Alarm Bahaya Covid-19 Berdentang Keras di Sulteng
Jumlah kasus Covid-19 di Sulawesi Tengah terus bertambah. Pemerintah daerah perlu mengambil langkah strategis, seperti PSBB, untuk mengendalikan kasus.
Kasus penularan Covid-19 di Provinsi Sulawesi Tengah terus merebak. Mengingatkan pemangku kepentingan, peningkatan kasus tersebut bak alarm yang berdentang keras dengan fakta terbaru terinfeksinya Gubernur Longki Djanggola dan Wakil Gubernur Rusli Baco D Palabbi.
Longki dan Rusli dinyatakan positif Covid-19 pada Selasa (5/1/2021). Keduanya tertular tanpa gejala. Setiap pagi, mereka berolahraga dengan berlari-lari santai di sekitar rumah jabatan masing-masing yang menjadi tempat isolasi mandiri. Ini untuk menjaga kondisi badan tetap fit agar virus tak mengganas.
HinggaMinggu (10/1/2021) atau hari keenam menjalani isolasi,kata Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Sulteng Haris Kariming, kondisi Longki dan Rusli tetap sehat atau tanpa gejala klinis. Pada Senin (11/1/2021), Haris memastikan Longki dan Rusli dinyatakan sembuh berdasarkan tes usap. Meski demikian, mereka tetap menjalani karantina mandiri empat hari ke depan untuk menggenapi 10 hari karantina mandiri pasien Covid-19 tanpa gejala.
Terinfeksinya Longki dan Rusli seolah memberikan peringatan bahaya peningkatan drastis kasus di Sulteng. Hingga Minggu, jumlah akumulatif orang terinfeksi di Sulteng sebanyak 4.649 jiwa. Dari jumlah tersebut, 2.515 orang sembuh (54 persen) dan 124 orang meninggal (2,6 persen). Sebanyak 2.010 orang dirawat di rumah sakit dan menjalani karantina mandiri.
Tambahan penderita harian dalam seminggu terakhir pun selalu lebih dari 100 kasus. Secara umum, jumlah kasus tersebut melonjak secara eksponensial dari kasus pada akhir September 2020 yang ”hanya” 344 kejadian.
Penularan menjangkau hampir seluruh wilayah Sulteng dengan episentrum di Palu, Morowali, Banggai, Poso, Parigi Moutong, dan Tolitoli. Keenam daerah itu ditetapkan sebagai zona merah atau risiko tinggi penularan Covid-19. Meskipun daerah lain masih berstatus zona oranye (risiko sedang), sesekali laporan kasusnya mencuat tinggi.
Baca juga: Penularan Belum Terkendali, Tiga Daerah di Sulteng Diminta Terapkan PSBB
Di tengah merebaknya kasus, respons pemerintah sejauh ini masih standar. Kebijakan yang berlaku, yang sebenarnya sudah agak terlambat, yakni keharusan menunjukkan hasil nonreaktif dari tes cepat antigen untuk pelaku perjalan masuk Sulteng. Kebijakan ini diterapkan hampir di semua provinsi di Indonesia. Artinya, kebijakan ini tak begitu istimewa sebagai upaya pengendalian kasus.
Malah, kebijakan itu lebih longgar daripada kebijakan yang lebih ketat pada akhir September 2020, yakni kewajiban menunjukkan hasil negatif tes usap metode reaksi rantai polimerase (PCR) untuk pelaku perjalanan ke Sulteng. Aturan kala itu berlaku hanya satu bulan sehingga efektivitasnya sulit terbukti. Namun, dengan kebijakan itu, mobilitas orang benar-benar dibatasi, hal yang perlu di tengah meningkatnya kasus Covid-19.
Kebijakan tak bertaring lainnya, yakni operasi yustisi penegakan atau pendisiplinan protokol kesehatan. Sempat gencar di awal pemberlakuannya pada Oktober-November 2020, saat ini operasi yang melibatkan banyak pihak itu sudah mengendur. Pun operasi tersebut tak terbukti menurunkan jumlah kasus.
Dengan kondisi itu, pemerintah perlu mengambil langkah lebih strategis untuk mengendalikan kasus. Formula pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau yang belakangan menjadi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sepatutnya dipertimbangkan.
Mengapa langkah PSBB tidak diambil di tengah makin merebaknya kasus?
Pembatasan kegiatan atau mobilitas warga di wilayah tertentu saat ini barangkali paling krusial untuk pengendalian kasus. Penularan cenderung menyebar dari orang tanpa gejala dengan indikator banyaknya orang positif Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulteng Sofyan F Lembah ”gemas” dengan respons standar pemerintah di tengah berlipat gandanya penularan Covid-19. Sejak November 2020, ia telah mengirim surat kepada Pemerintah Provinsi Sulteng untuk berkoodinasi dengan daerah-daerah dengan penularan tinggi agar mempertimbangkan PSBB. Hingga awal 2021, surat itu tak kunjung direspons.
