Gelombang Tinggi di Perairan Natuna, Nelayan Berhenti Melaut
Nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna berhenti melaut karena tinggi gelombang di perairan itu lebih dari 6 meter. Meskipun harga ikan sedang tinggi, mereka terpaksa ganti profesi karena kemampuan kapal tidak memadai.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna, Kepulauan Riau, berhenti melaut karena ketinggian gelombang di perairan tersebut lebih dari 6 meter. Meskipun harga ikan sedang tinggi, mereka terpaksa beralih profesi karena kemampuan kapal tidak memadai.
Koordinator Bidang Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Kelas I Hang Nadim Batam, Suratman, Selasa (12/1/2021), mengatakan, ketinggian gelombang di perairan Natuna dan sekitarnya saat ini berkisar 6-9 meter dengan kecepatan angin hingga 30 knot (55,56 km per jam) atau kategori sangat ekstrem. Cuaca ekstrem berupa hujan lebat disertai angin kencang itu diperkirakan masih melanda wilayah Kepri hingga awal Februari 2021.
Menurut Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra, akibat cuaca ekstrem itu, empat nelayan dilaporkan hilang sejak 7 Januari. Setelah kejadian itu, semua nelayan diimbau berhenti melaut.
”Kapal nelayan Anambas besarnya hanya sekitar 3-6 gros ton, sangat berbahaya bila dihantam ombak dengan ketinggian lebih dari 3 meter,” kata Dedi saat dihubungi dari Batam.
Meski demikian, meminta nelayan berhenti melaut bukan perkara mudah. Menurut Dedi, banyak nelayan yang masih nekat berlayar meskipun gelombang sedang tinggi karena sebenarnya saat ini justru sedang musm ikan di laut, dan harganya pun sedang tinggi.
Ia mencontohkan, satu ekor tongkol di Anambas yang biasanya bisa dibeli di pasar dengan harga Rp 15.000-Rp 25.000 kini harganya naik menjadi Rp 45.000-Rp 60.000. Hal itu disebabkan pasokan ikan berkurang drastis. Hanya segilintir nelayan yang masih berani bertahan melaut pada periode puncak musim angin utara, Januari-Februari.
Di Anambas belum ada cold storage sehingga stok ikan yang sangat berlimpah pada bulan-bulan sebelumnya tidak bisa disimpan, dan dijual murah begitu saja. (Dedi Syahputra)
”Di Anambas belum ada cold storage sehingga stok ikan yang sangat berlimpah pada bulan-bulan sebelumnya tidak bisa disimpan, dan dijual murah begitu saja. Ironisnya, saat puncak musim angin utara seperti ini, nelayan Anambas harus bayar mahal untuk makan ikan yang sebelumnya mereka jual dengan murah itu,” ujar Dedi.
Sementara itu, Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, hampir semua nelayan di sana juga berhenti melaut untuk sementara waktu karena gelombang di Laut Natuna Utara saat ini bisa mencapai 7 meter. Mayoritas nelayan berganti profesi menjadi petani di ladang.
”Kalau di Natuna, harga ikan relatif stabil karena sudah ada cold storage yang dibangun pemerintah di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu di Selat Lampa. Hanya saja, ekonomi nelayan tetap terdampak karena penghasilan dari berladang tidak sebesar hasil menangkap ikan di laut,” ucap Hendri.
Kepala Kantor Badan SAR Nasional (Basarnas) Tanjung Pinang Mumin Maulana meminta nelayan dan pengelola tranportasi laut agar mematuhi imbauan yang telah dikeluarkan BMKG. Selain itu, Mumin juga mengingatkan bahwa bencana banjir dan tanah longsor masih berpotensi terjadi di sejumlah daerah rawan, terutama di Pulau Bintan.