Hendak Berobat ke NTT, Pasien Asal Maluku Meninggal di Tengah Laut
Seorang warga asal Pulau Moa, Maluku, yang sakit parah, memilih berobat ke Kupang, NTT. Setelah perjalanan dua malam di tengah laut, ia mengembuskan napas terakhir. Ini menambah cerita kelam layanan kesehatan di Maluku.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Zadrak Hayer (67), warga Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, meninggal di atas kapal perintis KM Sabuk Nusantara 87 yang sedang berlayar menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur. Zadrak memilih berobat ke Kupang lantaran fasilitas kesehatan di daerahnya tidak memadai. Ini menambah deretan catatan buruk pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Maluku.
Menurut dokumen yang dikeluarkan PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), Zadrak dilaporkan meninggal pada Selasa (12/1/2021) sekitar pukul 21.18 Wita. Saat ini, kapal tengah berlayar di Laut Sawu dengan posisi sekitar 13 mil laut dari Ataputu, Kabupaten Belu, NTT. Kapal baru tiba di Kupang pada Rabu pagi. Perjalanan dari Pulau Moa ke Kupang memakan waktu sekitar tiga hari.
Zadrak dievakuasi ke atas kapal tersebut di Pulau Moa pada Minggu (10/1) petang. Ia dan keluarga memutuskan berobat ke Kupang lantaran penyakit gagal jantung yang diderita tidak bisa ditangani petugas medis setempat. Di daerah itu tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai, termasuk tak ada dokter ahli jantung.
Masih menurut isi dokumen yang ditandatangani nakhoda KM Sabuk Nusantara 87 atas nama Ampa Uleng tersebut, selain keluarga, juga ikut mendampingi Zadrak seorang dokter umum bernama Meyke Tahalele. Zadrak meninggal murni gagal jantung. Tes Covid-19 menunjukkan hasil negatif.
Anos Yeremias, anggota DPRD Provinsi Maluku yang ikut dalam pelayaran tersebut, saat dihubungi pada Rabu (13/1) siang, membenarkan. ”Kami sekarang lagi di Kupang dan segera pulang dengan kapal yang sama ke Maluku,” ujar Anos, yang ikut membantu proses evakuasi Zadrak dari darat ke kapal lantaran tak ada pelabuhan.
Menurut Anos, Zadrak memilih ke Kupang lantaran fasilitas kesehatan di Moa, yang merupakan pusat Kabupaten Maluku Barat Daya, tidak memadai. Jika ke Ambon, ibu kota provinsi Maluku, Zadrak masih harus menunggu kapal beberapa hari lagi. Kendati harus berlayar selama tiga hari ke Kupang, itu menjadi pilihan terbaik mereka.
Anos mengatakan, meninggalnya pasien di tengah laut menjadi tamparan keras bagi para pejabat di daerah, termasuk dirinya. Ini membuktikan pemerintah gagal menjamin kebutuhan dasar masyarakat. Kasus serupa bukan baru pertama kali terjadi di daerah yang berbatasan dengan Australia dan Timor-Leste itu.
Secara terpisah, Stenly Ruf, warga Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, menuturkan, selama ini warga Pulau Lirang memilih berobat ke Dili, Timor-Leste. Mereka sering mengantar pasien menggunakan perahu motor nelayan. Bahkan, bagi pasien gawat darurat akan dijemput menggunakan pesawat di Pulau Atauro, pulau milik Timor-Leste yang berada dekat Lirang.
”Kalau ke Ambon, butuh perjalanan sekitar satu minggu. Kalau ke Kupang, sekitar dua hari. Jadi, kami pilih ke Dili karena hanya hitungan jam saja. Dari dulu masalah ini tidak bisa diselesaikan. Sayangnya, saat Covid-19 ini, di Dili dilakukan pembatasan, jadi kami belum bisa ke sana dengan leluasa,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Meikyal Pontoh mengatakan, di Kabupaten Maluku Barat Daya hanya terdapat satu rumah sakit. Rumah sakit tipe D itu ada di Pulau Moa, tempat Zadrak berasal. Rumah sakit itu minim fasilitas. Pontoh juga sudah mengetahui kondisi pelayanan kesehatan di sana.
Terkait dengan ketiadaan tenaga kesehatan, lanjut Pontoh, itu lebih disebabkan kurangnya minat tenaga kesehatan bertugas di sana. Banyak yang tidak betah sehingga memilih pulang ke kota. Alasannya, daerah itu minim akses. ”Padahal, daerah sudah menyiapkan anggaran untuk insentif dokter spesialis sekitar Rp 35 juta sampai Rp 50 juta,” ujarnya.