Masih Diusir Banjir dan Kini Mereka Kian Dihantui Pandemi
Banjir Citarum kembali memaksa sebagian warga Kabupaten Bandung, Jabar, pergi dari rumah saat pandemi Covid-19 masih ada. Namun, pengungsian tidak kalah menakutkan. Sejumlah cara dilakukan untuk meminimalkan dampaknya.
Oleh
tatang mulyana sinaga/machardin wahyudi ritonga
·5 menit baca
Bencana banjir Citarum kembali memaksa penyintas warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat, pergi dari rumah saat pandemi Covid-19 semakin mengkhawatirkan. Namun, hidup di pengungsian tidak kalah menakutkan. Sejumlah cara dilakukan untuk meminimalkan potensi penularan.
Mendung datang membawa kecemasan bagi puluhan warga di Gedung Pengungsian Desa Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jumat (25/12/2020) sore. Bukan hanya khawatir banjir meninggi jika hujan lebat turun lagi, tetapi mengungsi di tengah pandemi semakin menambah keresahan mereka.
Banjir kembali menerjang setelah hujan lebat selama lebih dari tiga jam mengguyur kawasan Bandung Raya, Kamis. Ini merupakan banjir terparah pada musim hujan akhir tahun 2020.
Warga menyadari, beraktivitas di rumah adalah cara terbaik menghindari penularan Covid-19. Namun, ketinggian banjir sudah mencapai 1,2 meter. Jika tak segera mengungsi, banjir berpotensi semakin besar karena hujan belum akan berakhir tahun ini.
“Tidak ada pilihan lain selain mengungsi. Namun, di pengungsian juga tidak sepenuhnya aman. Ancaman virus korona masih berbahaya,” ujar Ita Kusmiati (47), salah satu pengungsi asal Dayeuhkolot.
Ita mengungsi bersama dua anak dan dua cucunya. Sementara suaminya, Komarudin (50), memilih bertahan untuk menjaga rumah dari sasaran maling spesialis rumah kosong. Hari itu, ada 43 orang dari 16 rumah tangga yang mengungsi di gedung itu.
Sejak 2005, Ita dan keluarganya terbiasa mengungsi akibat luapan Sungai Citarum saat musim hujan. Namun, sebelumnya mereka tidak terlalu khawatir. Selain kebutuhan makanan terpenuhi, juga tidak ada ancaman pandemi seperti sekarang.
“Mengungsi kali ini yang paling menakutkan. Jadi, harus benar-benar menjaga kebersihan dan menjaga jarak,” ujarnya.
Mengungsi kali ini yang paling menakutkan. Jadi, harus benar-benar menjaga kebersihan dan menjaga jarak (Ita, korban banjir)
Kecemasan Ita bukannya tanpa alasan. Sebab, penularan Covid-19 di Kabupaten Bandung masih terus terjadi. Berdasarkan data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar atau Pikobar, ada 245 kasus baru di daerah itu dalam sepekan terakhir. Secara keseluruhan, hingga Selasa siang, terdapat 3.531 kasus Covid-19 di Kabupaten Bandung. Jumlah itu tertinggi kedua di Bandung Raya setelah Kota Bandung dengan 6.130 kasus.
Meski kasusnya tinggi, kondisi itu tidak mengurangi minat sejumlah warga Kota Bandung keluar rumah. Bersama wisatawan dari berbagai daerah, ibu kota Jabar ini, dipadati banyak orang. Masih banyak dari mereka bersenang-senang tanpa menggunakan masker. Kerumunan orang-orang yang tidak menjaga jarak jadi pemandangan yang wajar. Suasana ini jelas kontras dengan kecemasan para penyintas banjir Citarum.
Salah satunya Andi (30) warga Dago, Kota Bandung, yang memilih berjalan-jalan dan berfoto bersama pasangannya di Jalan Asia Afrika. “Saya jenuh dengan aktivitas sehari-hari, jadi sesekali saya berfoto bersama. Sebelumnya saya jarang keluar rumah karena memang work from home (bekerja di rumah). Sekarang ambil cuti akhir tahun," ujarnya.
Meski keluar rumah, Andi tetap menyayangkan sebagian orang yang tidak menjaga protokol kesehatan, seperti berkerumun dan tidak menggunakan masker. Apalagi kasus Covid-19 di Kota Bandung masih terus meroket. Data Pikobar pada Selasa pukul 14.00, jumlah pasien Covid-19 Kota Bandung yang berstaus dalam perawatan mencapai 736 orang.
