Makassar Longgarkan Pembatasan di Tengah Kasus yang Masih Tinggi
Di tengah penambahan kasus Covid-19 yang masih tinggi, Pemkot Makassar melonggarkan aktivitas warga. Pengetatan yang sebelumnya dilakukan dengan menutup tempat wisata dan jam malam kini tak berlaku lagi.
Oleh
Reny Sri Ayu
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Aturan jam malam atau pembatasan operasional pusat keramaian di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, berakhir. Pemerintah Kota Makassar menggantinya dengan pelonggaran aktivitas. Padahal, penambahan kasus Covid-19 di metropolitan terbesar di kawasan timur Indonesia itu masih tinggi.
Penghapusan jam malam ini tertuang dalam Surat Edaran Penjabat Wali Kota Makassar Rudy Djamaluddin, Selasa (12/1/2021). Dalam edaran ini disebutkan fasilitas umum; operasional mal, kafe, restoran, rumah makan, warung kopi, dan pusat permainan; serta kegiatan berkumpul/mengumpulkan orang diizinkan hingga pukul 22.00 Wita. Ketentuan ini mulai berlaku sejak Selasa (12/1/2021). Ketentuan penutupan tempat wisata pun sudah tidak disebut dalam surat edaran ini.
Sebelumnya, sejak Kamis (24/12/2020), Pemkot Makassar memberlakukan jam malam hingga pukul 19.00. Sejumlah kawasan wisata juga ditutup. Aturan ini berakhir pada Minggu (3/1/2021), tetapi kemudian diperpanjang hingga Senin (11/1/2021).
Epidemiolog Universitas Hasanuddin, Ridwan Amiruddin, menyayangkan pelonggaran ini. Menurut dia, mestinya pengetatan masih dilakukan mengingat kondisi pandemi di Sulsel, terutama Kota Makassar, yang masih tinggi saat ini. ”Mestinya bukan pelonggaran, tetapi pengetatan. Kondisi kasus yang terus tumbuh harus direspons dengan lebih serius untuk pembatasan aktivitas populasi di luar,” kata Ridwan.
Di Sulsel, penambahan kasus harian Covid-19 masih terus tinggi. Ini sudah berlangsung sejak Desember. Pada Senin (11/1/2021), penambahan kasus mencapai 626. Dari jumlah itu, 264 di antaranya disumbang Makassar. Pada Minggu (10/1/2021), jumlah penambahan kasus mencapai 585 dan pada Sabtu 590 kasus.
Menurut Ridwan, hingga Senin (11/1/2021), dari total 2.374 tempat tidur isolasi di seluruh rumah sakit rujukan Covid-19 ataupun non-rujukan, 1.732 terisi atau 73 persen. Adapun pemakaian tempat tidur ICU (gawat darurat) mencapai 47,4 persen atau 99 dari total 209.
Di luar itu, terdapat pula 24 persen pasien tanpa gejala yang dirawat di sejumlah hotel yang ditunjuk pemerintah. Saat ini ada 10 hotel isolasi yang semua terisi, delapan di antaranya berada di Makassar. Angka positivity rate di Sulsel hingga Senin mencapai 23,4 persen.
Sementara itu, merespons pelonggaran ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Makassar angkat bicara. Anggota Dewan Pertimbangan IDI Kota Makassar, Idrus Andi Paturusi, sangat menyesalkan keputusan ini. Apalagi, saat ini kondisi pandemi Covid-19 di Sulsel, khususnya Kota Makassar, sangat memprihatinkan.
”Keputusan ini sangat kontra dengan kondisi di lapangan. Di tengah peningkatan pasien positif Covid-19, (pemerintah) justru memberikan kelonggaran beraktivitas. Kita melihat data, baik peningkatan kasus baru maupun kematian dan penggunaan rumah sakit, maka pelonggaran ini agak membingungkan,” ujarnya.
Idrus menambahkan, kemarin, satu lagi dokter di Makassar wafat karena Covid-19. ”Minggu lalu tiga profesor di Makassar wafat. Rumah sakit dan hotel isolasi mandiri penuh. Sebenarnya IDI sudah mengingatkan, tetapi hasilnya seperti ini. Yang ditakutkan, kalau dokter dan nakes (tenaga kesehatan) sudah berjatuhan, pelayanan bisa lumpuh,” kata Idrus.
Juru bicara IDI Makassar, Wachyudi Muchsin, mengatakan, dalam kondisi seperti saat ini dan semakin banyaknya dokter yang gugur, pemerintah semestinya semakin menyadarkan masyarakat untuk tidak memandang remeh pandemi ini.
”Untuk itu, IDI Kota Makassar mengimbau agar tetap waspada dan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Sebab, Makassar masuk zona merah sehingga kebijakan pelonggaran aktivitas bisnis, perkantoran, sosial, dan pendidikan perlu diketatkan kembali. Sungguh sangat disayangkan saat kasus masih tinggi, justru dilakukan pelonggaran,” kata Wachyudi.