Kekayaan laut Provinsi Maluku belum dimanfaatkan optimal bagi kesejahteraan warganya, yang hampir 18 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Jelang ganti tahun, warga justru disuguhi "drama" tidak mendidik.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Kantor Gubernur Maluku pada Senin (28/12/2020).
Pandemi Covid-19 memporak-porandakan dunia, termasuk Maluku. Sejak kasus pertama di Maluku pada 26 Maret 2020, hingga 28 Desember 2020 terdapat 5.683 warga terinfeksi virus SARS-CoV-2, yang 77 di antaranya meninggal. Virus itu telah menyebar di semua kabupaten/kota di Maluku.
Ruang gerak masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pun dibatasi, demi mencegah penularan virus. Pemutusan hubungan kerja mendera karena bisnis macet. Harga jual barang melonjak dan kian menggila menjelang Natal dan Tahun Baru. Harga beras medium yang biasanya Rp 12.000 hingga Rp 13.000, kini menembus Rp 14.000 per kilogram.
Harga komoditas petani anjlok ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Harga cengkeh yang sempat mencapai Rp 125.000 per kg, kini turun menyentuh angka Rp 50.000 per kg. Petani terjepit. "Rasa-rasanya tidak mau panen cengkeh lagi. Rugi jauh. Ini tahun terberat," ujar Aleks Sitania (57), warga Pulau Haruku.
Kelesuhan ekonomi tampak dalam kemeriahan Natal di Ambon, kota berpenduduk sekitar 300.000 yang mayoritas warganya umat Kristiani. Pesta kembang api hanya terjadi di beberapa titik. Tahun-tahun sebelumnya, pesta kembang api berlangsung hampir di seluruh penjuru kota. Setiap malam Natal, bau belerang tercium dimana-mana. Menyengat hidung.
Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Maluku mencatat, pertumbuhan ekonomi Maluku pada triwulan III tahun 2020 terkontraksi sebesar 2,38 persen atau pertumbuhan minus. Kontraksi pertumbuhan ekonomi terjadi pada lapangan usaha di antaranya pertanian, perikanan, perdagangan dan transportasi. Sebelum pandemi, pertumbuhan ekonomi Maluku di atas 5 persen.
Namun, ada saja kebijakan pemerintah daerah. Di tengah kondisi masyarakat yang didera pandemi, Pemerintah Provinsi Maluku mengalokasikan dana Rp 5,1 miliar dari APBD untuk renovasi rumah jabatan sementara gubernur Maluku. Rumah jabatan dimaksud adalah rumah pribadi Gubernur Maluku Murad Ismail.
Anggaran proyek itu sudah selesai ditenderkan, yang diumumkan pada laman lpsemalukuprov.go.id. Laman tersebut sumber resmi pemerintah untuk mengumumkan proyek. Dalam laman itu, satuan kerja yang menangani adalah Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Maluku dengan kontraktor pemenang PT Bhineka Konstruksi.
Proyek tersebut mendapat penolakan keras masyarakat. Pemprov Maluku dan gubernur menjadi sorotan keras di media arus utama dan media sosial. Penggunaan anggaran negara bernilai fantastis untuk rehabilitasi rumah pribadi tak bisa dibenarkan. Rumah pribadi bukan aset negara. Kebijakan itu dianggap melanggar aturan sekaligus menabrak nurani masyarakat yang tergencet pandemi.
Tangkapan layar hasil lelang rehabilitasi rumah jabatan sementara gubernur maluku yang tak lain adalah rumah pribadi Gubernur Maluku Murad Ismail. Tangkapan layar diambil dari laman lpsemalukuprov.go.id pada Jumat (4/12/2020).Baca juga: Rp 5,1 Miliar APBD untuk Rehabilitasi Rumah Pribadi Gubernur Maluku
Akhirnya, Senin (7/12/2020) petang, Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Kasrul Serang menyampaikan kepada publik bahwa pihaknya memutuskan membatalkan proyek itu. Pemerintah tidak memaksakan proyek tersebut. Penolakan publik jadi salah satu pertimbangan. Reaksi masyarakat pun mereda. Perbincangan terkait proyek perlahan hilang dari ruang publik.
