada Sabtu (26/12/2020) sekitar pukul 14.00. Setelah itu, ia langsung ”bergerilya” menelepon sejumlah rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) guna mengecek apakah masih ada tempat tidur untuk merawat pasien Covid-19.
Baca Juga: Cegah Layanan Kesehatan Kolaps, Pembatasan Mobilitas di DIY Mendesak
Awalnya, Benedicta menelepon empat rumah sakit di DIY, baik milik pemerintah maupun swasta. Hasilnya, tiga rumah sakit menyatakan tempat tidur perawatan pasien Covid-19 sudah penuh, sedangkan satu rumah sakit lain tak menjawab panggilan telepon.
”Petugas di salah satu rumah sakit mengatakan, sudah banyak pasien yang antre untuk dapat kamar perawatan. Di dua rumah sakit lain, petugas bilang ada beberapa pasien yang sudah di instalasi gawat darurat (IGD), tetapi belum dapat kamar perawatan,” ujarnya.
Baca Juga: Saatnya Menarik ”Rem Darurat” Penanganan Pandemi di Yogyakarta?
Beruntung, salah satu rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta akhirnya tersedia. Rumah sakit itu menyebut masih ada ruang perawatan pasien Covid-19 yang kosong. ”Tapi petugas bilang bahwa pasien enggak bisa langsung masuk. Harus diperiksa oleh dokter IGD dulu untuk menentukan pasien perlu rawat inap atau enggak,” tuturnya.
Meski tak ada kepastian untuk rawat inap, Akib dibawa ke rumah sakit tersebut. Sekitar pukul 18.00 atau 4 jam setelah dinyatakan positif Covid-19, Akib sampai di rumah sakit itu. Setelah diperiksa, awalnya Akib dinyatakan sebagai pasien yang tak harus dirawat inap karena gejalanya dianggap tak terlalu berat.
Petugas rumah sakit baru menyatakan Akib bisa dirawat inap, setelah pihak keluarga menjelaskan ia memiliki riwayat penyakit penyerta. ”Aku yakin umpamanya kondisi ruang perawatannya longgar, enggak perlu kayak gitu,” kata Benedicta.
Lonjakan pasien
Akib hanya satu dari banyak pasien di DIY yang beberapa waktu terakhir kesulitan mendapatkan ruang perawatan di rumah sakit. Kesulitan sejumlah pasien mendapatkan ruang perawatan itu terjadi karena lonjakan kasus Covid-19 di DIY.
Sebagai gambaran, pada 1-31 Desember 2020, terdapat 6.192 kasus Covid-19 di provinsi itu. Padahal, pada periode 15 Maret-30 November 2020, hanya tercatat 5.963 kasus. Artinya, jumlah kasus Covid-19 di DIY pada Desember 2020 lebih banyak dibandingkan dengan total kasus pada sembilan bulan sebelumnya.
Pada Januari 2021, lonjakan kasus Covid-19 terus terjadi. Pada periode 1-14 Januari 2021, jumlah kasus Covid-19 di DIY mencapai 3.937 kasus atau rata-rata 281,21 kasus per hari. Rata-rata kasus harian pada Januari ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pada Desember 2020 yang sebesar 199,74 kasus per hari.
Lonjakan kasus itu kemudian berdampak pada lonjakan jumlah pasien yang harus dirawat di rumah sakit di DIY. Jumlah pasien melonjak signifikan, antara lain terjadi di Rumah Sakit Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, DIY.
Penanggung jawab layanan Covid-19 RSA UGM, Siswanto, menceritakan, pada Agustus 2020, jumlah pasien positif Covid-19 di RSA UGM hanya 16 orang. Lalu, 65 orang pada September, menurun menjadi 36 orang (Oktober), naik lagi menjadi 59 orang (November), dan melonjak menjadi 187 orang (Desember).
Lonjakan juga terjadi pada pasien yang berstatus suspek Covid-19. Pada Agustus, jumlah pasien suspek yang dirawat di RSA UGM hanya 58 orang, September 81 orang, Oktober 65 orang, November 116 orang, dan Desember melonjak menjadi 266 orang.
Atas lonjakan itu, tidak semua pasien langsung bisa mendapat ruang perawatan sehingga sebagian harus mengantre di IGD. ”Harusnya setelah di IGD selama 2 jam, pasien itu dipindahkan ke ruang perawatan atau dirujuk ke rumah sakit lain. Namun, kondisi sekarang, kan, enggak bisa,” ujar Siswanto yang merupakan dokter spesialis paru.
Beberapa waktu terakhir, rata-rata ada 5-7 pasien di RSA UGM harus menunggu di IGD selama lebih dari 24 jam sebelum mendapat ruang perawatan. Bahkan, sebagian menunggu di IGD selama dua hari sebelum akhirnya bisa dipindahkan ke ruang perawatan.
Selain itu, ada beberapa pasien yang seharusnya dirawat di unit perawatan intensif (intensive care unit/ICU), tetapi terpaksa dirawat di ruang perawatan biasa karena ruangan ICU sudah penuh. Bahkan, sejumlah pasien yang tak bisa dirawat di ICU itu akhirnya meninggal. ”Ini keprihatinan yang luar biasa yang kami rasakan,” ucap Siswanto.
