Pemkab Batang Rencanakan Operasi Pasar untuk Menormalkan Harga Kedelai
Menyikapi terus naiknya harga kedelai, Pemkab Batang, Jateng, berencana menggelar operasi pasar kedelai bekerja sama dengan Bulog. Adapun produsen tempe di Tegal mengurangi jumlah produksi akibat kenaikan harga kedelai.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
BATANG, KOMPAS — Seiring dengan terus naiknya harga kedelai, Pemerintah Kabupaten Batang, Jawa Tengah, berencana menggelar operasi pasar untuk menormalkan harga kedelai. Sebagai upaya jangka panjang, pemerintah setempat juga akan menggalakkan penanaman kedelai untuk mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor.
Sejak akhir November, harga kedelai di Batang terus merangkak naik dari Rp 6.000 per kilogram menjadi Rp 9.500 per kilogram pada Januari 2021. Kenaikan harga tersebut terjadi karena keterbatasan suplai kedelai impor di pasaran.
”Berdasarkan data dari lapangan, rata-rata (harga kedelai naik) karena stoknya terbatas. Kami akan menggelar operasi pasar, berkoordinasi dengan Bulog,” kata Bupati Batang Wihaji dalam siaran resminya, Kamis (7/1/2021).
Wihaji menuturkan, sebelum menggelar operasi pasar, pihaknya akan lebih dulu mengecek ketersediaan kedelai di Bulog ataupun di sejumlah depo logistik. Pihaknya juga sudah menginstruksikan dinas-dinas terkait untuk menyelidiki penyebab kenaikan harga, termasuk kemungkinan adanya permainan harga.
Adapun langkah jangka panjang yang dilakukan oleh Pemkab Batang adalah menggalakkan penanaman kedelai. Hal itu diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kedelai impor.
”Kami memiliki lahan yang potensial untuk menanam kedelai. Kebetulan, Dinas Pangan dan Pertanian Batang juga sedang menanam kedelai edamame yang sebentar lagi panen,” imbuh Wihaji.
Sementara itu, di Kabupaten Tegal, sejumlah produsen tempe harus mengurangi ketebalan tempe karena tidak bisa menaikkan harga. Ketebalan tempe yang biasanya 8 sentimeter dibuat lebih tipis menjadi 7 sentimeter.
”Pembeli tidak mau kalau harga tempe naik, padahal idealnya naik. Kami mau menaikkan harga juga tidak berani karena tidak semua produsen tempe mau kompak untuk menaikkan harga,” kata Dewi (45), produsen tempe di Kecamatan Dukuhturi, Tegal.
Dengan harga kedelai Rp 6.500 per kilogram, Dewi menjual tempe dengan harga Rp 8.000 per kilogram. Sementara dengan harga kedelai yang mencapai Rp 9.500 per kilogram seperti saat ini, idealnya Dewi menjual tempe dengan harga Rp 12.000 per kilogram agar tidak merugi.
Strategi berbeda ditempuh oleh produsen tempe lain, Jaitun (45). Sejak harga kedelai naik, ia mengurangi produksi dari 2 kuintal dalam sehari menjadi 1,5 kuintal per hari.
”Kalau tidak begitu, kami semakin rugi. Ini saja, kami selalu tombok untuk menggaji karyawan,” ujar Jaitun.
Jaitun mengungkapkan, dirinya dan suaminya terpaksa menggaji lima karyawannya dengan uang tabungan. Sebab, uang hasil penjualan tempe tidak cukup untuk membeli bahan baku serta menggaji karyawan.
Dewi dan Jaitun berharap harga kedelai bisa segera normal. Dengan begitu, penderitaan mereka akibat kenaikan harga kedelai bisa berkurang.
Adapun sejumlah penjual kedelai di Kota Tegal mengaku, kenaikan harga sudah terjadi sejak di tingkat pengimpor. Harga kedelai diperkirakan mulai turun pada akhir Januari.
”Kata pengimpor, akhir bulan nanti, ada kedelai masuk. Mudah-mudahan, harganya bisa normal setelah itu,” ucap Masruri (50), penjual kedelai di Kota Tegal.
Masruri menyebutkan, kelangkaan kedelai terjadi karena sejumlah negara penyuplai kedelai, seperti, Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina, mengalami gagal panen. Pada saat yang sama, permintaan kedelai dari China meningkat. Adapun sebagian negara penyuplai kedelai itu mengalokasikan sebagian besar produksi mereka ke China dan mengurangi suplai ke negara lain, termasuk Indonesia.