DPD Minta Evaluasi Otonomi Khusus Papua
Selama 20 tahun otsus Papua, kebijakan tersebut belum mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat asli Papua. Kini, Undang-Undang Otsus akan diperbaiki lagi. Diharapkan, selain pengawasan, juga fokus ke warga Papua.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Daerah meminta otonomi khusus Papua dievaluasi secara holistik. Sebab, selama 20 tahun otsus Papua berlangsung, kebijakan tersebut belum mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat asli Papua. Selain itu, pengaturan kembali otsus Papua pun didorong untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat Papua dan mendengarkan aspirasi mereka terkait dengan kepentingan daerah di berbagai bidang.
DPD memandang, tanpa evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan otsus dan hanya mengubah ketentuan di dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otsus Papua, kesejahteraan yang diharapkan terwujud di Papua akan sulit direalisasikan.
Untuk pembahasan RUU Otsus Papua, DPD membentuk tim khusus untuk terlibat dalam pembahasan RUU tersebut. Selain itu, DPD melalui Komite I juga telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Papua yang menyerap aspirasi dari berbagai pihak terkait dengan Papua.
Baca juga: Buka Dialog Sebelum Revisi Otsus Papua
Wakil Ketua Komite I DPD Abdul Khalik, ketika dihubungi Selasa (5/1/2021), mengatakan, DPD sejak awal fokus untuk membahas dan mengevaluasi serta mencarikan solusi terhadap persoalan yang terjadi di Papua. Sebagai salah satu respons DPD, Komite I DPD telah membentuk Pansus Papua.
Dalam waktu setahun ini, Pansus Papua telah bekerja dengan memanggil, mengundang, dan berdiskusi dengan sebagian besar stakeholder Papua. Kami berharap rekomendasi-rekomendasi yang kami sampaikan dapat diterima oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait.
”Dalam waktu setahun ini, Pansus Papua telah bekerja dengan memanggil, mengundang, dan berdiskusi dengan sebagian besar stakeholder Papua. Kami berharap rekomendasi-rekomendasi yang kami sampaikan dapat diterima oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait,” kata Abdul.
Terkait dengan RUU Otsus Papua, Komite I DPD telah menerima tembusan surat presiden (surpres) yang juga menyertakan draf revisi UU Otsus Papua. DPD siap membahas RUU Otsus Papua bersama-sama dengan pemerintah dan DPR. Sebagai wakil daerah, DPD berkepentingan untuk memastikan kepentingan daerah terwakili di dalam pembahasan RUU Otsus Papua.
”Kami juga telah menyiapkan tim khusus untuk membahas RUU Otsus Papua. Jadi, kami sudah siap membahas draf RUU Otsus Papua dari pemerintah,” ujar Abdul.
Dihubungi terpisah, Ketua Pansus Papua Komite I DPD Filep Wamafma mengatakan, harus dilakukan evaluasi terhadap 20 tahun otsus Papua berlangsung. ”Kalau dilihat data statistik atau data pembanding lainnya, ternyata hampir 20 tahun ini, otsus belum mampu mengangkat harkat dan martabat asli masyarakat Papua. Itu dulu yang menjadi skala prioritas,” ucapnya.
Dari kacamata DPD, pemerintah sebelum menyusun RUU Otsus Papua harus terlebih dulu menyerap aspirasi rakyat Papua dan memahami kebutuhan daerah di sana. Persoalan besar di Papua ialah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan seharusnya itu diselesaikan dengan serius oleh pemerintah.
Sayangnya, penanganan persoalan HAM di dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua sulit diterapkan karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Akibatnya, UU Otsus Papua itu kehilangan rohnya.
”Maunya DPD, pemerintah memperhatikan hal ini di dalam RUU Otsus Papua. Fokusnya ialah penguatan pada keterlibatan masyarakat Papua dalam pengambilan keputusan. Bukan justru melemahkannya,” kata Filep.
Setidaknya ada tiga poin penting di dalam draf RUU Otsus Papua yang diusulkan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah menaikkan dana otsus Papua, yakni dari semula 2 persen dari dana alokasi umum (DAU), kini menjadi 2,25 persen. Kedua, pemerintah mengatur pembinaan dan pengawasan dana otsus Papua ke dalam peraturan pemerintah (PP). Ketiga, pemerintah dapat memekarkan wilayah di Papua tanpa melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur di dalam UU Pemda.
