Bertatap Muka, tetapi Menutup Mata Akan Pandemi
Proses belajar tatap muka di sekolah justru membuka peluang munculnya kluster baru Covid-19, yang bisa memapar siapa saja, baik siswa maupun guru, hingga keluarga di rumah.
Seakan tidak ingin melewatkan sedetik pun penjelasan guru, mata Afifah Alfiana (13) menatap lekat-lekat rumus yang tertulis di ”papan” tulis dari ubin putih. Setelah lebih dari sembilan bulan, ia bisa duduk di kelas dan mengikuti pelajaran. Hanya saja, di luar, entah di dalam sekolah, penyebaran virus terus terjadi.
Setelah pagi di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/1/2021), bersama 12 rekannya, Afifah untuk pertama kali selama pandemi Covid-19 mengikuti pelajaran tatap muka di SMP Negeri 19 Kendari di Kecamatan Puuwatu, Kota Kendari. Sebanyak lima rekannya tidak hadir mengikuti pelajaran.
Memakai masker kain yang menempel erat di mulut dan hidungnya, Afifah tidak ingin kehilangan momentum belajar. ”Baru pertama kali lagi belajar (di kelas). Kalau ditanya senang atau tidak, senang sekali,” kata sulung empat bersaudara ini.
Sebelum pukul 08.00 WITA, cerita Afiffah, ia telah siap berangkat ke sekolah. Tas telah berisi buku pelajaran Matematika, dan Bahasa Inggris, dua pelajaran yang diajarkan hari itu. Setelah pamit kepada orangtua, ia berjalan ke sekolah yang berjarak sekitar 500 meter dari kediamannya.
”Bapak-ibu cuma pesan, hati-hati,” lanjutnya.
Belajar tatap muka menjadi kemewahan bagi Afifah dan rekan-rekannya. Sejak Maret 2020 lalu, seturut virus Covid-19 yang mulai menyebar, aktivitas persekolahan ditutup. Tidak hanya di Kendari, tetapi juga di daerah lain di Sultra dan seluruh wilayah Indonesia.
Baca juga: Rasio Positif Melebihi Nasional, Alarm Keras bagi Pemerintah Kendari
Selama sekolah ditutup, pembelajaran dilakukan secara virtual. Namun, kata Afifah, belajar tatap muka itu berbeda. Saat ini ia bisa belajar langsung dari guru tanpa dihambat jaringan, atau kehabisan pulsa. Penjelasan dari guru juga dirasanya lebih cepat ia mengerti dibandingkan dengan belajar lewat layar gawai.
Tidak hanya itu, ia bisa bertemu muka dengan semua teman sekelasnya. Selama ini, ia hanya bisa beberapa kali bertemu dengan segelintir rekannya. Sebagian besar ia hanya bertemu muka lewat panggilan video.
Irwan Abdullah (13), rekan sekelas Afifah, juga turut senang bisa kembali bersekolah. Padahal, selama bersekolah dulu, ia lebih sering malas-malasan dibandingkan dengan fokus mengikuti pelajaran. Kali ini, ia merasa senang mengikuti pelajaran setelah lebih dari sembilan bulan belajar dari rumah.
”(Belajar) daring itu susah fokus. Belum lagi kalau jaringan terganggu atau kuota habis. Lebih enak kalau di kelas,” katanya. ”Ini saja baru ketemu teman lagi hari ini.”
Baca juga: Tanda Bahaya Lonjakan Kematian Pasien Covid-19 di Sulawesi Tenggara
Mengikuti pelajaran tatap muka ini, kata Irwan, tidak membuatnya khawatir dengan penyebaran Covid-19. Semua murid, juga guru, mengikuti aturan protokol kesehatan yang disyaratkan. Selain memakai masker dan mencuci tangan, murid dilarang berdekatan satu sama lain hingga waktu pulang tiba.
”Orangtua juga tidak melarang. Mungkin sudah bosan lihat saya di rumah terus,” katanya.
Sebelum mengikuti pelajaran, semua siswa yang datang harus memakai masker dan mencuci tangan. Suhu tubuh setiap siswa diukur dan dicatat oleh guru yang bertugas piket. Nama dan kondisi kesehatan semua siswa dicatat dalam format yang telah disediakan.
Kepala SMP Negeri 19 Kendari Mansur Mokuni menyampaikan, semua aturan harus dipenuhi sebelum hingga proses pembelajaran selesai dilangsungkan. Semua guru harus memastikan protokol kesehatan dipenuhi sebelum aktivitas belajar mengajar dimulai.
”Setiap hari juga hanya satu tingkatan yang belajar. Hari ini kelas IX, sebelumnya kelas VIII dan kelas VII. Dari tiga hari terakhir, kedatangan siswa berkisar 80 persen,” ucap Mansur. ”Kami memang mengajukan pembelajaran tatap muka karena sulit siswa yang sebagian besar ekonomi lemah untuk belajar secara virtual. Sudah ada tiga siswa kami yang berhenti sekolah selama pandemi.”
Sebagian orangtua siswa, lanjut Mansur, memang belum mengizinkan anaknya bersekolah. Bagi mereka yang mengizinkan, diarahkan untuk membuatkan pernyataan menyertakan anaknya bersekolah. Untuk mereka yang tetap di rumah diajar dengan metode belajar virtual.
Baca juga: 10.200 Tenaga Kesehatan di Sultra Jadi Target Vaksinasi Covid-19
”Kami, guru-guru, juga sudah di-rapid test,” kata Mansur. ”Sekitar awal Desember lalu.”
