Parade Seni Budaya Surabaya, Jawa Timur, kurun 19 September-20 Desember 2020 berlangsung dalam masa wabah Covid-19 sehingga dipentaskan secara virtual untuk menghibur masyarakat.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA, AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
Serangan wabah Covid-19 (Coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) memaksa umat manusia membatasi aktivitas, termasuk dalam berkesenian untuk mencegah penularan.
Di Surabaya, Jawa Timur, pagebluk atau wabah menyerang sejak pertengahan Maret 2020. Wabah memaksa pentas rutin kesenian berhenti mendadak. Seniman dan budayawan cemas karena pertunjukan adalah penghidupan.
Sebulan tak mendapat apresiasi untuk penghidupan mungkin masih bisa ditanggung. Namun, bulan-bulan berikutnya, jika tidak berkegiatan, seniman dan budayawan terancam tak bisa hidup. Padahal, pagebluk tetap memperlihatkan seringai buruk alias belum juga mereda.
Pemerintah Kota Surabaya tak ingin warga, terutama seniman dan budayawan, kehilangan penghidupan. Untuk itu, diadakan Parade Seni Budaya Surabaya. Semua seniman budayawan yang terlibat mendapat apresiasi atau honor dengan tujuan penghidupan mereka terselamatkan. Gairah berkesenian terpelihara.
Parade pada prinsipnya menggantikan pentas setiap Sabtu atau Minggu di sejumlah tempat sebelum wabah menyerang, antara lain Balai Pemuda, Taman Budaya Jawa Timur, dan Taman Hiburan Rakyat Surabaya.
Parade Seni Budaya Surabaya berlangsung setiap Jumat, Sabtu, dan atau Minggu dari Balai Pemuda, Tugu Pahlawan, atau Taman Hiburan Pantai Kenjeran. Pentas disiarkan melalui akun media sosial Instagram dan Youtube, yakni @surabayasparkling, @sapawargasby dan Sapawarga Kota Surabaya, @banggasurabaya dan Bangga Surabaya, dan Disbudpar Kota Surabaya.
Siaran sebagai konsekuensi wabah yang memaksa pementasan tak bisa dihadiri oleh publik. Siaran yang bisa dinikmati cuma-cuma diharapkan sebagai hiburan agar warga tetap di rumah. Jika tiada hiburan, amat mungkin mereka keluar atau jalan-jalan, tak disiplin protokol kesehatan, menimbulkan kerumunan, dan tertular Covid-19.
Bertahan
Pementasan perdana parade pada Sabtu (19/9/2020) yang bertema ”Surabaya Merah Putih”. Kegiatan merupakan kolaborasi ludruk, karawitan, teater, musik, dan tari.
Pementasan terakhir berlangsung pada Minggu (20/12/2020) yang bertema ”Untukmu, Ibu Pertiwiku”. Di sini, parade mementaskan kolaborasi seni ludruk, jaranan, wayang orang, teater, tari, musik, dan puisi.
Menteri Sosial Tri Rismaharini saat masih menjabat Wali Kota Surabaya pernah mengatakan sangat berharap Parade Seni Budaya Surabaya akan berlanjut pada 2021. Tahun depan, situasi wabah Covid-19 belum dapat dipastikan apakah tetap buruk atau bisa mereda dan terkendali.
Namun, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Antiek Sugiharti, Parade Seni Budaya direncanakan berlanjut tahun depan setelah pelantikan wali kota baru.
Saat ini, tampuk pemerintahan dijalankan Pelaksana Tugas Wali Kota Surabaya Wishnu Sakti Buana. Risma, sejak Rabu (23/12/2020) dipercaya Presiden Joko Widodo menjabat Menteri Sosial. Masa bakti Wishnu sampai dengan 17 Februari 2021. Dengan demikian, Eri Cahyadi, wali kota terpilih, dan Armuji, wakil wali kota terpilih, dilantik setelahnya.
Parade telah diusulkan untuk kembali diadakan tahun depan.
Pelipur
Menurut peludruk senior Jatim, Kartolo, Parade Seni Budaya Surabaya amat bagus. Sisi yang utama, melestarikan seni tradisi sebagai bagian dari kehidupan kebudayaan masyarakat. Selain itu, menjamin keberlangsungan hidup seniman dan budayawan.
Sisi lain yang juga penting, menghadirkan hiburan atau keceriaan bagi publik di tengah situasi yang sulit akibat ancaman sakit Covid-19. Di masa yang penuh tantangan mencekik, seni diharapkan menjadi pemantik semangat bagi pelaku dan penikmat.
Cak Kartolo yang terkenal dengan parikan atau pantun mengibatkan parade sebagai oase atau penyejuk dahaga. ”Lha, begitu pandemi enggak bisa ke mana-mana. Acara sepi, dapur ya otomatis enggak hidup,” ujar budayawan kelahiran Pasuruan 75 tahun lalu itu.
Dalam konteks parikan ludruk, parade adalah penyelamat hidup seniman budayawan.
Gak ono sing nanggap yo gak oleh bayaran.
Pernyataan dalam bahasa Suroboyoan itu jika diterjemahkan menjadi, jika tiada yang menanggapi, jelas tiada bayaran (untuk hidup).
Pesan
Budayawan Meimura mengatakan, dalam situasi wabah, pementasan secara virtual menjadi tantangan bagi seniman untuk tetap memberikan suguhan terbaik. Di sisi lain, pementasan virtual mengandung pesan agar publik bisa tetap terhibur di rumah. Publik patut disiplin dengan protokol kesehatan agar terhindar dari penularan virus korona.
Menurut laman resmi https://covid19.go.id/, wabah telah menjangkiti lebih dari 719.000 jiwa. Sebanyak 21.452 jiwa meninggal akibat Covid-19. Angka mustahil turun dan entah akan berhenti di titik mana.
Meimura melihat jalan seni dan gairah berkesenian juga bisa ditempuh untuk mendorong publik peduli. Cara yang sederhana, selama wabah ini Meimura telah berkeliling lebih dari 25 pasar di Surabaya untuk membagikan masker sebagai bagian dari kampanye protokol kesehatan.
Parade juga bukan sekadar panggung bagi seniman dan budayawan memelihara dan memperlihatkan gairah hidup. Pementasan juga merupakan arena kolaborasi pemangku kepentingan atau pejabat publik. Dengan tampil dalam parade, mereka dapat meyakini bahwa pesan pencegahan Covid-19 akan terus berkumandang.
Semoga di tahun depan, parade benar-benar kembali ada. Warga, termasuk seniman budayawan, tetap gembira meski pandemi mungkin masih belum akan sirna.