Angka Pelanggaran Personel Polda Kaltim Meningkat, Masyarakat Minta Proses Hukum Ditegakkan
Jumlah pelanggaran yang dilakukan personel Polda Kaltim secara umum meningkat pada tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Polri diharapkan memproses hukum anggotanya jika terbukti melakukan tindak pidana.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Jumlah pelanggaran yang dilakukan personel Kepolisian Daerah Kalimantan Timur secara umum meningkat pada tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Polri diharapkan memproses hukum anggotanya jika terbukti melakukan tindak pidana, bukan hanya memberi sanksi profesi.
Polda Kaltim mencatat, selama tahun 2020, terdapat 198 pelanggaran yang dilakukan personel kepolisian di wilayah hukum Kalimantan Timur. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2019 dengan total pelanggaran 163 kasus. Rinciannya, jumlah pelanggaran etik stagnan di angka 22 kasus pada 2019 dan 2020. Sementara pelanggaran pidana menurun dari 8 kasus pada 2019 menjadi 7 kasus di 2020.
Pelanggaran disiplin mengalami peningkatan paling banyak, yakni dari 133 kasus di 2019 menjadi 169 kasus di 2020. Dalam siaran pers akhir tahun 2020, Kapolda Kaltim Inspektur Jenderal Herry Rudolf Nahak menyampaikan, pihaknya sudah memberhentikan secara tidak hormat 2 perwira, 19 bintara, dan 1 tamtama karena berbagai kasus dan pelanggaran selama 2020.
”Kalau anggota (polisi) melakukan pelanggaran, kita tidak akan segan memberi tindakan sesuai pelanggaran. Laporkan saja anggota Polri yang melakukan kesalahan untuk dilakukan peringatan dan tindakan,” ujar Herry di Balikpapan, Selasa (29/12/2020).
Lembaga Bantuan Hukum Samarinda mencatat, tindak kekerasan anggota polisi banyak ditemukan saat melakukan pengamanan gelombang unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja. LBH Samarinda mencatat, ada 104 kasus dugaan pemukulan oleh anggota polisi dan penangkapan demonstran yang menolak UU Cipta Kerja di dua kota besar Kaltim, yakni Balikpapan dan Samarinda.
Bernard mengatakan, 29 demonstran mengalami luka-luka. Sementara sebanyak dua orang melanjutkan proses hukum dan mendapat pendampingan dari LBH Samarinda. Sisanya, sempat ditahan di kantor polisi dan kini sudah bebas.
Dugaan kekerasan oleh anggota polisi juga terjadi kepada jurnalis. Di Samarinda, terdapat lima pewarta di Samarinda yang mendapat intimidasi dan kekerasan saat meliput demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Mereka sudah melaporkan kasus itu ke Polres Samarinda dan proses hukum masih berlanjut.
”Harapan kami, polisi kembali ke khitahnya, yakni alat negara untuk menegakkan hukum yang juga mengayomi masyarakat. Dugaan pelanggaran tindak pidana yang dilakukan anggota polisi, diproses sesuai hukum yang berlaku. Jika melakukan tindak pidana, tidak hanya (diberi) sanksi profesi, tetapi juga memproses dugaan tindak pidananya,” ujar Advokat Publik LBH Samarinda Bernard Marbun, dihubungi dari Balikpapan.
Di Balikpapan, Kompas mencatat, terdapat satu kasus yang menjadi perhatian publik dalam rangkaian gelombang penolakan UU Cipta Kerja. Seorang remaja, M Alvin Nugraha (18), menjadi korban pemukulan yang diduga dilakukan anggota polisi pada medio Oktober 2020. Pemukulan itu membuat kepala bagian kanannya bocor dan mendapat tiga jahitan.
Itu terjadi beberapa saat setelah Alvin mengunggah beberapa komentar di akun instagram miliknya mengenai polisi yang menembakkan gas air mata ke arah demonstran. Alvin juga dilaporkan dengan dugaan penghinaan dan atau pencemaran nama baik instansi polisi. Alvin sudah menjalani pemeriksaan dan melaporkan penganiayaan yang dialami. Proses hukumnya masih berjalan.
Sebelumnya, dalam kasus Alvin, Sekretaris Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI Irjen Pol (Purn) Benny Jozua Mamoto mengatakan akan mengawasi kasus itu. Ia berharap penanganan kasus berjalan baik dan tidak berat sebelah.
”Jangan (sampai) nanti gara-gara anak ini dilaporkan pencemaran nama baik, terus penanganannya tak berimbang,” ujar Benny.
Dihubungi terpisah, Muhammad Andi Rezaldy dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan, pola kekerasan yang kerap dilakukan anggota polisi terjadi saat penangkapan. Ia menjelaskan, dalam konteks hukum, penangkapan yang dilakukan polisi seharusnya didahului dengan menunjukkan surat kepada orang yang akan ditangkap dan keluarga orang yang ditangkap.
Menurut dia, kejadian serupa masih dijumpai hingga saat ini karena penanganan dugaan pelanggaran anggota polisi tidak sepenuhnya tuntas dilakukan.
”Sering kali kepolisian melakukan mekanisme etik. Seharusnya, anggota kepolisian yang melakukan kekerasan diproses secara hukum. Idealnya adalah pidana karena kekerasan adalah tindakan pidana,” ujar Andi.
Pembinaan
Herry mengatakan, pada 2020 ini aspek pembinaan yang dilakukan untuk menangani pelanggaran anggota polisi di Polda Kaltim secara umum menurun. Ia menilai, itu terjadi karena sistem pembinaan personel ditingkatkan, terutama di bidang perekrutan anggota Polri.
Ia meminta maaf kepada masyarakat jika ada anggota kepolisian di Kaltim yang memberikan perlakuan buruk kepada warga saat bertugas. Warga yang mengalami tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian diharapkan melaporkan kasus tersebut dengan bukti yang kuat. Pembinaan anggota kepolisian akan terus diperbaiki, dari mulai penerimaan, pembinaan karier, dan pengawasan.
”Tidak ada toleransi kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran,” ucap Herry.