Peliputan Perdagangan Orang Harus Mengutamakan Korban
Masih banyak media yang belum menggunakan perspektif korban dalam meliput kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Misalnya, media mengungkap secara jelas identitas korban.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·2 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Peliputan kasus tindak pidana perdagangan orang harus mengutamakan perspektif korban. Dengan begitu, media dapat berperan dalam pengungkapan kasus kejahatan luar biasa tersebut.
Hal ini terungkap dalam pelatihan daring jurnalistik bertema ”Mengampanyekan Pelaporan Jurnalistik Berbasis Korban pada Kasus Perdagangan Orang” yang diikuti Kompas di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (13/1/2021). Kegiatan itu difasilitasi oleh International Organization for Migrant (IOM) Indonesia,
National Programme Officer Counter Trafficking Unit and Migrant Protection IOM Indonesia Among Resi Pundhi mengatakan, masih banyak media yang belum menggunakan perspektif korban dalam meliput kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). ”Misalnya, media menuliskan alamat lengkap korban. Ini justru membahayakan korban,” katanya.
Tidak hanya itu, media bahkan ada yang menampakkan gambar korban TPPO, termasuk anak di bawah umur. Akibatnya, pelaku TPPO bisa mengancam keluarga korban dan pengungkapan kasus pun terhambat.
Sebaliknya, Among mengapresiasi upaya sejumlah media yang mengutamakan perspektif korban dalam laporannya. Seperti tidak mengungkap identitas korban dan fokus pada persoalan perdagangan orang. Dengan begitu, media bisa membantu penanganan kasus TPPO.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rafael Walangitan mengatakan, korban perdagangan orang punya hak untuk dilindungi, termasuk oleh media. ”TPPO ini bukan kejahatan biasa. Makanya, perlu peran sejumlah pihak,” ujarnya.
Di Indonesia, kasus TPPO mengkhawatirkan. Mengutip data Kementerian Luar Negeri, Rafael mengatakan, kasus TPPO pada 2015-2019 hampir mencapai 2.000 kasus. Korbannya didominasi oleh pekerja migran Indonesia. ”Korban TPPO bisa dieksploitasi secara finansial, seksual, hingga penjualan organ tubuh,” ujarnya.
Korban TPPO bisa dieksploitasi secara finansial, seksual, hingga penjualan organ tubuh.
Menurut Rafael, pemerintah sudah berupaya mencegah TPPO dengan sejumlah regulasi, seperti Perpres Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO juga bisa menjerat pelaku.
Kepala Subdirektorat Prapenuntutan Direktorat Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara Kejaksaan RI Anita Dewayani mengatakan, pelaku TPPO yang terbukti bersalah akan diproses hukum. Selama 2020, pihaknya menangani 55 perkara berdasarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Dari jumlah itu, sebanyak 51 berkas perkara dinyatakan lengkap (P21). Sebanyak 49 perkara memasuki masa persidangan dan dua telah diputuskan pengadilan negeri. Perkara terbanyak berasal dari DKI Jakarta (32 perkara) dan Jawa Timur (12 perkara).
”Data ini belum menggambarkan kondisi sebenarnya karena ada daerah yang belum memperbarui datanya. Oleh karena itu, peran sejumlah pihak dibutuhkan untuk melaporkan kasus TPPO, termasuk media,” katanya.