Pemenjaraan Aktivis Lingkungan Danau Toba Cederai Rasa Keadilan
Pemenjaraan aktivis lingkungan hidup Danau Toba, Sebastian Hutabarat, melukai rasa keadilan. Sebastian ditangkap setelah dijatuhi vonis satu bulan penjara karena dinilai terbukti menghina pemilik tambang galian C.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pemenjaraan aktivis lingkungan hidup Danau Toba, Sebastian Hutabarat, melukai rasa keadilan. Sebastian ditangkap setelah dijatuhi vonis satu bulan penjara di tingkat banding karena dinilai terbukti menghina pemilik tambang galian C di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.
”Beginilah potret hukum kita. Kami sangat prihatin di kala seseorang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup Danau Toba, tetapi harus berakhir dengan pemenjaraan," kata Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Maruap Siahaan, Rabu (6/1/2021).
Sebastian Hutabarat ditangkap tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, dan Kejaksaan Negeri Samosir, Selasa (5/1). Tim kejaksaan mengeksekusi putusan banding Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan yang menjatuhkan vonis 1 bulan penjara terhadap Sebastian. Di PN Balige, Sebastian sebelumnya divonis dua bulan penjara.
Sebastian dinilai terbukti melakukan tindak pidana penghinaan terhadap pemilik tambang galian C, Jautir Simbolon. Ia dinyatakan melanggar Pasal 310 Ayat 1 KUHP.
Sebastian ditangkap saat beraktivitas di rumah makan pizza andaliman miliknya. Ia pun kini dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Pangururan.
Maruap mengatakan, kasus yang dihadapi Sebastian tidak terlepas dari perjuangan lingkungan hidup yang mereka lakukan. Sebastian merupakan Wakil Ketua YPDT Kabupaten Toba. Rentetan panjang kasus itu dimulai pada Agustus 2017 ketika YPDT menolak operasi pertambangan galian C di Desa Silima Lombu, Kecamatan Onan Runggu, Kabupaten Samosir.
Karena penolakan itu, pemilik pertambangan, Jautir Simbolon, menganiaya Sebastian dan Jonannes Marbun. Jautir pun telah dinyatakan bersalah dan divonis 1 bulan penjara atas kasus penganiayaan. Namun, lanjut Maruap, Jautir kembali melaporkan Sebastian atas kasus penghinaan.
Sebastian harus dipenjara karena menolak tambang di tengah kerusakan lingkungan hidup Danau Toba.
Maruap mengatakan, pemenjaraan penjuang lingkungan hidup melukai rasa keadilan. ”Sebastian harus dipenjara karena menolak tambang di tengah kerusakan lingkungan hidup Danau Toba,” kata Maruap.
Maruap menyebutkan, di tengah upaya Presiden Joko Wododo menjadikan kawasan Danau Toba destinasi super prioritas berkelas internasional, konservasi lingkungan hidup seharusnya dikedepankan. Apalagi, kawasan Danau Toba kini mengalami kerusakan luar biasa dari hulu sampai hilir.
Di hulu, hutan di daerah tangkapan air dirusak dan terus menyusut karena pembalakan hutan dan pertambangan. Di hilir, limbah domestik dan budidaya ikan terus mencemari air danau. ”Kami mempertanyakan di mana kesungguhan pemerintah dalam membangun Danau Toba,” kata Maruap.
Maruap menyebutkan, pihaknya tetap menyarankan agar Sebastian menjalani vonis penjara yang telah dijatuhkan kepadanya. Meski demikian, Sebastian tetap mengirimkan surat perlindungan kepada Presiden. Permohonan itu untuk menagih komitmen pemerintah agar berpihak pada lingkungan hidup Danau Toba.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Sumut Doni Latuparissa mengatakan, pemenjaraan Sebastian menambah daftar panjang aktivis lingkungan hidup yang menghadapi kriminalisasi dan ancaman lainnya. ”Kriminalisasi pejuang lingkungan hidup selalu berulang. Kami melihat ini sebagai upaya membungkam suara kritis para aktivis,” kata Doni.
Doni mengatakan, daftar pejuang lingkungan hidup lainnya yang diancam dengan kriminalisasi ialah mantan Direktur Walhi Sumut Dana Tarigan dan dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Onrizal. ”Mereka beberapa kali dipanggil polisi karena mengkritik pembangunan PLTA Batang Toru melalui media sosial. Mereka diancam dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” kata Doni.
Selain itu, kematian aktivis Walhi, Golfried Siregar, juga diduga berkaitan dengan aktivitasnya sebagai pengacara Walhi.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Sumanggar Siagian mengatakan, kejaksaan hanya menjalankan putusan pengadilan. Tidak ada upaya kriminalisasi karena putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap. ”Itu memang sudah putusan pengadilan. Tidak bisa itu tidak dijalani,” kata Sumanggar.
Meskipun ada penolakan dari sejumlah aktivis lingkungan hidup, kata Sumanggar, pihaknya harus tetap mengeksekusi putusan tersebut.