Sakit Hati terhadap Korona Bikin Pria Asal Bitung Berurusan dengan Polisi
Ponsel kita boleh menjadi ”telescreen” dan warganet bisa menjelma ”big brother”. Namun, bolehkah polisi menjadi ”thought police”?
Glen (28) terkesiap dan terjaga dari tidur siangnya. Detak jantungnya mengentak keras ketika ia melihat sejumlah pria berbadan tegap menunggu di muka rumahnya, salah satunya adalah Ajun Komisaris Frelly Sumampouw. Saat itu juga Glen sadar, pria-pria itu datang bukan untuk bertamu, tetapi untuk membawanya pergi.
Sejurus kemudian, pria bernama lengkap Michael Glen Timotius itu sudah duduk di ruang Satuan Reserse Kriminal Markas Polres Bitung, Sulawesi Utara, Senin (21/12/2020). Jaraknya cuma setengah kilometer dari rumahnya di Kecamatan Girian, Bitung. Ia tidak banyak bertanya sebagai bentuk penghormatannya kepada polisi yang memperlakukannya dengan baik.
”Apa ngana pe maksud baposting bagini?” (Apa maksudmu mengunggah postingan seperti ini?) kata seorang polisi sambil menyodorkan sebuah ponsel pintar yang memampang laman profil Facebook Glen sendiri.
Dengan huruf kapital yang bersanding emoticon tertawa hingga berair mata, Glen secara satiris menyuarakan pendapat getirnya soal larangan perayaan jelang Natal. Ia mengontradiksikannya dengan euforia Pilkada 2020 yang ia ikuti pula sebagai pemilih. Status itu ia unggah pada hari yang sama, pukul 00.21 Wita.
”Corona cuma takut (muncul) waktu pilkada, eh. Kalau Natal, tidak takut ini Corona. Konvoi kampanye boleh, konvoi malam Natal tidak boleh. Pesta kemenangan boleh, pesta kembang api tidak boleh. Blusukan bersama berapa puluh sampai ratus orang boleh, tetapi anjangsana Natal tidak boleh. Sungguh kejam kau Corona. Tertawa campur menangis,” tulisnya dalam Melayu Manado, tak lupa menyisipkan sebuah kata makian di pengujung.
Sebuah foto juga tercantum bersama postingan itu, yakni poster Operasi Lilin Sam Ratulangi 2020. Poster itu memuat foto Kapolda Sulut Inspektur Jenderal RZ Panca Putra Simanjuntak yang mengenakan baju dinas lapangan dengan tangan kanan mengepal. Di sampingnya, tertulis larangan warga berkonvoi, pesta kembang api, ataupun mengadakan jamuan.
Glen mengunggah poster yang telah disunting. Wajah Panca ditutupi emoticon, nama lengkap Panca terselubung stiker ”Di Rumah Aja”, sedangkan logo Polda Sulut dan Polri ditumpuk stiker bertuliskan ”Amazing”. Kendati begitu, foto badan Panca yang berseragam coklat itu tetap tampak, bahkan bordir nama di seragamnya masih terbaca.
Perbuatan tersebut mendorong polisi menodong juru masak itu dengan Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia dituduh mendiskreditkan dan mencemarkan nama baik Panca, Kapolda Sulut, dan kepolisian.
Dalam keadaan tersudut, Glen mengaku salah. ”Kesalahan saya adalah mengedit (poster) imbauan kapolda dengan emoticon. Dalam caption saya, juga ada kata makian,” ujarnya ketika dihubungi lewat pesan teks, Rabu (30/12/2020).
Sebagai bukti otentik atas rasa bersalahnya, Kepala Unit 1 Satreskrim Polres Bitung Inspektur Dua Revianto Anriz memintanya mengucapkan permohonan maaf dan pernyataan tak akan mengulangi perbuatannya lagi di depan rekaman kamera. Video itu kemudian disimpan sebagai arsip Polres Bitung.
Baca juga:Kasus Covid-19 Melonjak, Dampak Pilkada 2020 di Sulut Diteliti
Kemudian mengalirlah wejangan untuk Glen. ”Kata mereka, stop tambah-tambah urusan polisi. Sebaliknya, ikuti dan dukung aturan pemerintah serta TNI-Polri dalam menegakkan hukum semasa pandemi Covid-19,” kata Glen menirukan nasihat polisi.
Glen menekankan dirinya tidak ditahan, hanya diamankan. Ia diperbolehkan pulang dengan syarat wajib lapor tiap Senin dan Jumat. Napasnya pun lega. Yang terpenting baginya saat itu adalah boleh merayakan Natal dan Tahun Baru bersama istri, anak perempuan, dan keluarganya.
Ajun Komisaris Frelly Sumampouw, Kepala Satreskrim Polres Bitung, atas asas kemanfaatan hukum, tuduhan polisi terhadap Glen tidak dilanjutkan setelah ia mengakui dendamnya yang belum terbalaskan terhadap virus korona. Glen terdepak dari restoran tempatnya bekerja pada Maret 2020 ketika Covid-19 mulai merambah Sulut. Ia masih menganggur hingga sekarang karena kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Menurut Frelly, kepolisian juga harus bisa berempati. Ia pun dapat dimaafkan meski yang dilakukannya dinilai sudah tergolong kriminal. ”Orang jadi mempertanyakan, apa maksud dari konten yang dia buat. Apa mau menjatuhkan orang atau kelompok tertentu? Kan, kapolda pakai baju dinas, tetapi seragam, nama, dan pangkatnya tetap kelihatan. Ada logo polisi juga. Harus hati-hati, itu bisa dijerat UU ITE,” kata Frelly.