Baca juga: Pelaku Perjalanan ke Sulteng Wajib Tes PCR
”Padahal, kami dan publik umumnya butuh penjelasan dari pemerintah mengapa langkah PSBB tidak diambil di tengah makin merebaknya kasus?” katanya.
Lembaga pengawas kebijakan publik itu akan kembali menyurati pemerintah daerah untuk mempertimbangkan PSBB atau PPKM. Kesempatan emas datang dengan diberlakukannya PPKM di Jawa-Bali. Sulteng bisa turut ambil bagian dalam langkah itu dengan tentu menunjukkan kurva epidemiologi yang meyakinkan.
Sofyan menilai kebijakan standar, seperti operasi yustisi dan kewajiban tes cepat antigen dengan hasil nonreaktif, terbukti tak cukup mengendalikan penularan Covid-19. Semua itu tak lagi efektif karena virus sudah berkembang dari orang ke orang di dalam suatu wilayah (transmisi lokal). ”Pembatasan akvititas dan mobilitas warga penting agar mata rantai penularan virus terputus. Tanpa langkah itu, kita tunggu saja kasus-kasus akan terus bertambah,” ujarnya.
Di tengah merebaknya kasus, aktivitas warga masih tetap normal dengan sebagian tak mematuhi protokol kesehatan. Di Palu, warung atau kedai kopi selalu sesak oleh pengunjung. Pengunjung pun berbicara berhadapan-hadapan mengelilingi satu meja dengan menanggalkan masker.
Di jalan, pengendara terpantau tak mengenakan masker. Pedagang di sejumlah kios atau toko di pinggir jalan juga serupa. Bagi Sofyan, situasi itu bisa diatasi dengan PSBB atau PPKM. Dalam kebijakan tersebut, disiplin ditegakkan dengan jelas dan tegas.
Pengajar kebijakan publik Universitas Tadulako, Palu, Slamet Riyadi Cante, mengatakan, ketika kebijakan yang diambil tak efektif mengatasi situasi, langkah perbaikan atau kebijakan baru dibutuhkan. Ia mencontohkan operasi yustisi dan pengetatan perbatasan yang selama ini sudah berjalan, tetapi tak efektif mengendalikan kasus.
”Barangkali kita alergi dengan yang namanya PSBB atau PPKM berhubung dengan kegiatan ekonomi, tetapi harus ada kebijakan yang dihasilkan untuk mengatasi situasi. Misalnya, restoran atau warung kopi tetap buka, tetapi tak ada yang makan atau minum di tempat alias dibawa pulang. Ini, kan, modifikasi yang bisa dilakukan tanpa mengorbankan ekonomi sekaligus menghindari risiko karena kerumunan,” ujarnya.
Kurnia Sari (41), warga Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Timur, setuju adanya pembatasan aktivitas dan mobilitas warga. ”Kalau tujuannya untuk mengendalikan Covid-19, saya setuju. Daripada situasinya makin buruk nanti,” ujar ibu empat anak itu.
Hingga saat ini, belum ada satu kabupaten/kota pun di Sulteng yang mengajukan PSBB atau PPKM.
Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Palu, Rachmat Yasin, menyatakan, merebaknya kasus di Palu karena tak patuhnya warga menerapkan protokol kesehatan. Masih banyak warga yang mengabaikan pencegahan dasar 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan/menjaga jarak).
Ia menambahkan, kebijakan yang berlaku saat ini sebenarnya model lain dari PSBB. Kebijakan itu yakni operasi yustisi penegakan protokol kesehatan dan pemberlakuan surat keterangan hasil tes nonreaktif dengan metode pemeriksaan antigen untuk pelaku perjalanan ke Sulteng. Dengan kebijakan itu, pembatasan sosial sudah berjalan.
Kabupaten Buol pernah menerapkan PSBB pada Mei-Juni 2020 saat kasus meningkat tajam. PSBB selama sebulan itu berhasil menekan laju kasus. Hingga kini, penularan di Buol tak meningkat signifikan seperti di daerah lain di Sulteng.
Tanpa ada kebijakan strategis yang membatasi aktivitas dan mobilitas warga di dalam kota/kabupaten, penularan Covid-19 masih akan terus terjadi meski pembatasan dari luar Sulteng tetap dilakukan. Ketegasan mengambil kebijakan yang bertaring dibutuhkan karena alarm penularan Covid-19 sudah berdentang keras.
Baca juga: Embusan Kabar Gembira dari Buol