Mereka Telah Memaafkan dan Kini Bangkit
Penyintas teror bom Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, masih hidup dalam kesulitan dan traumatis. Namun, mereka telah memaafkan pelaku dan bangkit dengan keyakinan daya hidup terus tumbuh.
Penyintas teror bom Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, masih hidup dalam kesulitan dan traumatis. Namun, mereka telah memaafkan pelaku dan bangkit dengan keyakinan daya hidup terus tumbuh.
Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (8) asyik menggebuk drum elektrik di kamar rumah kompleks Asrama Polisi Loa Janan, Samarinda, Rabu (23/12/2020). Berkaos dan bercelana kuning serta tersenyum, si bocah larut dalam kegembiraan menabuh genderang alias drum.
“Aku suka lagu Coldplay yang judulnya Yellow waktu main drum,” ujar Alvaro.
Tangan mungil itu tangkas dengan stik menabuh simbal dan snare. Kaki mantap menginjak pedal bass secara teratur. Padahal, luka bakar akibat teror bom nyaris memenuhi tubuh si anak. Namun, Alvaro seolah mengalahkan sakit dengan asyik bermain drum.
Baru awal tahun kelima Alvaro menjalani kehidupan penyintas teror bom molotov di halaman Gereja Oikumene. Peristiwa horor itu terjadi pada Minggu (13/11/2016), ketika Alvaro dan ibunda, Marsyana Tiur Novita Sagala (43) sedang beribadah. Setelah dentuman keras, api berkobar di gereja, menyambar dan melukai sejumlah anak termasuk Alvaro.
Empat anak menjadi korban teror oleh pelaku bernama Juhanda. Anak-anak terluka bakar parah di wajah, lengan, badan, dan kaki. Korban bernama Intan Olivia Banjarnahor (3), tak tertolong dan meninggal dunia saat dirawat.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Juhanda, si pelaku, penjara seumur hidup pada 25 September 2017.
Trauma
Novita ingat, selepas teror itu, akhir 2016, Alvaro masih dirawat di rumah sakit. Para korban masih trauma dan ketakutan saat mendengar suara dentuman. Malam pergantian tahun yang diwarnai letusan petasan dan pesta kembang api menjadi situasi yang mencekam bagi anak-anak.
“Saat mendengar suara ledakan kembang api, Alvaro menangis ketakutan,” kenang Novita.
Alvaro juga sempat mengalami krisis kepercayaan diri. Luka bakar memenuhi kepala bagian kanan. Kulit kering melepuh juga berada di jemari dan kedua lengan. Alvaro sempat malu bertemu orang lain. Biaya pengobatan tidak sedikit.
Pemerintah memang sempat memberi santunan untuk perawatan Alvaro senilai Rp 150 juta. Namun, santunan jauh dari cukup. Keluarga memutuskan membawa Alvaro berobat dan operasi ke Malaysia akhir 2017.
Baca Juga : Pesan Cinta Kasih dari Para Korban
Di Negeri Jiran, mereka kesulitan karena biaya amat jauh dari santunan. Keluarga terpaksa menggalang dana dan dibantu oleh aktivis kemanusiaan Birgaldo Sinaga.
Bantuan berdatangan bahkan dari Malaysia. Dokter spesialis yang menangani Alvaro menggratiskan biaya operasi dan kunjungan.
“Banyak yang membantu dan ada yang datang langsung. Biaya pengobatan Alvaro bisa tertutupi,” kata Novita.
Korban lainnya, Trinity Hutahean (7), terluka bakar serius di wajah, tangan, dan kaki.
Seperti Alvaro, Trinity dibawa ke mancanegara untuk berobat. Trinity diterbangkan ke China. Keluarga sang dara membiayai pengobatan secara mandiri ditambah bantuan kerabat, dan penggalangan dana.
“Kami putuskan berobat ke luar negeri untuk mendapatkan layanan lebih baik. Saat dirawat di Indonesia, anak kami sempat mengalami pembengkakan bagian wajah,” ujar Sarina Gultom, ibunda, yang saat dihubungi sedang mudik.
Kepercayaan Diri
Pengobatan baru satu langkah dalam pemulihan fisik. Para korban juga perlu pemulihan psikologis yakni kepercayaan diri.
