Banjir dan longsor yang melanda Kepulauan Sangihe menyebabkan sedikitnya 223 keluarga terpaksa mengungsi, sementara satu orang meninggal. Warga masih waspada karena hujan masih terus turun.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Banjir dan longsor yang melanda Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Minggu-Senin (3-4/1/2021), menyebabkan sedikitnya 223 keluarga terpaksa mengungsi dan satu orang meninggal. Meski banjir telah surut, warga masih waspada karena hujan masih terus turun.
Dihubungi dari Manado, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kepulauan Sangihe Revolius Pudihang mengatakan, banjir sudah surut dan intensitas hujan pun sudah mereda, Kamis (7/1/2021). ”Kondisi sudah kondusif. Masyarakat sebagian sudah kembali ke rumah masing-masing,” kata Revolius.
Banjir dan longsor pada awal pekan ini disebabkan hujan deras yang turun secara konstan selama dua hari pada pagi hingga sore hari. Dampaknya pun dirasakan di enam kecamatan, yaitu Tahuna, Kendahe, Manganitu, Manganitu Selatan, Tabukan Selatan Tengah, dan Tabukan Selatan Tenggara.
Kecamatan Manganitu Selatan merasakan dampak yang paling buruk karena banjir mencapai 150 sentimeter (cm) di Desa Laine. Akibatnya, setidaknya 208 keluarga harus mengungsi ke 10 rumah warga, gereja, dan sekolah. Sementara itu, 15 rumah dan 3 rumah ibadah yang terendam di Desa Laine, Tabukan Selatan Tenggara, menyebabkan 15 keluarga mengungsi.
Korban jiwa dalam peristiwa ini adalah Daniel Mangali (63), yang tinggal di Kampung Tenda, Tabukan Selatan Tengah. Jasadnya ditemukan pada Selasa (5/1). ”Korban diperkirakan tenggelam karena terseret air yang menggenangi ruas jalan. Sekarang jenazah sudah diserahkan kepada keluarga,” ujar Revolius.
Banjir dan longsor juga menyebabkan akses beberapa ruas jalan nasional terputus, termasuk yang menghubungkan Tahuna dengan Naha, lokasi bandara Kepulauan Sangihe. Longsor juga menyebabkan akses antara Tahuna dan Kecamatan Tamako terputus. Akses sudah terbuka kembali setelah personel Balai Pengelola Jalan Nasional XV dan instansi terkait lainnya mengerahkan ekskavator untuk mengangkat timbunan tanah.
Bantuan juga sudah datang dari Pemkab Sangihe, Pemprov Sulut, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kepala BPBD Sulut Joy Oroh mengatakan, bantuan berupa, antara lain, beras, mi instan, dan makanan siap saji lainnya, matras, tikar plastik, tenda, dan terpal gulung, sudah dikirim.
Bantuan telah dikirim pada Rabu (6/1) dengan helikopter BNPB yang berangkat dari Banadara Sam Ratulangi, Manado. ”Masih ada dua sorti penerbangan helikopter, Kamis (7/1), untuk membawa bantuan lainnya ke Sangihe,” ujar Joy.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati mengatakan, secara keseluruhan, 223 keluarga harus mengungsi ke rumah tetangga dan kerabat terdekat. Selain itu, empat rumah ibadah dan sebuah sekolah turut terdampak oleh tinggi air antara 20cm dan 150 cm. ”Tetapi, masih ada potensi hujan dengan intensitas ringan, setidaknya sampai Kamis,” katanya.
Adapun hujan deras yang memicu banjir di Sangihe disebabkan fenomena La Nina, yaitu mendinginnya suhu laut di Samudra Pasifik sebelah timur. Kepala Stasiun Meteorologi Bandara Naha Sujanto mengatakan, suhu permukaan laut di Pasifik berada di bawah 0 derajat celsius sehingga terbentuklah awan konvektif yang memicu hujan.
Hujan masih akan mengguyur wilayah Kepulauan Sangihe hingga Jumat (8/1) pada pukul 08.00 pagi.
”Awan konvektif itu bergerak ke wilayah Indonesia karena ada dorongan massa udara yang kuat dari Pasifik. Pada saat yang sama, Indonesia juga memasuki musim hujan. Akibatnya, ada akumulasi awan-awan hujan yang menyebabkan curah hujan tinggi,” ujar Sujanto.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui Stasiun Meteorologi Kelas II Sam Ratulangi, Manado, memprediksi hujan masih akan mengguyur wilayah Kepulauan Sangihe hingga Jumat (8/1) pukul 08.00 pagi. Cuaca cenderung cerah berawan jelang sore hari.
Setahun
Banjir dan longsor di Sangihe pada awal 2021 terjadi tepat setahun setelah bencana serupa melanda awal 2020. Saat itu, tiga orang di Desa Lebo, Manganitu, tewas diterjang banjir bandang. Kepala BPBD Sangihe Revolius mengatakan, penyebab banjir tahun ini masih diselidiki.
Stevander Ngantung (27), warga Lebo, mengatakan, kampungnya aman dari bencana tahun ini. Warga tetap waspada karena hujan terus turun selama 1-2 jam setiap hari. Kendati begitu, warga cenderung merasa aman setelah pemerintah melakukan penanaman kembali di lereng-lereng bukit sebelah kampung.
”Sudah ada penanaman pohon-pohon yang akarnya kuat, tetapi saya tidak tahu itu tanaman apa. Selain itu, sudah ada normalisasi bantaran sungai, sudah dipasangi beton-beton,” kata Stevander ketika dihubungi lewat telepon dari Manado.
Revolius mengatakan, sudah ada tanaman-tanaman lokal yang ditanam di lereng-lereng yang menjadi lokasi bencana tahun lalu. Namun, tidak ada vetiver, sukun, sagu, atau aren sebagaimana disarankan BNPB pascabanjir besar awal 2020.