Seandainya Boleh ke Gereja di Langowan biar Cuma Satu Jam…
Sejak Johann Gottlieb Schwarz tiba di Langowan, Minahasa, pada 1831, Natal menjadi perayaan suci nan meriah. Namun, tahun ini, umat belajar menghayati Natal dalam sepi dan kesederhanaan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·6 menit baca
Anak-anak bermain papan luncur di taman Cita Waya, Desa Amongena II, Langowan Timur, Minahasa, Sulawesi Utara, pada Kamis (24/12/2020). Suasana taman itu jelang Natal 2020 tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Sejak Johann Gottlieb Schwarz tiba di Langowan, Minahasa, pada 1831, Natal menjadi perayaan suci nan meriah. Kelahiran Yesus Kristus dirayakan dengan bahagia dalam ibadah syukur dan pesta di setiap rumah. Namun, tahun ini, umat belajar menghayati Natal dalam sepi dan kesederhanaan.
Kayrosh Memah (11) menggerutu saat ditanya soal Natal. Siswa kelas 4 sekolah dasar itu merasa sudah banyak berkorban karena lebih dari satu semester tidak bisa masuk sekolah dan tak bertemu dengan teman-temannya. Kemeriahan perayaan ibadah Natal di gereja harus direnggut pula dari angannya.
”Masak (kami) tidak boleh masuk gereja buat ibadah Natal? Suasananya jadi enggak terasa. Biar cuma satu jam sebenarnya enggak apa-apa, yang penting sudah masuk gereja,” kata Kayrosh, Kamis (24/12/2020), saat sedang rehat bermain papan luncur (skateboard) bersama teman-temannya di Taman Cita Waya, Desa Amongena II, Langowan Timur, Minahasa, Sulawesi Utara.
Seperti umat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) lainnya, Kayrosh dan keluarga akan beribadah Natal di rumah saja dengan mendengarkan siaran megafon gereja atau siaran langsung dalam jaringan (daring). Pola itu sudah berlaku 10 bulan terakhir gara-gara pembatasan sosial terkait pandemi Covid-19 meski gereja mulai dibuka dengan kapasitas terbatas.
Khusus perayaan Natal kali ini, Pemprov Sulut dan Sinode GMIM sepakat meminta 1.003 jemaat GMIM tidak merayakannya di gereja sama sekali. Dalam sebuah surat edaran, Ketua Sinode GMIM Pendeta Hein Arina meminta umat turut bertanggung jawab memutus mata rantai penyebaran virus korona.
Hingga Kamis (24/12/2020) malam, kasus Covid-19 di Sulut sudah mencapai 9.237 secara kumulatif. Sebanyak 6.587 orang sudah sembuh, sedangkan 294 lainnya meninggal. Kasus aktif sebanyak 2.356 orang dan 366 orang di antaranya sedang dirawat di rumah sakit.
Gubernur Sulut Olly Dondokambey juga meminta ibadah di gereja terbatas hanya untuk pengurus gereja.
Jemaat silakan menonton live streaming dari rumah masing-masing sehingga rantai penyebaran Covid-19 bisa kita putus,” kata Olly yang baru saja memenangi periode kedua kepemimpinannya setelah 1,43 juta warga Sulut pergi ke tempat pemungutan suara untuk menggunakan hak pilih.
Dalam keluguannya sebagai bocah SD, Kayrosh punya opini hasil pengamatan sendiri sembari mendengar kata-kata orangtua selama tiga bulan terakhir.
”Kemarin kampanye pilkada boleh ramai-ramai, tapi ibadah Natal malah enggak boleh. Pemerintah ribet, terlalu takut,” keluh Kayrosh, meski ia sendiri tak mengenakan masker sesuai anjuran pemerintah.
Sementara Kayrosh merutuk, deretan pertokoan di muka Taman Cita Waya sesak dengan hiruk pikuk, sedangkan lalu lintas macet. Warga berdesakan memborong berpuluh-puluh botol minuman berkarbonasi warna merah, hijau, dan hitam. Sebagian lagi memuat karung-karung bahan makanan ke bak mobil pikap. Kembang api dan terompet pun laris.
Sangat jelas sebuah perayaan massal tengah dipersiapkan. Namun, Tristan Waworuntu (11), teman sekelas Kayrosh di sekolah, mengatakan, gereja juga melarang umat menggelar open house alias jamuan besar dengan mengundang teman, kerabat, atau siapa pun ke rumah untuk makan. Sepupu-sepupunya dari luar Langowan tidak akan datang pada tahun ini.
”Enggak boleh ke gereja, enggak boleh kumpul-kumpul juga. Jadi cuma makan-makan dengan keluarga di kampung saja. Enggak seru. Untung mama tetap bikin kukis (kue kering) seperti biasa. Ada nastar, kastengel, speculaas, dan putri salju,” ujar Tristan.
Pusat perkembangan Kristen
Gerutu dua bocah itu bisa jadi bukan sekadar omelan biasa anak kecil. Sebab, Langowan adalah salah satu tempat pertama agama Kristen berkembang di Minahasa pada abad ke-19. Bangunan GMIM Schwarz Sentrum Langowan di Desa Koyawas, Langowan Barat, adalah artefak yang membuktikannya.
Pada 12 Juni 1831, misionaris Jerman utusan Nederladsch Zendeling Genootschap (lembaga pekabaran injil Belanda), Johann Gottlieb Schwarz, tiba di Manado. Schwarz memilih Langowan sebagai pusat wilayah kerjanya dalam mengabarkan injil.
Saat itu, orang Minahasa di Langowan telah memiliki sistem kepercayaan dinamisme dengan pusat penyembahan sebuah pohon besar keramat. Schwarz pun menyebarkan injil dengan mengobati orang-orang sakit berdasarkan ilmu kesehatan untuk menandingi tabib-tabib setempat.