Baca Juga: Kerumunan Malam Tahun Baru di Yogyakarta, Lonjakan Kasus Mengancam
Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi Kabupaten Bantul. Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul Nurcholid Umam Kurniawan mengatakan, sejak November 2020, tempat tidur untuk pasien Covid-19 di RS PKU Muhammadiyah Bantul selalu terisi penuh.
Dengan kondisi tersebut, sebagian pasien juga mesti menunggu di IGD sebelum bisa masuk ke ruang perawatan. Masalahnya, sebagian pasien yang masuk ke RS PKU Muhammadiyah Bantul datang dengan kondisi gejala berat sehingga membutuhkan perawatan intensif.
Umam menyebut, sejak pekan kedua Desember 2020, jumlah pasien yang datang dengan gejala berat itu meningkat signifikan. Bahkan, beberapa pasien yang datang dengan gejala berat itu akhirnya meninggal saat masih di IGD.
Kondisi sejumlah rumah sakit penuh itu tak hanya berdampak pada pasien yang ingin dirawat. Sejumlah pasien yang sudah dirawat di rumah sakit pun mengalami kesulitan saat hendak dirujuk ke rumah sakit lain untuk perawatan yang lebih intensif.
Situasi itu tergambar dari data gerakan Sambatan Jogja (Sonjo). Sonjo merupakan gerakan kemanusiaan yang melibatkan berbagai kalangan dan bertujuan membantu penanganan pandemi Covid-19. Salah satu aktivitas Sonjo membantu mencarikan rumah sakit rujukan bagi pasien terkait korona.
Inisiator Sonjo, Rimawan Pradiptyo, mengatakan, sejak pertengahan Desember 2020, Sonjo membentuk grup Whatsapp beranggotakan para direktur dan tenaga kesehatan sejumlah rumah sakit di DIY. Grup Whatsapp yang dinamai Sonjo Rewangan itu menjadi sarana komunikasi bagi para tenaga kesehatan yang ingin merujuk pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.
Rimawan memaparkan, pada periode 14 Desember 2020 sampai 11 Januari 2021, terdapat 89 pasien yang datanya dimasukkan ke grup Whatsapp Sonjo Rewangan. Dari jumlah itu, 54 orang di antaranya berhasil dirujuk ke rumah sakit lain. Sementara itu, 25 orang masih dalam proses menunggu rujukan, dan 10 orang meninggal ketika menunggu rujukan.
Sebagian tenaga kesehatan yang sudah dinyatakan lolos seleksi pun akhirnya mundur dengan alasan keluarganya tak memberi izin.
Kendala SDM
Kepala Dinkes DIY Pembajun Setyaningastutie memaparkan, jumlah tempat tidur untuk merawat pasien Covid-19 di DIY sebenarnya terus ditambah. Pada akhir November 2020, jumlah tempat tidur perawatan pasien Covid-19 di DIY baru sebanyak 463 unit, terdiri dari 49 tempat tidur critical atau ICU dan 414 tempat tidur noncritical.
Sementara itu, pada Rabu (13/1/2021), jumlah tempat tidur itu telah bertambah menjadi 728 unit atau bertambah sekitar 57 persen. Total tempat tidur itu terdiri dari 76 tempat tidur critical dan 652 tempat tidur noncritical.
Pembajun menuturkan, ke depan, jumlah tempat tidur untuk perawatan pasien Covid-19 itu akan didorong untuk ditambah. Akan tetapi, penambahan itu tak mudah dilakukan karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM).
Untuk mengatasi keterbatasan SDM, Dinkes DIY pernah melakukan prekrutan tenaga kesehatan guna membantu merawat pasien Covid-19. Namun, jumlah tenaga kesehatan yang berhasil direkrut itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan. Hal ini diduga karena sebagian tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan enggan bekerja di tempat perawatan Covid-19.
Bahkan, sebagian tenaga kesehatan yang sudah dinyatakan lolos seleksi pun akhirnya mundur dengan alasan keluarganya tak memberi izin. ”Kita butuh 238 tenaga kesehatan, tetapi yang mendaftar 88 orang dan lolos administrasi 63 orang. Sementara itu, yang akhirnya bisa bekerja hanya 26 orang,” tutur Pembajun.
Pembajun mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah berjanji memberi bantuan tambahan tenaga kesehatan ke DIY melalui program Nusantara Sehat. Namun, belum bisa dipastikan berapa jumlah tenaga kesehatan tambahan itu. Selain itu, waktu kedatangan mereka juga belum dapat dipastikan.
Akan tetapi, Pembajun juga mengingatkan, rumah sakit merupakan garda terakhir penanganan pandemi Covid-19. Sebanyak apa pun tempat tidur dan tenaga kesehatan yang disiapkan, rumah sakit tetap akan kewalahan apabila laju penularan Covid-19 tak bisa dikendalikan.
Untuk mengendalikan penularan, masyarakat harus disiplin menerapkan protokol kesehatan yang mencakup memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Selain itu, pemerintah juga harus konsisten menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat. Tanpa dua langkah itu, layanan kesehatan akan sulit menghindar dari kondisi darurat dan bisa jadi terancam kolaps atau ”roboh”.