Cocos Trisada, Mengolah Limbah dan Menyebarkan Daya Kreatif
Cocos Trisada kembangkan aneka kerajinan tangan mulai dari kain sulam hingga kerajinan berbasis alam, terutama sabut kelapa serta enceng gondok. Barang yang semula dibuang, kini menjadi uang.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Pertumbuhan eceng gondok yang tak terkendali dapat menghambat aliran sungai serta membuat banjir. Sementara limbah sabut kelapa dari industri sapu hanya akan dibuang atau dibakar. Namun di tangan Cocos Trisada (52), semua itu bisa diolah menjadi sesuatu yang produktif dan bisa memberdayakan orang lain.
Pengalaman bisnis serta mendesain aneka kerajinan tangan kualitas ekspor menjadi bekal Cocos untuk menggali serta mengangkat potensi kerajinan tangan khas Banyumas, Jawa Tengah. Cocos ingin Banyumas dikenal lebih dari sekadar kota mendoan, tapi juga lengkap dengan aneka kerajinan tangan berkualitas mulai dari kain sulam hingga kerajinan berbasis alam, terutama sabut kelapa serta eceng gondok.
Eceng gondok, yang biasanya jadi pakan ternak bebek dan jika tumbuh liar bisa mengganggu ekosistem sungai, dimanfaatkan menjadi sandal yang bernilai ekonomi. “Saya berpikir bagaimana memanfaatkan bahan-bahan yang terbuang supaya bisa menjadi uang,” ujar Cocos yang juga berencana memanfaatkan kulit batang pisang atau gedebog pisang untuk bahan baku kerajinan.
Untuk membuatnya, eceng gondok perlu dijemur selama 7 hari hingga kering dan kemudian dianyam menjadi sandal. Eceng gondok di daerah Banyumas banyak ditemukan di sekitar Sumpiuh, Tambak, Kemranjen, dan Margasana. Di kawasan yang relatif rendah, rawan banjir, dan juga banyak terdapat rawa itu eceng gondok tumbuh merajalela. “Sepasang sandal butuh sekitar 80 batang eceng gondok,” kata Cocos saat ditemui di Rumah BUMN Purwokerto, Rabu (23/12/2020).
Sebelumnya, Cocos juga berkreasi membuat sandal dengan limbah sabut kelapa. Limbah diperoleh dari para perajin sapu sabut kelapa. Biasanya limbah itu hanya dibakar atau dibuang. Namun Cocos mengolahnya menjadi sandal.
Ada dua jenis sandal yang diproduksi Cocos, yaitu sandal untuk tamu hotel serta sandal fashion untuk digunakan sehari-hari. “Limbah sabut kelapa dicampur lem untuk dibuat menjadi lembaran dahulu. Kemudian lembaran ini dibentuk polanya dan dijahit menjadi sandal,” tuturnya.
Hasil kerajinan ini tidak hanya ia pasarkan untuk keuntungan sendiri, tetapi Cocos juga membagi ilmunya. Cocos menularkan idenya kepada 25 perajin sapu sabut kelapa di tujuh desa di Banyumas. Mereka tersebar di Karangpucung, Tambaknegara, Sumpiuh, Margasana, Tambak, Kebasen, dan Sirau. Dengan harga Rp 29.000 hingga Rp 55.000 per pasang sandal, sandal ini telah dijual ke sejumlah hotel di Jakarta, Bandung, dan Balikpapan.
Bahkan di tengah pandemi Covid-19, ketika masyarakat gandrung dengan hobi tanaman hias, Cocos memanfaatkan limbah sabut kelapa untuk dijadikan pot. Dengan kerangka kawat atau strimin, aneka pot dengan bentuk lingkaran dan jantung hati dibuat dan dijual dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per buah.
Salah satu mitra binaan Cocos, yaitu Ketua Kelompok Pengrajin Sabut Kelapa Berkat Usaha Desa Sibalung, Kecamatan Kemranjen, Jawahir, antusias atas gagasan dan kreasi pot limbah sabut kelapa itu. Menurut Jawahir, di desanya ada 80 perajin sapu sabut kelapa dan per hari butuh sekitar 5.000 sabut kelapa untuk memproduksi sekitar 100 kodi atau 2.000 sapu. “Dulu sisa sabut kelapa dari pembuatan sapu hanya dibakar saja, sekarang dibuat pot dan harganya Rp 10.000 per buah,” kata Jawahir.
