Garap Kebun di Kawasan Hutan, Abdul Fatah Ditangkap Polisi Hutan
Salah satu petani di Kabupaten Seruyan ditangkap lantaran berkebun di kawasan hutan. Ia tak tahu bahwa kebun yang sudah digarap beberapa tahun belakangan itu merupakan kawasan milik negara bukan miliknya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Abdul Fatah (45), warga Desa Ayawan, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, ditangkap dan diadili lantaran menggarap kebunnya yang masuk kawasan hutan produksi. Pada sidang pertama kasus perdata itu, hakim meminta kedua pihak untuk melakukan mediasi.
Abdul Fatah menjalani sidang perdananya dalam perkara perdata melawan Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui perwakilannya di Kalteng, yakni Brigade Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Wilayah Kalimantan Tengah, Senin (4/1/2021).
Sidang itu dipimpin Hakim Ketua Darminto Hutasoit di Pengadilan Negeri Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Abdul Fatah didampingi penasihat hukumnya, Rendha Ardiansyah.
”Dalam sidang perdana ini, hakim meminta kedua pihak memberikan resume dan memberikan kesempatan mediasi atau jalur berdamai untuk menyelesaikan masalah ini,” ungkap Rendha.
Rendha menjelaskan, Abdul Fatah ditangkap pada 17 September 2020 saat menggarap kebunnya seluas 12,3 hektar yang baru ia beli pada tahun 2018 dari warga Desa Ayawan lainnya. Ia pun menanami kebunnya dengan pohon karet dan kelapa sawit.
Abdul Fatah didakwa Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun. Ia pun terancam denda Rp 1,5 miliar.
Kini ia sudah ditahan lebih kurang 3 bulan. Selain itu, alat berat yang ia sewa untuk menggarap kebunnya itu sempat disita petugas.
Rendha menjelaskan, pihaknya pernah mengajukan praperadilan pada November 2020. Hasilnya, hakim mengabulkan sebagian permohonan tersangka. Hakim mengambulkan permohonan terkait alat berat.
”Artinya, penyitaan itu tidak sah dan harus dikembalikan. Alat itu juga bukan punya Pak Fatah, ia hanya menyewa,” kata Rendha.
Menurut Rendha, terkait alat berat memang dikabulkan oleh hakim, tetapi penetapannya sebagai tersangka masih berlanjut. Abdul Fatah tetap diduga melakukan perusakan hutan.
”Tak hanya Abdul Fatah, semua warga di Ayawan tidak tahu bahwa kebun mereka masuk dalam kawasan hutan, 70 tahun lebih mereka menggarap kebun di sana gak pernah ada sosialisasi dari pemerintah ataupun aparat soal kawasan hutan,” ungkap Rendha.
Kepala Desa Ayawan Sahruddin menjelaskan, lahan milik Abdul Fatah dan semua warga di Ayawan memiliki surat keterangan tanah (SKT) yang diterbitkan sejak lama. Ia sendiri tak mengetahui bahwa area kebun warganya berada di kawasan hutan.
”Kalau memang kami masuk di wilayah hutan, seharusnya ada tanda batas sehingga kami tahu salahnya di mana,” ungkap Sahruddin.
Sahruddin khawatir jika kasus ini akan merembet ke warganya yang lain lantaran kebun Abdul Fatah berbatasan langsung dengan kebun warga lainnya, bahkan kebun miliknya. Menurut Sahruddin, pemerintah dan aparat seharusnya jangan langsung main tangkap, perlu ada edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.
Selain itu, lanjut Sahruddin, pihaknya sudah mendaftarkan tanah-tanah dan kebun milik masyarakat dalam program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Walakin, hingga kini usulan itu belum disahkan oleh pemerintah.
”Kami harap ini jelas karena tanah dan kebun kami terancam, hidup kami juga demikian,” ungkap Sahruddin.
Kepala Brigade SPORC Kalteng Irwansyah membenarkan pihaknya melakukan penangkapan Abdul Fatah karena menggunakan alat berat di kawasan hutan. Tak hanya itu, menurut Irwansyah, Abdul Fatah menggarap di kawasan hutan yang izinnya sudah diberikan ke sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci izin usaha dari perusahaan tersebut.
”Kawasan hutan produksi di dalam konsesi tepatnya, kalau pemiliknya tetap milik negara, HTI hanya izin saja ke negara,” kata Irwansyah.
Menurut Irwansyah, kawasan hutan memiliki aturan tertentu untuk penggunaan dan pemanfaatan sumber daya di dalam kawasannya. Persoalan izin dan kebijakan lain yang menyangkut pengelolaan, kata Irwansyah, merupakan wewenang instansi lain.