Tambang Minyak Ilegal Semakin Masif dalam Hutan Negara di Sarolangun
Aktor utama di balik masifnya tambang minyak ilegal dalam hutan negara di Kabupaten Sarolangun telah dilaporkan berkali-kali kepada aparat penegak hukum. Tetapi, masih terus berlangsung, bahkan semakin parah.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Tambang minyak ilegal dalam hutan negara beralas hak tanaman industri kian masif beroperasi di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dalam enam bulan terakhir, jumlah sumur bertambah dari sebelumnya 100-an menjadi hampir 400 sumur.
Masifnya aktivitas liar telah menimbulkan kerugian negara miliaran rupiah. Namun, praktik ilegal yang berlangsung terorganisasi itu belum mendapatkan penegakkan hukum yang tegas dari negara.
Pantauan di lokasi, Sabtu (9/1/2021), hasil tambang dari sumur-sumur itu dialirkan melalui jalur pipa dalam hutan negara konsesi hutan tanaman industri (HTI) di wilayah Kabupaten Sarolangun. Jalur pipa terus terhubung hingga Kabupaten Batanghari. ”Panjangnya mencapai 5,6 kilometer,” ujar Sumardi, salah satu petugas penjaga hutan itu.
Dari pipa, minyak ilegal lalu ditampung ke dalam wadah-wadah besar di salah satu tepi jalan di Desa Kunangan Jaya II, Batanghari. Setiap truk yang datang langsung menyalurkan minyak dari wadah besar itu ke dalam tangki truk.
Hasil minyak selanjutnya dibawa ke usaha penyulingan di Kabupaten Muaro Jambi dan Musi Banyuasin di Sumatera Selatan. Praktik ilegal lintas kabupaten dan lintas provinsi ini disebut-sebut berlangsung terorganisasi.
”Aktor utama dari aktivitas tambang minyak ilegal ini sudah kami laporkan berkali-kali kepada aparat penegak hukum. Tetapi, sampai sekarang masih berlangsung, bahkan semakin parah,” kata Firman Purba, Manajer Distrik PT Agronusa Alam Sejahtera, pemegang konsesi hutan itu.
Hasil pantauan sebelumnya, ada sekitar 200.000 liter minyak yang dicuri per hari dari balik permukaan hutan itu. Dengan terus bertambahnya sumur yang dibuka, ia memperkirakan volume pencurian minyak lebih besar.
Dalam enam bulan terakhir, jumlah sumur bertambah dari sebelumnya 100-an menjadi hampir 400 sumur.
Hasil tambang ilegal itu lalu dibawa ke usaha-usaha penyulingan minyak tak berizin. Hasil penyulingan minyak diolah menjadi bahan bakar minyak sejenis solar, minyak tanah, dan premium, yang dipasarkan oleh pedagang minyak eceran.
Aktivitas itu menimbulkan kerugian negara dan kerugian investasi yang besar. Jika terhitung harga minyak 50 dollar AS per barrel, sedikitnya Rp 800 juta per hari menguap dari potensi pendapatan negara di sana.
Itu belum ongkos yang harus dikeluarkan memulihkan lingkungan hidup yang tercemar akibat limbah minyak. Saat ini, menurut Firman, sudah ribuan tanaman mati karena terpapar genangan limbah minyak.
Menurut Firman, tambang minyak ilegal itu menyebar pada keluasan 1.000 hektar yang tanamannya sudah siap untuk dipanen. ”Semestinya kami sudah bisa memanen sengon di areal itu. Tetapi, sulit dilakukan karena pasti akan terjadi bentrok (dengan pekerja tambang),” ujarnya.
Untuk mengadakan penanaman, investasi yang dikeluarkan Rp 20 juta per hektar atau total Rp 2 miliar. Dalam satu hektar ditanami 1.250 batang. Selanjutnya, berhasil tumbuh rata-rata 900 batang per hektar.
Sedikitnya Rp 800 juta per hari menguap dari potensi pendapatan negara di sana.
Karena banyaknya tanaman yang tercemar limbah minyak, ada potensi kehilangan hasil kayu hingga sebanyak 125.000 meter kubik. ”Kerugiannya akan sangat besar jika kerusakan lingkungan terus meluas. Tak hanya bagi pemangku konsesi, tetapi juga hilangnya potensi pendapatan negara,” ujarnya.
Kepala Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup wilayah Sumatera Eduward Hutapea menyebut, persoalan tambang minyak ilegal di kawasan hutan itu telah menuai perhatian khusus. Pertengahan tahun lalu, aparat gabungan dari kepolisian dan Balai Gakkum KLHK datang ke lokasi untuk mengumpulkan data dan menutup sejumlah sumur ilegal. ”Tetapi, tampaknya belakangan ini (aktivitas tambang liar) malah bertambah parah,” ujarnya.
Eduward menambahkan, telah ada juga penangkapan tangan sejumlah pengangkut hasil tambang minyak ilegal itu. Proses hukumnya ditangani kepolisian resor setempat, tetapi belakangan diketahui tidak berlanjut.
Eduward juga mendorong agar pemegang konsesi dapat lebih memperkuat pengamanan dalam areal konsesinya.
Kepala Kepolisian Resor Sarolangun Ajun Komisaris Besar Sugeng Wahyudiono mengatakan, upaya penegakan hukum tetap berjalan. Saat ini tengah dilakukan pemetaan dan evaluasi penanganan yang telah dilakukan. ”Hasil evaluasi ini untuk kami tindaklanjuti dalam penanganan berikutnya,” ujarnya.
Pihaknya terus mengupayakan penanganan hukum terhadap aktivitas ilegal tersebut. Namun, lanjutnya, penegakan hukum perlu diimbangi dengan sejumlah upaya solutif terkait dampak sosial dan ekonominya.