Vonis hukuman percobaan bagi Wakil Ketua DPRD Tegal Wasmad Edi Susilo dinilai menjadi antiklimaks dalam penegakan ketentuan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tegal, Jawa Tengah, Selasa (12/1/2021), menjatuhkan vonis hukuman percobaan bagi Wasmad Edi Susilo. Wakil Ketua DPRD Tegal itu dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana pelanggaran kekarantinaan kesehatan dan tidak mematuhi perintah yang diberikan pejabat yang sah.
Majelis hakim yang diketuai Toetik Ernawati memutuskan menjatuhkan pidana 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara. Vonis dijatuhkan atas tindakan Wasmad yang menggelar hajatan dengan hiburan konser dangdut yang mengundang kerumunan massa di Lapangan Tegal Selatan, akhir September 2020.
Dengan vonis tersebut, Wasmad tidak perlu menjalani hukuman penjara. Wasmad baru akan dikenai hukuman kurungan selama 6 bulan jika mengulangi perbuatannya atau melakukan tindak pidana lain dalam masa percobaannya, yakni setahun ke depan. Jika Wasmad tidak membayar denda sebesar Rp 50 juta, ia juga baru akan dihukum penjara selama 3 bulan. Denda itu setara dengan biaya yang dikeluarkan Wasmad untuk menyewa orkes dangdut.
”Penjatuhan pidana penjara merupakan ultimum remidium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum. Majelis hakim memandang, penjatuhan pidana percobaan dan denda efektif untuk mecapai tujuan pemidanaan, yakni pembinaan pelaku, bukan hanya balas dendam atau sebagai tujuan supaya mempunyai efek jera saja,” tutur Toetik.
Dalam pertimbangan hakim, ada sejumlah hal yang memberatkan. Sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Tegal, Wasmad seharusnya bisa memberi teladan dalam kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Sebagai pejabat publik, Wasmad juga diharapkan memiliki kepedulian dan mendukung upaya pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19.
Adapun pertimbangan yang meringankan, Wasmad bersikap sopan selama persidangan dan terdakwa belum pernah dihukum. Selama persidangan, ia juga memberikan keterangan yang jelas, tidak berbelit-belit, serta mengakui dan menyesali perbuatannya.
Majelis hakim menyimpulkan, hukuman yang dijatuhkan cukup adil bagi terdakwa dan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat.
Penjatuhan pidana penjara merupakan ultimum remidium atau upaya terakhir dalam penegakan hukum. Majelis hakim memandang, penjatuhan pidana percobaan dan denda efektif untuk mecapai tujuan pemidanaan, yakni pembinaan pelaku, bukan hanya balas dendam atau sebagai tujuan supaya mempunyai efek jera saja.
Vonis itu lebih berat dari tuntutan jaksa, yakni hukuman penjara selama 4 bulan dengan masa percobaan selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 20 juta subsider 2 bulan kurungan. Namun, putusan itu masih jauh lebih ringan dari ancaman dalam pasal yang didakwakan, yakni Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 dan Pasal 216 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ancaman hukuman maksimalnya 1 tahun penjara dan atau denda Rp 100 juta.
Atas putusan itu, baik jaksa maupun Wasmad meminta waktu sepekan untuk merespons. ”Saya perlu waktu untuk berpikir tentang langkah selanjutnya. Intinya, keputusan hakim adalah keputusan yang terbaik,” kata Wasmad.
Sia-sia
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal, Hamidah Abdurrachman, menilai hukuman percobaan itu menjadi antiklimaks dari rangkaian penegakan hukum atas pelanggaran pidana yang didakwakan. Proses hukum pidana yang selama ini dijalani sia-sia jika hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman percobaan.
”Kalau sejak awal hakim menggunakan asas ultimum remedium, mereka bisa menggunakan sarana hukum lain, seperti peringatan tertulis atau didenda, tidak perlu proses hukum pidana,” katanya.
Adapun Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menilai kasus yang yang menjerat Wasmad bisa menjadi peringatan, baik untuk pejabat publik maupun masyarakat. Ia juga berharap kasus serupa tidak terulang di kemudian hari.
Sejumlah pelanggaran masih dijumpai dalam pemberlakuan pengetatan terbatas kegiatan masyarakat (PTKM) di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dimulai pada Senin (11/1/2021). Pelanggaran itu, antara lain, terkait dengan kebijakan bekerja dari rumah serta pembatasan jam operasional tempat usaha.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DIY Noviar Rahmad menyatakan, enam perusahaan swasta didapati belum menerapkan kebijakan 75 persen bekerja dari rumah. Selain itu, terdapat pula enam rumah makan yang tidak melakukan pembatasan kegiatan makan di tempat sebesar 25 persen dari kapasitas.
Pelanggaran serupa juga dijumpai dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Surabaya Raya. Masih banyak pelaku usaha yang belum menaati aturan pembatasan waktu operasional dan pembatasan kapasitas pengunjung.
Di Sulawesi Tengah, Pemerintah Kota Makassar justru melonggarkan aktivitas dengan tidak lagi memberlakukan aturan jam malam atau pembatasan operasional pusat keramaian. Padahal, penambahan kasus Covid-19 di metropolitan terbesar di kawasan timur Indonesia itu masih tinggi. (NIK/ETA/BAH/HRS/EGI/REN/DIA/FRN)