Makian gubernur
Proyek rehabilitasi rumah pribadi itu kembali mencuat ke publik setelah diungkap Murad sendiri di Kantor Gubernur Maluku, Senin (21/12/2020) siang. Murad tidak terima dengan kritikan media atas proyek tersebut. Ia semakin tak suka, setelah ada temannya di Amerika Serikat ikut membaca artikel yang ditulis media terkait proyek itu.
Dalam sesi wawancara itu, Murad marah dan hilang kontrol. Ia mengeluarkan kata-kata makian yang menyerang pihak-pihak di balik beredarnya informasi itu, termasuk media. Makian itu melecehkan kaum perempuan, terutama para ibu. Makian Murad terekam. Media pun memberitakan sikap tidak terpuji itu. Rekaman berisi makian Murad tersebar lewat grup aplikasi percakapan dan media sosial.
Publik yang baru saja menentang proyek rehabilitasi rumah pribadi kembali bereaksi terhadap sikap tidak terpuji kepala daerah itu. Murad kembali menjadi bulan-bulanan di media sosial. "Harga diri kami sebagai wanita tercabik-cabik oleh seorang pejabat yang tidak menjaga mulutnya. Dia tidak pantas menjadi pejabat publik," ujar Geva Maturan (40), ibu rumah tangga di Ambon.
Kuatnya reaksi dan tekanan publik mendorong Partai Golkar memolisikan Murad. Ia diadukan ke Polda Maluku, Kamis (24/12) petang. Ridwan Rahman Marasabessy, salah satu wakil ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Maluku mengadukan Murad yang dianggap melanggar tiga pasal pidana.
Sebagaimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal dimaksud terdiri atas Pasal 281 dengan delik melanggar kesusilaan dengan ancaman hukuman dua tahun delapan bulan penjara. Kemudian Pasal 310, yakni menyerang kehormaran perempuan dengan ancaman 9 bulan penjara. Selanjutnya, Pasal 315 terkait penghinaan di muka umum dengan ancaman 4 bulan penjara.
"Anak-anak kecil di sekolah dasar saja dilarang memaki, kok ini seorang gubernur. Mau jadi apa martabat adat kita sebagai orang Maluku. Kita ini Maluku, masyarakat adat," kata Ridwan seraya melempar pertanyaan balik.
Publik pun mendesak Murad agar menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Namun, hingga kini tidak ada pernyataan resmi, baik oleh Murad selaku pribadi maupun oleh Biro Protokoler dan Humas Provinsi Maluku. Publik semakin kecewa dengan sikap diam tersebut.
Yang terjadi justru muncul gerakan membela Murad yang dilakukan komunitas dari paguyuban Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Leihitu merupakan daerah asal Murad. Pada Senin (28/12), ratusan orang yang mengatasnamakan masyarakat Leihitu melaporkan Ridwan ke Polda Maluku dengan tuduhan pencemaran nama baik. Mereka juga meminta polisi memeriksa wartawan yang menyebarkan informasi itu.
Gerakan tersebut menjadi kontraproduktif. Sebab, berpeluang menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat. Masyarakat yang sedang didera pandemi bukan malah dihibur dengan program-program yang produktif dan solutif, namun disuguhi perilaku elit yang tidak terpuji. Mereka semakin kecewa lantaran tak ada kata maaf hingga menjelang tahun 2020.
Senja di Pelabuhan Perikanan Nusantara Bastiong, Ternate, Maluku Utara, Selasa (13/3/2020). Provinsi Maluku Utara memiliki luas lautan sekitar 100.731,83 kilometer persegi atau 69 persen dari luas wilayah. Namun, potensi sektor kelautan dan perikanannya belum digarap optimal.
Situasi-situasi ini sungguh ironi bagi Maluku. Badan Pusat Statistik mencatat, Maret 2020, sebanyak 318.180 jiwa di Maluku hidup di bawah garis kemiskinan atau setara dengan 17,44 persen dari total jumlah penduduk 1,8 juta jiwa. Maluku berada pada urutan empat provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Dari total keseluruhan penduduk miskin di Maluku, sebagian besar dari mereka tinggal di desa, yakni 268.300 orang atau 84 persen, sedangkan di kota sebanyak 49,890 atau 16 persen. Penduduk miskin di desa dominasi nelayan dan petani. Pengeluaran per kapita per bulan untuk setiap penduduk miskin di desa kurang dari garis batas kemiskinan, yakni Rp 552.090.
Maluku, jangan biarkan sumber daya melimpah terbaikan, tak terurus secara baik.