Pembudidayaan sorgum mulai digalakkan di enam daerah di Sumatera Selatan. Bahkan, pada tahun 2021 diharapkan luas penanaman sorgum bisa mencapai 28.000 hektar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PANGKALAN BALAI, KOMPAS — Enam daerah di Sumatera Selatan mulai melirik sorgum (Sorghumsp) sebagai sumber pangan baru. Pada tahun 2021, areal penanaman sorgum diharapkan semakin meluas.
”Setidaknya ada enam kabupaten di Sumsel yang telah membuat demplot sorgum dengan luas total 10 hektar. Keenam daerah itu adalah Ogan Komering Ulu Timur, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu Selatan, Lahat, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir,” kata Muhammad Taufik, Ketua Umum Indonesia Cerdas Desa (ICD), organisasi pendamping petani sorgum, di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis (7/1/2020).
Demplot itu berasal dari lahan milik petani yang berminat menanam sorgum dengan sistem tumpang sari. Tujuannya, melihat tingkat produktivitas sorgum di Sumsel. Hasilnya, lanjut Taufik, rata-rata tingkat produktivitas bisa mencapai sekitar 2 ton per hektar.
”Ini cukup menggembirakan mengingat pembudidayaan sorgum di Sumsel baru dimulai tahun lalu,” kata Taufik.
Hingga akhir tahun 2021, penanaman sorgum di Sumsel diharapkan bisa mencapai 28.000 hektar. Target itu muncul dari data luasan lahan marginal atau lahan dengan produktivitas rendah di Sumsel yang mencapai 118.000 hektar.
”Sorgum dapat ditanam di lahan kering dan gersang. Namun, tanaman ini masih tetap membutuhkan air meski tidak terlalu banyak,” ucapnya.
Dengan keunggulan itu, sorgum diharapkan dapat memberikan nilai tambah di lahan petani yang kering akibat kemarau panjang atau di lahan yang kurang subur. ”Kami masih memanfaatkan masa tanam hingga bulan Maret saat masih ada kemungkinan curah hujan,” ujar Taufik.
Menurut Taufik, membudidayakan kembali sorgum adalah membangkitkan lagi ingatan mengenai komoditas ini. Pada tahun 1970-an sorgum sudah ditanam di beberapa daerah, terutama di Indonesia bagian timur dan beberapa wilayah di Jawa.
Komoditas ini dikenal dengan istilah buliran atau cantel. Kini pembudidayaan sorgum kembali menggelora di beberapa wilayah, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Hingga kini, ujar Taufik, setidaknya terdapat 20 varietas sorgum di Indonesia, tetapi yang digunakan saat ini adalah varietas sorgum bioguma. Varietas ini menghasilkan biji yang dapat diolah untuk bahan pangan alternatif karena bisa dijadikan bahan utama sereal atau tepung.
Bahkan, sorgum bisa dijadikan kecap. Daunnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan batangnya bisa diolah untuk menghasilkan etanol.
Taufik menuturkan, dipandang dari aspek ekonomi, 1 hektar lahan tanaman sorgum dapat menghasilkan 5 ton biji sorgum dan 40 ton batang sorgum. Keduanya bernilai ekonomis.
Biji sorgum dihargai hingga Rp 3.000 per kilogram, sedangkan batang sorgum dihargai Rp 200 per kilogram. Artinya, dalam 1 hektar, petani berpotensi mendapatkan pendapatan kotor sekitar Rp 23 juta per sekali panen. ”Dalam satu tahun, sorgum bisa panen hingga tiga kali,” ucapnya.
Ketua ICD Sumsel Bambang Soeprijadi menyampaikan, di Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, sedang dikembangkan pembenihan sorgum dengan varietas unggul baru Sorgum Bioguma. Ada 5 hektar lahan yang akan jadi demplot pengembangan benih.
Dalam 1 hektar bisa dihasilkan 5 ton per sekali panen. Adapun untuk satu hektar dibutuhkan sekitar 5 kilogram bibit. Artinya, dalam sekali panen, bibit dari demplot ini bisa digunakan untuk 5.000 hektar lahan marginal.
Bambang berujar, kini yang menjadi fokus utama adalah membiasakan petani Sumsel menanam sorgum. Bahkan, pihaknya akan berupaya membina kelompok tani untuk tidak hanya menanam sorgum, tetapi mengolahnya menjadi sejumlah produk turunan, seperti tepung, gula cair, dan pakan ternak.
Peneliti dari Badan Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Dodin Koswanudin, menjelaskan, ada tiga varian sorgum bioguma. Ketiganya memiliki keunggulan tersendiri, mulai dari daunnya yang memiliki kandungan biomassa, nira, dan etanol yang tinggi,
”Nira yang tinggi bisa menjadi bahan gula cair alternatif. Etanol bisa digunakan sebagai bahan baku pembuat cairan antiseptik yang dicari saat pandemi seperti ini,” ujar Dodin.
Saat ini, ujar Dodin, juga sedang dikaji sorgum manis yang bijinya sangat pulen sehingga bisa digunakan untuk pengganti beras. ”Varietas itu sedang dikembangkan di Lamongan, Jawa Timur,” ucapnya. Dari segi kandungan gizi, sogum mengandung protein, zat besi, dan mineral yang tinggi. Bahkan, varietas jenis ini bisa menghasilkan biji hingga 10 ton per hektar per sekali panen.
Apabila varian ini berhasil dikembangkan, tentu keberadaan sorgum sebagai pengganti beras akan semakin kuat. ”Bahkan, di Bali sudah ada beberapa restoran yang menggunakan sorgum sebagai pengganti beras. Karena itu, terkait pasar, petani tidak perlu takut,” ujar Dodin.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Banyuasin Zainuddin masih memantau perkembangan budidaya sorgum di demplot yang ada di Desa Gelebak Dalam. Jika hasilnya menjanjikan, tentu akan ada lahan lain yang bisa dikembangkan sebagai lokasi pembudidayaan sorgum.
”Saya lebih memilih mencari lahan pertanian baru ketimbang menggunakan lahan komoditas lain, apalagi sawah. Kita juga harus perhatikan aspek hilirnya, jangan sampai petani yang dirugikan,” ucap Zainuddin.
Menurut dia, evaluasi lanjutan harus terus dilanjutkan untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan. Dulu ubi kayu perkembangannya tidak terlalu ideal karena keterbatasan pasar. ”Terbukti sampai sekarang masih saja padi yang diminati petani,” ucapnya.