Sekat plastik
Akan tetapi, di tengah kegalauan banjir kali ini, ada sedikit pelipur lara yang dirasakan para penyintas. Udin (38), penyintas asal Dayeuhkolot lainnya, mengatakan bersyukur karena di pengungsian disediakan sekat untuk membatasi pengungsi per keluarga. Sekat berbahan plastik dengan kerangka aluminium itu dipasang untuk menerapkan protokol kesehatan dalam menjaga jarak.
Kondisi ini lebih baik dibandingkan situasi pengungsian pada Maret lalu. Saat itu, tidak ada sekat. Pengungsi hanya diminta membuat jarak antarkasur satu meter per keluarga. “Dengan adanya sekat ini, setiap keluarga ibaratnya punya bilik masing-masing. Jadi, enggak lagi bergerombol seperti sebelumnya,” ujarnya.
Dengan adanya sekat ini, setiap keluarga ibaratnya punya bilik masing-masing. Jadi, enggak lagi bergerombol seperti sebelumnya
Dengan bilik-bilik tersebut, Gedung Pengungsian Desa Dayeuhkolot diperkirakan dapat menampung sekitar 30-an rumah tangga. Sebelum diberi pembatas, lebih dari 50 rumah tangga yang mengungsi ke gedung ini. Tak hanya menerapkan jaga jarak, setiap pengungsi juga dicek suhu tubuhnya. Jika suhu di atas 37,3 derajat Celcius, tidak diperbolehkan masuk.
“Kalau ada pengungsi sakit, seperti batuk dan demam, diwajibkan segera dibawa ke puskesmas. Ini untuk memastikan tempat pengungsian tidak terpapar Covid-19,” ujarnya.
Kehadiran bilik berukuran 2,5 meter x 2,5 meter itu juga sedikit mengurangi kekhawatirannya. Meskipun pembatasnya hanya berbahan plastik, tapi sekat itu dinilai cukup efektif untuk menghindari kerumunan lebih besar. Dengan begitu, potensi penularan Covid-19 dapat diminimalkan. Pengungsi juga saling mengingatkan untuk selalu mencuci tangan sebelum masuk ke gedung pengungsian.
“Takutnya (tertular Covid-19) enggak hilang, tetapi sedikit berkurang dengan adanya pembatas ini,” ujarnya.
Takutnya (tertular Covid-19) enggak hilang, tetapi sedikit berkurang dengan adanya pembatas ini
Udin berharap, fasilitas pengendali banjir luapan Citarum segera dikebut. Jika banjir teratasi, warga tidak perlu mengungsi sehingga dapat mengikuti imbauan pemerintah untuk beraktivitas di rumah.
Harapannya sempat melambung saat Presiden Joko Widodo meresmikan Terowongan Nanjung pada akhir Januari lalu. Dua terowongan dengan masing-masing sepanjang 230 meter itu berfungsi untuk memperlancar aliran Sungai Citarum menuju Waduk Saguling.
Akan tetapi, banjir masih saja terjadi saat musim hujan sehingga memaksa warga mengungsi. “Namun, (banjir) sudah agak berkurang dibandingkan musim hujan tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
Selain Terowongan Nanjung, pemerintah telah membangun infrastruktur pengendali banjir lainnya, di antaranya kolam retensi Cieunteung dan floodway atau sodetan Cisangkuy. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga memulai pembangunan satu kolam retensi dan lima polder untuk mengurangi dampak banjir.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar Dani Ramdan mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, tempat pengungsian hanya diisi maksimal 50 persen dari kapasitas. Selain itu, juga disediakan fasilitas cuci tangan dan masker untuk pengungsi.
“Bagi pengungsi yang memiliki gejala demam dan sesak nafas harus dipisahkan dan dites usap,” ujarnya.
Banjir di tengah pandemi Covid-19 yang belum teratasi menjadi kado pahit bagi warga Bandung di akhir 2020 lalu. Mereka beradaptasi agar potensi penularan virus korona baru bisa dikurangi. Sembari memupuk harapan rencana vaksinasi di tahun baru 2021 ini akan membuat pandemi lebih terkendali.