Keluarga berupaya agar anak-anak tetap tumbuh dengan riang meski menanggung sakit ragawi. Kepercayaan diri ditumbuhkan dan dipelihara dengan pemberian keterampilan atau keahlian khusus.
Baca Juga : Gangguan Kejiwaan, AK Tak Terlibat Terorisme
Trinity, saat ini, aktif menjadi pebalet. Kursus balet diharapkan mengembalikan kepercayaan diri sang dara untuk tampil di depan publik. Selain itu, secara fisik, bisa memulihkan otot dan persendian akibat sempat sulit berjalan.
“Saya juga berharap Trinity bisa mengembangkan kemampuan akademik. Apapun kami upayakan untuk kebaikan anak kami,” ujar Sarina.
Kepercayaan diri Alvaro bersemi selama perawatan di Malaysia. Teman-teman sekolah minggu di sana mendukung dengan suasana gembira. Alvaro terus diberi kepercayaan untuk memperlihatkan kemampuan di depan publik.
Sepulang dari Malaysia, Alvaro mengikuti kursus vokal dan drum. Hoddiman Sinaga (44), ayahanda, berharap, Alvaro tidak akan malu ketika memperlihatkan keahlian.
“Saya tidak dendam terhadap pelaku (teror bom). Saya berharap (teror bom) tidak terjadi lagi. Kami menekankan kepada Alvaro agar tumbuh menjadi anak pintar dan baik,” kata Hoddiman.
Kini, kepercayaan diri Alvaro dan Trinity sudah perlahan pulih. Mereka sudah bermain dengan teman sebaya dan mengikuti berbagai kegiatan. Trauma terhadap dentuman juga perlahan pudar. Pendampingan psikolog gratis dari pemerintah juga turut membantu pemulihan.
Atensi
Pada 16 Desember 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan telah memberikan Rp 39,2 miliar kepada 215 korban terorisme dan ahli waris dari 40 peristiwa teror.
Presiden berharap bantuan mampu mendukung korban untuk melewati situasi amat berat. "Nilai kompensasi tentu tidak sebanding dengan penderitaan para korban yang mengalami penurunan kondisi ekonomi karena kehilangan pekerjaan atau tidak mampu mencari nafkah lagi, mengalami trauma psikologis, menderita luka fisik dan mental, juga mengalami berbagai stigma karena kondisi fisik yang dialami," kata Presiden.
Khusus bagi korban seperti Alvaro dan Trinity, atensi dari negara jauh dari cukup. Pengobatan mereka belum selesai, tidak lagi ditanggung negara. Mereka juga bersekolah dengan biaya mandiri. Namun, keluarga tidak berharap banyak tetapi selalu mengupayakan yang terbaik bagi Alvaro dan Trinity.
“Tahun ini seharusnya kami ke Malaysia untuk berobat. Namun, Covid-19 menunda rencana. Biar tubuh Alvaro kembali normal terlebih dahulu karena terlampau banyak obat dan bius selama perawatan 2017-2018,” kata Novita.
Transit
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Kaltim Ahmad Jubaidi mengatakan, provinsi ini tempat singgah, perlintasan, dan persembunyian pelaku teror.
Hingga kini, ada 11 narapidana terorisme yang sudah bebas dan kembali ke Kaltim. Mereka bukan aktor utama, melainkan aktor yang membantu pelaku teror bersembunyi hingga melancarkan aksi.
Baca Juga : Orang Mencurigakan Ditangkap di Mapolresta Samarinda
Eks-narapidana terorisme diupayakan kembali dan bisa hidup berdampingan dengan masyarakat. Kaltim juga terus berupaya mencegah agar tiada lagi kasus-kasus terorisme muncul di Benua Etam.
“Dalam bahasa paser, ada istilah \'buen kesong\' atau berhati baik. Orang Kutai bertradisi rakat mufakat. Nilai-nilai kearifan lokal akan terus dikampanyekan agar relasi sosial berjalan baik,” tutur Ahmad.
Tahun ini akan berganti dalam suasana tak meriah karena situasi wabah Covid-19 yang belum mereda. Namun, bagi penyintas seperti Alvaro, Trinity, dan keluarga ada yang lebih penting yakni jangan sampai ada lagi teror dan horor yang membuat luka dan menyisakan memori kelam.