Tuduhan menyebarkan hoaks juga bisa dijatuhkan kepada Glen. Sebab, kata Frelly, tidak ada konvoi selama kampanye ataupun setelah pengumuman kemenangan calon saat pilkada. Tidak ada pula pengumpulan orang banyak di lapangan. ”Saya yakin tidak ada, sudah dilarang dan ada tim yang akan membubarkan. Jangan bikin orang berpikir itu dibolehkan saat pilkada,” katanya.
Seandainya Glen punya maksud lain, yaitu menghina Panca sebagai Kapolda Sulut, Frelly menyatakan, ”Kami akan sikat. Tetapi dia sudah minta maaf, jadi kami harus berempati. Ini juga supaya masyarakat tahu, jangan menjatuhkan harga diri atau wibawa orang. Jangan bikin postingan yang bikin orang tersinggung dan menyerukan kebencian,” tutur Frelly.
Kecewa
Kendati begitu, tetap ada kecewa yang mengendap di hati Glen. ”Kok bisa saya sampai dijemput? Padahal, status saya itu hanya membandingkan keadaan waktu pilkada dan imbauan dari polisi menjelang Natal dan Tahun Baru,” ujarnya.
Selepas pemecatannya, kedongkolan Glen makin menjadi ketika pemerintah melarang perayaan Natal dan Tahun Baru demi memutus mata rantai Covid-19. Padahal, sejak September hingga Desember, jajaran pemerintah provinsi dan kota/kabupaten terang-terangan meminta masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara, Rabu (9/12/2020).
Ketika itu, pemerintah menjamin keamanan dari Covid-19 karena protokol kesehatan diterapkan secara ketat. Kepolisian di Sulut bahkan menurunkan sekitar 5.200 personelnya di 15 kota/kabupaten demi menertibkan kerumunan. Alhasil, 1,43 juta warga Sulut ke luar rumah menuju TPS untuk memilih.
Satuan Tugas Covid-19 Sulut pun menduga Pilkada 2020 memicu peningkatan signifikan jumlah kasus per bulan. Selama September, ketika tahapan Pilkada 2020 dimulai, hanya ada 639 kasus Covid-19 di Sulut. Namun, kasus terus meningkat menjadi 920 kasus pada Oktober dan 1.497 kasus pada November.
Lalu, selama 18 hari pertama Desember, sudah ada 1.712 kasus Covid-19. Kini Pemprov Sulut tak henti menggemakan masyarakat harus membatasi keluar rumah. Rumah sakit rujukan dan penunjang disebut sedang kesulitan karena kapasitas tempat tidur di ruang isolasi tersisa hanya 53 persen, sedangkan rumah sakit pelengkap hanya 28 persen.
Panca, Kapolda Sulut, pun menyatakan tidak akan memberi ruang sedikit pun pada perayaan Tahun Baru di luar rumah biarpun hanya di lorong-lorong permukiman. ”Apalagi, 8 dari 15 kabupaten/kota di Sulut sudah masuk zona merah. Ini harus kita sikapi dengan prihatin,” kata Panca, Selasa (29/12/2020).
Baca juga:Sedang Isolasi Mandiri, Andrei Angouw Diumumkan Menang Pilkada Manado
Bagi Glen, keadaan seolah berubah 180 derajat. Pantauan Kompas, pendukung pasangan calon wali kota Bitung dari PDI Perjuangan, Maurits Mantiri-Hengky Honandar, berkumpul dan berswafoto ria di pos pemenangan di sebuah taman. Lagu-lagu disko tanah diputar keras-keras.
Hal yang sama tampak di Manado. Selama kampanye, pendukung calon dibiarkan berkumpul di lorong-lorong, nyaris tanpa jarak satu dengan lainnya. Di TPS, polisi tidak membubarkan puluhan warga yang menonton penghitungan suara dari luar TPS. Mereka tak diingatkan meski maskernya dipelorotkan ke dagu.
Konvoi sepeda motor, meski sporadis, juga tetap terdengar di Manado setelah hitung cepat menunjukkan kemenangan pasangan gubernur dan wakil gubernur petahana Olly Dondokambey-Steven Kandouw. Dentum musik disko tanah juga menggelegar dari pos-pos pemenangan.
Glen kecewa karena kebebasannya berpendapat justru berujung malu. ”Tetapi, sudahlah, itu wewenang pihak berwenang. Kalau ada yang bersalah, mereka boleh meminta keterangan,” katanya.
Kompas mencatat, selama 2017-2019, tak kurang dari 6.895 orang sudah diselidiki Polri karena dugaan pelanggaran UU ITE. Sebanyak 38 persen di antaranya terkait penghinaan terhadap tokoh, penguasa, dan lembaga publik.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Muladi mengatakan, beberapa aspek UU ITE masih belum menjamin kepastian hukum. Masih ada multitafsir sehingga mengganggu kebebasan berekspresi di era demokrasi melalui Facebook, Twitter, Youtube, hingga aplikasi obrolan (Kompas, 7 Januari 2020).
Ponsel Glen tak ubahnya sebuah telescreen dalam novel George Orwell, 1984, yang terbit pada 1949. Bedanya, alih-alih big brother yang mengawasinya tanpa persetujuan, Glen dengan sukarela membiarkan warganet membaca apa yang ia pikirkan dan rasakan. Namun, tepatkah jika Polri menjadi thought police, menangkap dan mereedukasi mereka yang punya pikiran berbeda?