Jawahir mengatakan, dirinya dan teman-teman perajin sebelumnya tidak memikirkan untuk mengolah limbah sabut kelapa itu menjadi pot. Pot sabut kelapa dinilai lebih ramah lingkungan dan bisa mengurangi ketergantungan pada impor pot plastik yang ramai di pasaran.
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Istiqomah juga mengapresiasi upaya Cocos memanfaatkan aneka limbah jadi kerajinan tangan. “Beliau hebat. Meski sekolahnya akuntansi, tapi otak kreatifnya gila. Bonggol-bonggol kayu yang tadinya dibakar bisa dijadikan meja kursi kafe,” kata Istiqomah yang biasa mendampingi pelaku UMKM.
Sulam ngapak
Sejak bermukim di Banyumas pada 2016, Cocos sudah mengenalkan teknik sulam yang dia beri nama "sulam ngapak" kepada warga masyarakat di Banyumas. Bekerja sama dengan Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Tengah, Cocos melatih sekitar 150 orang dari 10 desa mulai 2017 hingga 2019. Kerajinan sulam-menyulam sudah digelutinya sejak dia tinggal di Depok, Jawa Barat, dan melatih sekitar 20 ibu rumah tangga di sana. Selain kain sulam, produknya juga mewujud pada kalung, aksesoris, dan hiasan dekorasi.
Kekhasan sulam ngapak desain dari Cocos adalah terdiri dari lima unsur, yaitu benang sulam, payet, pita, rafia, dan perca. Sulaman itu membentuk aneka rupa motif seperti bunga dan burung. Produk sulam ini bahkan sudah diekspor hingga ke sejumlah negara.
Sembari mengembangkan sulamnya, Cocos juga menjajaki potensi bambu di Banyumas sejak 2018. Atas dukungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas, Cocos melatih 25 orang dari 5 desa dengan potensi bambu yang melimpah, yaitu Desa Kalitapen (Kecamatan Purwojati) dan Jingkang (Ajibarang), Desa Cieberem (Sumbang), Karanglo (Cilongok), Banjarsari (Ajibarang). Warga dilatih membuat keranjang laundry dan sedotan bambu ramah lingkungan.
“Sedotan bambu ini pernah kirim ke Jerman sebanyak satu kontainer atau sebanyak 10.000 sedotan. Tahun ini mau kirim lagi tapi batal karena pandemi,” tutur Cocos
Selain diekspor ke Jerman, sedotan bambu karya perajin bambu di Banyumas juga dijual ke sejumlah hotel dan restoran di Jakarta, Surabaya, Bali, serta Balikpapan. Per bulan produksi sedotan bambunya bisa mencapai 100.000 buah. “Harga sedotan Rp 700 per buah. Kirimnya ke luar kota 3-4 bulan sekali,” tuturnya.
Menurut Cocos, pendampingan terhadap para perajin dapat berhasil jika dilakukan pendekatan personal dan juga berkelanjutan. Pendekatan tidak hanya dilakukan saat pelatihan, tapi juga harus diteruskan hingga pendampingan, serta pemasaran. Sasaran sejumlah pelatihan yang dimentori Cocos dengan dinas terkait adalah orang-orang yang belum punya pekerjaan dan mau berlatih dengan serius.
Bagi Cocos, potensi alam yang melimpah di Banyumas dapat dimanfaatkan secara optimal untuk melengkapi pariwisata serta kuliner Banyumas. Ia berharap ekonomi kerajinan tangan sebanding dengan kegiatan pariwisata dan seni budaya atau bisa saling melengkapi. “Tidak hanya dikenal dari sisi makanannya seperti mendoan, getuk, dan sroto, tapi ke depannya Banyumas bisa sejajar dengan kota-kota seperti Yogyakarta, Solo, Pekalongan, dan juga Bali,” katanya.
Cocos Trisada
Lahir : Jakarta, 1 Oktober 1968
Istri : Ira Damayanti (43)
Anak : Cosi Pilasto (23), Dausan Nomero (17), dan Anggrek Levly (12)
Pendidikan:
- S1 Ekonomi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Administrasi Indonesia, Jakarta (1991)
_ SMA N 37 Jakarta (1987)
- SMP N 115 Jakarta (1984)
- SD Jember Kidul 16 (1981)
Kegiatan:
- Ketua Gerakan Kewirausahaan Nasional Banyumas
- Ketua Banyumas Bambu Kluster
- Ketua Umum Himpunan Perajin Sabut Kelapa Banyumas
- Ketua Umum Himpunan Perajin Enceng Gondok Banyumas