Sekolah ini diajukan untuk mengikuti pembelajaran tatap muka karena dianggap jauh dari keramaian. Sebagian besar siswa bermukim di sekitar sekolah. Daerah ini juga jarang terjadi kasus Covid-19.
Lingkungan sekolah memang berada di daerah yang cukup terpencil, jauh dari keramaian kota. Tepat di ujung jalan beraspal, sekolah ini berada di sisi kiri jalan. Lingkungannya asri dan berbukit. Pepohonan berbagai jenis tumbuh rimbun di samping, depan, dan belakang sekolah. Hanya saja, Kecamatan Puuwatu masih tergolong zona merah penyebaran Covid-19.
Mansur juga tidak menampik jika kekhawatiran akan Covid-19 bisa saja terjadi. Oleh karena itu, semua protokol ketat dijalankan dan persiapan telah dilakukan jauh-jauh hari.
”Kita berusaha sebaik mungkin. Tentu tidak ada yang ingin tertular virus dari pembelajaran yang berlangsung. Begitu ada dugaan kasus, langsung akan dihentikan,” katanya. ”Tapi, kalau ini berhasil, pemerintah rencananya menambah jumlah sekolah yang lakukan belajar tatap muka. Dari tiga sekolah sekarang, akan tambah jadi enam katanya.”
Sebanyak tiga sekolah menengah di Kendari memang menjalankan pembelajaran tatap muka. Selain SMP Negeri 19, juga ada SMP Negeri 21, dan SMP Frater. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, baru 14 provinsi yang menyatakan siap menggelar pembelajaran tatap muka di sekolah. Sementara itu, empat provinsi melakukan pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh serta 16 provinsi memutuskan menunda pembelajaran tatap muka.
Baca juga: Tiga Fasilitas Isolasi Covid-19 di Kendari Penuh
Di SMP Frater, jumlah siswa yang datang juga masih terbatas. Meski sekolah melakukan protokol ketat, tidak semua orangtua siswa mengizinkan anaknya datang ke sekolah.
Paul Radja, Kepala SMP Frater, menyebutkan, keterisian setiap kelas dalam beberapa hari terakhir hanya berkisar 20 persen. Padahal, satu kelas telah dibatasi maksimal 15 orang atau setengah dari jumlah normal.
”Selain protokol ketat, kami membagi waktu belajar dua sesi, yaitu pagi dan siang. Yang ikut belajar di sekolah pun harus memiliki surat pernyataan dari orangtua. Oleh karena itu, sekarang kami memiliki tiga metode pembelajaran, yaitu virtual, daring, dan luring,” ujarnya.
Yudi, bukan nama sebenarnya, orangtua siswa di SMP Frater, belum mengizinkan anaknya bersekolah tatap muka. Itu karena kondisi pandemi saat ini masih tidak menentu dan berbahaya untuk berada dalam satu lingkungan yang ramai.
”Setiap hari kita dengar kasus baru di Kendari. Kalau berkumpul, tentu peluang terpapar virus semakin besar. Itu sama saja mencelakakan anak kita,” ujarnya.
Hingga Selasa, berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Sulawesi Tenggara, jumlah kasus Covid-19 di Kendari mencapai 3.921 kasus, atau setengah dari total kasus di Sultra yang mencapai 8.080 kasus. Kasus meninggal di Kendari juga paling tinggi dengan 53 kasus meninggal, atau 30 persen dari total 156 kasus meninggal se-provinsi.
Baca juga: Peninjauan Distribusi Vaksin Covid-19 Bio Farma
Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir mengklaim, angka kasus positif Covid-19 terus turun, dengan jumlah yang dirawat hanya 86 kasus, dan 3.782 orang telah dinyatakan sembuh. Penelusuran kasus terus dilakukan dengan metode tes cepat antigen sebagai penyaringan awal sebelum dilakukan tes usap spesimen.
Jumlah tes spesimen di Kendari memang paling tinggi, yaitu 12.477 atau 40 persen dari total tes di Sultra. Meski demikian, jumlah positivity rate di Kendari sangat tinggi, yaitu mencapai 31 persen. Angka ini berarti dari tiga orang dites, ada satu orang yang positif. Jumlah ini lebih banyak enam kali dari positivity rate berdasar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya 5 persen. Angka ini bahkan melebihi rekor nasional yang beberapa hari lalu mencapai 29 persen.
Epidemiolog Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, Ramadhan Tosepu, menilai, membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka merupakan langkah yang salah dan membahayakan kesehatan banyak orang. Itu karena tidak ada yang menjamin selama pembelajaran berlangsung tidak ada transmisi virus yang terjadi.
Proses belajar tatap muka di sekolah justru membuka peluang munculnya kluster baru Covid-19, yang bisa memapar siapa saja, baik siswa maupun guru, hingga keluarga di rumah. Saat siswa berangkat atau pulang, potensi transmisi virus bisa terjadi di mana saja.
”Langkah ini sesuatu yang arogan bagi saya dan menutup mata terhadap pandemi yang terjadi. Dengan positivity rate di atas 31 persen, sudah merupakan alarm besar bagi kita bahwa Covid-19 ada di sekitar kita. Dan, itu bertambah hari, bertambah dekat. Tidak ada cara lain, kita harus beradaptasi dengan belajar secara virtual meski pembelajaran tatap muka tidak tergantikan,” ujarnya.