Hanya ada tiga pasal yang diubah di dalam RUU Otsus Papua, yakni Pasal 1 tentang definisi umum, Pasal 34 tentang sumber-sumber penerimaan daerah dan dana perimbangan, serta Pasal 76 tentang pemekaran wilayah.
Filep mengatakan, terkait dengan poin-poin itu, DPD, antara lain, menyoroti pembentukan wilayah pemekaran di dalam Pasal 76 RUU Otsus Papua, yang multitafsir karena di dalam Ayat 2 pasal tersebut disebutkan pemerintah dapat memekarkan wilayah dengan pertimbangan kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia (SDM), serta kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Sebelumnya, Pasal 76 dalam UU No 21/2001 secara tegas mengatakan, pemekaran wilayah itu harus mendapatkan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua (DPRP). Namun, di dalam RUU Otsus Papua, ketentuan ini menjadi kabur karena sekalipun persetujuan MRP dan DPRP juga dicantumkan di dalam Pasal 76 Ayat 1, di Ayat 2 pemerintah juga dapat melakukan pemekaran serta tidak ada ketentuan mendapatkan persetujuan dari MRP dan DPRP di ayat kedua.
”Soal pemekaran wilayah ini, kan, seolah RUU Otsus ini hanya melemahkan posisi MRP dan DPRP karena pemerintah dapat juga memekarkan wilayah di Papua, tidak harus meminta persetujuan mereka. Jadi, kalau misalnya tidak mendapatkan persetujuan dari MRP dan DPRP, pemerintah dapat saja tetap memekarkan wilayah dengan pertimbangan kesatuan wilayah, kesiapan SDM, dan sebagainya,” kata Filep.
Hal itu, lanjut Filep, mencerminkan pelemahan keterlibatan perwakilan masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Kondisi ini juga mengesampingkan sifat otonomi khusus yang diberikan kepada Papua lantaran beberapa kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah justru seolah dilemahkan, bukan dikuatkan.
Filep juga mengkritisi perubahan UU Otsus Papua yang hanya menyangkut tiga poin tersebut. Jika hanya perubahan minor yang terjadi, sesungguhnya pemerintah bahkan tidak perlu membuat UU baru.
Kalau hanya untuk pencairan anggaran, Kementerian Keuangan dapat saja membuat peraturan menteri, tidak perlu membuat UU baru. Oleh karena itu, jika memang ingin membuat RUU Otsus, sebaiknya hal-hal substansial menyangkut otonomi khusus itu juga dimasukkan dan diperkuat.
”Kalau hanya untuk pencairan anggaran, Kementerian Keuangan dapat saja membuat peraturan menteri, tidak perlu membuat UU baru. Oleh karena itu, jika memang ingin membuat RUU Otsus, sebaiknya hal-hal substansial menyangkut otonomi khusus itu juga dimasukkan dan diperkuat,” ujarnya.
Rentan korupsi
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, hal yang masih luput dari pengaturan sumber-sumber penerimaan serta dana bagi hasil antara pusat dan daerah ialah tentang mekanisme tata kelola anggaran di daerah. Selama ini, dana otsus kurang dapat dipertanggungjawabkan dan minim akuntabilitas. Kondisi ini berpotensi memicu terjadinya korupsi yang berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat.
”Harus disamakan dulu antara perspektif pusat dan daerah mengenai dana otsus ini. Kalau pemahaman di sana, dana itu adalah dana politik, sebagai kompensasi agar Papua tidak lepas dari Indonesia. Kalau maknanya demikian, apakah itu sama dengan perspektif pusat dalam pencairan dana otsus itu,” kata Robert.
Pemahaman yang tidak sama antara pusat dan daerah juga berpotensi menimbulkan kerancuan dalam pemanfaatan dana otsus. Seolah-olah dana itu tidak perlu ada akuntabilitasnya karena merupakan dana politik. Akibatnya, triliunan dana otsus itu dinilai masih minim dampaknya bagi masyarakat Papua.
