Tak cukup berada di garda depan perang melawan Covid-19, komunitas perawat di Palembang juga membangun solidaritas sosial. Mereka memprakarsai gerakan berbagi makanan siap santap bagi kaum papa.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
Tak cukup berada di garda depan perang melawan Covid-19, komunitas perawat di Palembang juga membangun solidaritas sosial. Mereka memprakarsai gerakan berbagi makanan siap santap bagi kaum papa.
Agustiawan (32) bersama lima rekannya sesama perawat sabar melayani warga di Kelurahan Kemas Rindu, Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (10/1/2020). Sore itu, puluhan warga, yang didominasi kaum papa, antre membeli makanan yang disediakan Komunitas Perawat Peduli Palembang. Ada 500 porsi beragam menu yang bisa ditebus hanya dengan Rp 1.000 per porsi.
Di tengah hari liburnya, Agustiawan memilih berpartisipasi menjadi sukarelawan pada gerakan ”Dapur Berbagi”. Sebagai perawat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Mohammad Hoesin, biasanya ia bertugas di ruang isolasi untuk pasien Covid-19. Di sana dia melayani pasien yang sudah kritis. Mulai dari memberi obat, makanan, hingga membantu pasien saat BAB.
”Saya merawat pasien yang sudah berhadapan dengan dua kemungkinan, sembuh atau mendatangi ajal,” katanya.
Sejatinya, tak hanya pasien yang berjuang melawan Covid-19 di tubuhnya, tenaga kesehatan seperti Agustiawan juga berjuang agar tak tertular Covid-19. Karena itu, ia senantiasa mengenakan alat pelindung diri lengkap dan disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Di tengah tugas kemanusiaan tersebut, Agustiawan masih meluangkan waktu dan sebagian pendapatannya untuk mengurusi warga kurang mampu lewat ”Dapur Berbagi”.
”Berbagi adalah cara paling tepat untuk bersyukur kepada Tuhan. Dengan berbagi, kita tidak akan miskin. Pasti ada cara Tuhan untuk mencukupkan kita,” katanya.
Terbentuk pada 20 Agustus 2019, komunitas ini memiliki misi untuk membantu mereka yang membutuhkan. Fitriono Bagustio, inisiator Komunitas Perawat Peduli Palembang, awalnya menyisihkan sebagian gajinya sebagai perawat di RS Ernaldi Bahar untuk membagikan makanan kepada warga tidak mampu.
Gerakan sosial yang lantas diunggah ke media sosial itu menarik minat banyak rekan sesama perawat. Meski gaji perawat di Palembang berkisar Rp 3 juta-Rp 5 juta per bulan, mereka mau menyisihkan sebagian untuk kaum papa.
Ada pula perawat di pelosok, yang dengan gaji ratusan ribu rupiah per bulan, turut berdonasi dalam gerakan itu. Hingga kini ada 49 perawat yang tergabung dalam komunitas.
Berbagi adalah cara paling tepat untuk bersyukur kepada Tuhan. Dengan berbagi, kita tidak akan miskin. Pasti ada cara Tuhan untuk mencukupkan kita. (Agustiawan)
”Dapur Berbagi” digelar rutin sebulan sekali di tempat berbeda. Lambat laun gerakan ini makin dikenal dan warga banyak yang berdonasi.
”Syukur, ada saja yang ingin berkontribusi sehingga kami tidak pernah kekurangan untuk berbagi,” ucap Bagustio.
Sangat terbantu
Saat mentari serasa meredup, antrean warga yang membeli makanan kian panjang. Bagustio terus mengingatkan warga untuk menjaga jarak dan tetap memakai masker.
”Semua pasti kebagian. Tetap antre, ya, jangan berkerumun,” ujarnya.
Suyanti (50) masuk dalam antrean panjang itu. Bersama puluhan warga lain yang sebagian besar kaum ibu, ia menunggu giliran untuk bisa memesan makanan. Antusiasmenya kian tinggi karena hanya dengan membayar Rp 1.000, ia bisa memilih sejumlah menu makanan yang tersaji.
Suyanti membawa beberapa wadah makanan dan menggenggam beberapa lembar uang ribuan. Tiba gilirannya, dia memesan beberapa menu, seperti ikan, sup, dan telur.
”Syukurlah, hari ini kami bisa makan enak,” ujar Suyanti.
Sejak sembilan bulan lalu, selama pandemi, pendapatan suaminya yang bekerja sebagai tukang becak menurun drastis. Sebelum pandemi, per hari suaminya bisa membawa pulang uang Rp 50.000. Namun, sejak pandemi, pendapatannya hanya sekitar Rp 20.000.
Tak jarang, suaminya pulang dengan tangan hampa. ”Banyak anak yang tidak masuk sekolah. Orangtua pun jarang ke pasar. Akibatnya, penghasilan suami saya turun,” ucap Suyanti.
Bantuan dari pemerintah, baik Program Keluarga Harapan, bantuan langsung tunai, maupun lainnya belum pernah dia cicipi. Berkali-kali ia mendaftar, tetapi belum pernah dapat.
”Sekalinya saya tanya ke pihak kelurahan, malah dimarahin,” ujarnya. Oleh karena itu, keberadaan ”Dapur Berbagi” sangat berarti baginya.
Begitu pun Yuliana (30) yang antusias membeli sejumlah menu makanan yang tersedia. Bahkan, anak sulungnya ikut mengantre. Bagi Yuliana, program ini bak oase di tengah keringnya pendapatan suami sebagai buruh bangunan.
”Pendapatan suami Rp 70.000-Rp 90.000 per hari. Itu pun kalau ada proyek. Kalau tidak ada, ya, tidak ada pemasukan,” kata ibu tiga anak ini.
Di kawasan tempat Suyanti dan Yuliana bermukim, memang banyak warga yang bekerja sebagai tukang becak, pedagang di pasar, dan buruh bangunan.
Ketua RT 032 RW 008 Kelurahan Kemas Rindu, Edy Kusuma, mengatakan, ada sekitar 500 orang yang tinggal di kawasan ini. Akibat pandemi, kehidupan mereka kian terpuruk. Banyak warga yang diberhentikan dari pekerjaan. Mereka pun beralih pekerjaan sebagai tukang becak.
Keberadaan ”Dapur Berbagi” setidaknya memberikan kelegaan di tengah impitan hidup yang mendera. Edy berharap bantuan bisa terus berlanjut, bahkan setelah pandemi.
Bagi komunitas ini, profesi perawat tak hanya melayani di rumah sakit, tetapi juga merawat asa bagi mereka yang kekurangan.
”Ketika kita menabur kebaikan, maka kebaikan jugalah yang akan kita tuai,” ujar Bagustio.