Anak 12 Tahun Jadi Korban Kekerasan Seksual Tiga Pemuda di Konawe
Seorang anak di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menjadi korban kekerasan seksual oleh tiga pemuda. Korban dicabuli dan diperkosa, lalu diancam dibunuh jika melaporkan kejadian yang dialami.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang anak di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menjadi korban kekerasan seksual oleh tiga pemuda. Korban dicabuli dan diperkosa, lalu diancam dibunuh jika melaporkan kejadian yang dialami. Perlindungan terhadap anak perlu diprioritaskan di tengah tingginya kasus kekerasan di Sultra.
Kekerasan seksual ini menimpa seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Tiga pelaku telah ditangkap aparat kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka. Kepala Urusan Bina Operasi Polres Konawe Inspektur Dua La Ode Anti, Rabu (30/12/2020), menjabarkan, peristiwa yang menimpa korban ini terjadi pada Sabtu (26/12) lalu.
Korban datang ke sebuah acara yang diadakan warga di dekat kediamannya di Kecamatan Puriala. Di situ, korban bertemu dengan ketiga pelaku, yaitu Ramlan, Herman, dan Epin. ”Pelaku lalu mengajak korban untuk jalan-jalan mengendarai sepeda motor. Korban mengikuti ajakan tersebut karena tidak mengetahui maksud para pelaku,” kata Anti.
Di tengah perjalanan, ketiga pelaku dengan dua sepeda motor ini berbelok ke sebuah gang dan berhenti di dekat sebuah bangunan. Dua pelaku, yaitu Erman dan Epin, lalu melecehkan korban. Sementara pelaku Ramlan memerkosa korban di bangunan tersebut.
Menurut Anti, korban sempat berusaha melarikan diri. Akan tetapi, para pelaku mengejar dan membekap korban. Setelah melakukan perbuatan bejatnya, pelaku lalu mengancam akan membunuh korban jika melaporkan hal ini ke orangtua.
”Setelah pulang, korban melaporkan hal ini ke ibunya. Pada Minggu (27/12) malam, ibu korban datang melapor ke Polres Konawe. Tim lalu bergerak menangkap pelaku, melakukan olah tempat kejadian perkara, hingga para pelaku ditetapkan tersangka,” ujar Anti.
Para pelaku dikenakan Pasal 82 Ayat 1 Undang-undang Nomor 17/2016 tentang Perlindungan Anak. Pelaku terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di Konawe. Sebelumnya, di Konawe Utara, seorang ayah memerkosa anak tirinya selama satu tahun lebih. Kasus ini terungkap pekan lalu saat ibu korban memergoki pelaku memeluk korban. Pelaku telah ditangkap dan dijebloskan ke tahanan.
Di Kolaka Utara, pekan lalu, seorang pria berumur 54 tahun mencabuli lima anak yang rata-rata berusia kurang dari tujuh tahun. Di Konawe Selatan, angka kasus kekerasan seksual selama 2020 ini hampir dua kali lipat dari sebelumnya. Di Baubau, kasus paman mencabuli dan memerkosa dua keponakannya diungkap kepolisian dua hari lalu.
Direktur Yayasan Lambu Ina Yustina Fendrita, lembaga yang aktif dalam pendampingan kasus kekerasan seksual di wilayah kepulauan Sultra, menyampaikan, perlindungan terhadap anak dan perempuan harus terus digaungkan. Tidak hanya kepada orang terdekat, tetapi juga dari lingkungan pendidikan, tempat tinggal, hingga masyarakat secara luas.
Perlindungan ini penting karena berkali-kali kejadian seperti ini terjadi, masyarakat justru turut menyalahkan korban. Stigmatisasi terhadap korban terus berlanjut, baik itu di keluarga, tempat tinggal, hingga institusi pendidikan.
”Perlindungan terhadap korban secara luas itu harus terus disebarkan ke masyarakat. Pantauan kami, dari sembilan laku kekerasan seksual, ada empat yang paling sering terjadi di Sultra, yaitu pemerkosaan, pelecehan, perbudakan, hingga eksploitasi. Kami berharap agar RUU (rancangan undang-undang) Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan pemerintah,” ucapnya.
Laxmi dari Pusat Studi Gender dan Pemberdayaan Perempuan Universitas Halu Oleo menjabarkan, kasus kekerasan seksual terus memperlihatkan gejala yang meningkat. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor, baik dari sisi budaya maupun struktur sosial.
Di samping itu, tutur Laxmi, saat perempuan menjadi korban, masyarakat sekitar cenderung turut menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Padahal, kekerasan seksual terjadi karena kesalahan pelaku, dan tidak ada hubungannya dengan korban.
Akhirnya, korban mengalami kekerasan berulang di masyarakat. Padahal, yang paling penting adalah mendampingi untuk memulihkan mental dan merawat kesehatan diri korban.
”Pelaku itu bukan hanya dari kalangan masyarakat bawah, tetapi siapa saja bisa menjadi pelaku. Pemahaman semua orang harus terus ditingkatkan agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari,” kata Laxmi.