Pada satu titik dalam tugas misionarisnya, Schwarz mendirikan mimbar khotbah di pusat penyembahan tersebut. Upayanya berujung pada kesediaan pemuka agama lokal Langowan untuk dibaptis. Pada 1842, sekitar 300 orang telah memeluk agama Kristen, dan jumlahnya mencapai 3.000 orang pada 1848.
Dibangunlah gereja pertama di Langowan yang juga salah satu gereja pertama di Minahasa pada 1847, yaitu GMIM Schwarz Sentrum. Sejak itu, Natal menjadi hari suci yang dirayakan secara massal oleh warga Langowan dengan sukacita dalam kebersamaan di puluhan gereja lain yang berdiri dalam radius 5 kilometer dari gereja itu.
Seperti sebuah bundaran, gereja berbentuk salib itu kini berdiri di tengah ruas persimpangan Jalan Langowan-Kakas yang menjadi nadi penghubung daerah-daerah Minahasa. Sebuah monumen berbentuk patung Schwarz juga didirikan di depan gereja pada 2008.
Namun, gereja ikonik itu tertutup rapat sehari jelang Natal. Pendeta gembala jemaatnya tidak ada di tempat. Tidak akan ada ibadah natal di GMIM Schwarz Sentrum Langowan atau gereja GMIM mana pun.
Sunyi senyap
Sunyi dan sepi Bethlehem saat Yesus lahir di palungan kini terasa di Minahasa pada hari Natal, Jumat (25/12/2020). Nyaris tiada aktivitas warga di ruas jalan sepanjang 47 kilometer yang melintasi Manado, Tomohon, Leilem, Sonder, Kawangkoan, Tompaso, hingga Langowan. Pintu rumah-rumah di perkampungan, yang biasanya terbuka bagi siapa pun yang ingin berkunjung, kini tertutup rapat.
Hujan deras sepanjang hari dan dingin yang menusuk tulang seolah membuat warga makin enggan ke luar rumah. Namun, perayaan syukur dan sukacita Natal tetap terlaksana, kali ini dalam skala yang kecil, yaitu keluarga.
Hidangan bebek kuning pedas, ayam goreng, dan babi kecap ala Minahasa tetap tersedia di kediaman keluarga Rudy Kalangie (65), warga Desa Paslaten, Langowan Barat. Kukis Natal dan minuman berkarbonasi dijejer di meja ruang tamu. Secara tebatas bersama sepupunya Olga Korua, anak-anak, serta keponakan, perayaan Natal tetap berjalan dalam senyum dan keguyuban.
Karena ibadah di gereja ditiadakan, sekitar 15 orang dari mereka memutuskan berkumpul dan mengikuti siaran ibadah bersama-sama, sesuai anjuran GMIM Eben Haezar Paslaten. ”Yang berkumpul ini cuma yang keluarga dekat yang tinggal di Desa Paslaten. Jangankan dari Manado, keluarga dari kecamatan lain pun tidak ada,” kata Rudy.
Natal 2020 pun terasa aneh bagi Olga. Untuk pertama kali seumur hidupnya, ia tidak pergi ke gereja. ”Rasanya kurang lengkap karena inti dari perayaan Natal adalah dari segi keimanannya, yaitu kelahiran Yesus,” katanya.
Terkesan tak adil, kata Rudy, kalau pasar tetap dibuka dengan kerumunan warga yang entah dari mana asalnya, tetapi gereja ditutup. Namun, kebersamaan kecil mereka tetaplah dapat disyukuri. Ia sadar, warga harus mengalah jika ingin virus korona segera hilang setidaknya dari Minahasa. ”Kami menyesuaikan diri saja dengan anjuran pemerintah,” ujarnya.
Bagi Denni Pinontoan, pengajar teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon sekaligus budayawan Minahasa, kebersamaan dan keguyuban keluarga adalah inti dari Natal yang telah menyatu dalam kebudayaan Minahasa. Namun, orang Minahasa selalu dapat cepat beradaptasi dengan tuntutan zaman.
”Dalam situasi saat ini, tradisi berkumpul malah tidak membawa banyak manfaat. Namun, tradisi tidak dapat dihilangkan dan akan selalu dirindukan,” kata Denni.
Sekitar 600 meter dari kediaman Rudy, di sudut timur GMIM Schwarz Sentrum Langowan, pasangan Lusje (49) dan James (56) di Desa Wolaang hanya merayakan Natal berdua. Agendanya pun sederhana, dimulai dengan mendengarkan siaran ibadah dari megafon gereja, kemudian duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati keindahan pohon natal.
Lusje mengakui, Natal kali ini sangat sepi. Biasanya, gereja akan penuh oleh warga yang pulang kampung dari rantau. Jalanan pun padat. Namun, kini ia hanya dapat saling mengucapkan selamat Natal kepada para guru rekan kerjanya melalui WhatsApp atau telepon video. Hidangan pun disiapkan hanya bagi kerabat sesama warga Langowan.
Namun, Natal kali ini, kata Lusje, menjadi kesempatan menghayati peristiwa kelahiran Yesus Kristus yang sunyi senyap dan sederhana. Namun, berkat dan kebahagiaan Natal tetap berkobar dalam hatinya. ”Biarlah kali ini kita mengalah, menjaga jarak demi keselamatan bersama,” ujarnya.
Tahun ini umat tak dapat berhimpun dan bersukaria di gereja. Kidung gloria bagi Sang Penebus pun cukup dikumandangkan dari pulau dan benua, sendiri-sendiri tetapi bersamaan.