”Secara umum, fokus RUU Otsus Papua tersebut masih desentralisasi fiskal dan belum menyentuh pada manajemen fiskal,” tutur Robert.
Di sisi lain, titik tekan dana otsus itu ialah pada pendidikan dan kesehatan. Adapun bidang lain, seperti infrastruktur wilayah, menurut Robert, kondisinya juga memprihatinkan di Papua. Terlebih karena kondisi geografis Papua yang sulit dijangkau. Konektivitas daerah ini juga perlu diperhatikan pemerintah dalam alokasi dana otsus Papua.
Terkait potensi korupsi oleh elite lokal, Filep mengatakan, pemerintah pusat seharusnya segera merespons dan menurunkan penegak hukum untuk mengonfirmasi dugaan tersebut. ”Silakan saja penegak hukum memeriksa dan mendalami penyaluran dana otsus itu. Harus dipastikan dana itu dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Namun, perlu juga untuk dicatat, apakah pemerintah juga telah mengeluarkan PP yang secara operasional mengatur untuk apa saja dana otsus tersebut,” katanya.
Jika belum ada aturan khusus dari pemerintah soal penggunaan dana otsus, menurut Filep, tidak dapat juga dibatasi penggunaan dana otsus itu. Sebab, penggunaan dana tersebut di lapangan akan sangat bergantung pada visi-misi dari tiap-tiap kepala daerah.
”Beberapa kali kami memanggil Menteri Keuangan untuk menanyakan kenapa tidak ada PP mengenai penggunaan dana otsus, jawabannya selalu pemerintah tidak bisa mengintervensi. Kalau begitu, penggunaan dana itu akan sulit dikendalikan karena sudah disesuaikan dengan program-program kepala derah di lapangan,” katanya.
Tunggu pembahasan
Direktur Dana Transfer Umum Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adriyanto menyampaikan, secara substansi, mekanisme pengawasan dana otsus Papua akan dibahas bersama DPR nanti. Ia enggan membeberkan lebih lanjut mengenai hal tersebut.
”Kalau secara subtansi, nanti tunggu saja pembahasannya. Tunggu saja nanti, kan, dibahas di DPR,” ujar Adriyanto.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik pun tidak ingin berspekulasi terlalu jauh mengenai ketentuan baru di dalam RUU Otsus Papua terkait pembinaan dan pengawasan dana otsus Papua. Adapun di dalam UU No 21/2001, ketentuan tersebut tidak dicantumkan.
”Kami hanya mengusulkan yang baik-baik saja untuk Papua agar Papua lebih baik ke depan. Anggarannya lebih baik, kesejahteraannya juga lebih baik,” ujar Akmal.
Kami hanya mengusulkan yang baik-baik saja untuk Papua agar Papua lebih baik ke depan. Anggarannya lebih baik, kesejahteraannya juga lebih baik.
Saat ditanyai detail pembinaan dan pengawasan dana otsus Papua tersebut, Akmal enggan menjawab. Ia meminta lebih baik hal tersebut menunggu rapat pembahasan bersama di DPR.
Baca juga: Prioritaskan Kepentingan Warga Papua dalam Revisi UU Otsus
”Jadi, ya, kita tunggu saja apa yang dimau DPR. Ini, kan, politik. Jadi, ini juga akan sangat dinamis. Kita tidak tahu arahnya bagaimana nanti,” kata Akmal.
Yang pasti, lanjut Akmal, Kemendagri telah mengevaluasi terhadap jalannya otsus Papua. Dari evaluasi tersebut, sejumlah perbaikan tentu juga diusulkan di dalam RUU Otsus Papua. Secara khusus, ia menyebut, penguatan pengawasan dibutuhkan di internal pemerintahan Papua sendiri.
”Pastinya penguatan (pengawasan dana otsus) dibutuhkan. Kami sudah hampir empat kali evaluasi terhadap otsus Papua ini. Tentunya, harus selalu ada perbaikan ke depan. Tetapi, perbaikan seperti apa, tentu ini masuk ke proses politik. Jadi, kami tidak bisa menyampaikan apa dan bagaimana karena masih sangat dinamis,” katanya.