Setidaknya 51 WNI terjebak di kapal ikan berbendera China. Kontrak kerja mereka sudah habis, tetapi belum dapat dipulangkan karena banyak negara tidak mengizinkan kapal perikanan untuk berlabuh selama pandemi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Lembaga Destructive Fishing Watch Indonesia mencatat, setidaknya 51 warga negara Indonesia atau WNI terjebak di kapal ikan berbendera China. Kontrak kerja mereka sudah habis, tetapi belum dapat dipulangkan karena banyak negara tidak mengizinkan kapal perikanan untuk berlabuh selama pandemi Covid-19.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Abdi Suhufan, Minggu (10/1/2021), mengatakan, para WNI itu awalnya bekerja di kapal Shung Hang 07, Shung Hang 08, Fu Yuan Yu 6072, Zhan Hai 001, dan Lu Qing Yuan Yu 239. Namun, kini 45 di antaranya berada di Zhan Hai 003. Sejak 9 Januari, Zhan Hai 003 terpantau sedang lego jangkar di perairan Singapura.
Laporan 51 WNI terjebak di kapal asing itu bermula dari enam pengaduan yang diterima Fishers Center di Bitung, Sulawesi Utara, dan Fishers Center di Tegal, Jawa Tengah. ”Mereka terindikasi sebagai korban kerja paksa dan perdagangan orang yang kemudian terjebak di kapal berbendera China,” kata Abdi.
Ia menjelaskan, upah para pekerja di kapal ikan asing itu banyak yang belum dibayarkan perusahaan penyalur. ”Misalnya, salah satu WNI dengan inisial FH dijanjikan upah 300 dollar AS (sekitar Rp 4,2 juta) per bulan, tetapi sampai sekarang baru menerima gaji sebesar Rp 4,1 juta,” kata Abdi.
Menurut Abdi, FH sudah tiga kali berpindah kapal selama dua tahun bekerja. Adapun beberapa korban yang lain mengatakan kerap mendapat intimidasi dan ancaman dari kapten dan mandor kapal. Selain itu, mereka juga mengalami kondisi yang buruk, seperti mengonsumsi air berwarna kekuningan dari keran cuci piring.
Pengelola Fishers Center Bitung, Laode Hardiani, menambahkan, 51 WNI itu disalurkan oleh lima perusahaan yang berlokasi di Jakarta dan Jawa Tengah. ”Dokumen penting, seperti ijazah, sertifikat pelatihan keselamatan dasar, kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan akta kelahiran mereka ditahan oleh perusahaan penyalur,” ucapnya melalui keterangan tertulis.
Sepanjang 2020, DFW menerima 25 pengaduan dari awak kapal perikanan yang bekerja di kapal asing. Pekerja migran itu mengeluh terjebak dalam praktik kerja yang tidak adil dan merugikan. Abdi menilai, pemerintah kurang responsif menyikapi isu perlindungan awak kapal perikanan yang disebabkan kesemrawutan tata kelola perekrutan.
Tumpang-tindih izin perekrutan dan penempatan pekerja pelaut migran di Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan menyebabkan pengawasan menjadi lemah. Banyak perusahaan tidak memiliki izin, tetapi masih bisa leluasa beroperasi. Dampaknya, keselamatan awak kapal perikanan Indonesia menjadi taruhan.
Terkait hal tersebut, Koordinator Program Safeguarding Against and Addressing Fishers’ Exploitation (SAFE) Seas Project Baso Hamdani mendesak pemerintah segera mengesahkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang perlindungan pekerja migran di sektor kelautan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan RPP itu selesai paling lambat dua tahun sejak UU itu disahkan.
Sementara itu, Abdi berharap Kementerian Luar Negeri RI segera merepatriasi 51 awak kapal perikanan Indonesia yang terkatung-katung tersebut. ”Kami hanya dapat menerima aduan dan selanjutnya meneruskan laporan tersebut kepada pemerintah serta pihak terkait lainnya,” katanya.
Pada 30 Desember 2020, Kemenlu RI merepatriasi enam WNI yang bekerja di kapal ikan berbendera China. Mereka dipulangkan oleh perusahaan penyalur, PT Puncak Jaya Samudera, melalui Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Salah satu dari enam orang yang direpatriasi itu pulang dalam kondisi meninggal.
Lewat pernyataan tertulis, Kemenlu RI menjelaskan, para ABK yang dipulangkan lewat Pulau Galang itu sudah terjebak selama berbulan-bulan di Laut Arab karena kapal mereka dilarang berlabuh di sejumlah negara sejak Covid-19 melanda. Repatriasi itu adalah kerja sama yang kedua antara Pemerintah RI dan Pemerintah China. Selain itu, pada 10 November 2020, 157 ABK (dua meninggal) dari 12 kapal ikan berbendera China direpatriasi lewat Bitung, Sulawesi Utara.