Jalan Lain Bagi Penyintas Bencana untuk Menggapai Hunian Tetap
Relokasi mandiri menjadi alternatif dari skema relokasi komunal bagi penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulwesi Tengah.
Penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, memilih skema relokasi mandiri. Berbagai alasan menjadi dasarnya, mulai dari keterikatan ekonomi hingga sosial-budaya. Penanganan bencana perlu melihat dinamika yang berkembang di tengah penyintas.
Samsudin (46) duduk santai di kolong rumah panggungnya. Ia berbincang dengan dua anggota keluarga pada Kamis (26/11/2020) sore. Angin sepoi berembus membawa kesejukan. “Hawa di sini sejuk, tidak panas seperti di pantai. Ini tempat tinggal yang nyaman,” ujar Ketua RT 002 RW 01, Kelurahan Mamboro Barat, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulteng.
Rumah panggung Samsudin dengan 9 orang lainnya terletak sekitar 300 meter dari pantai Mamboro. Rumah dicat warna-warni. Tiang rumah dari panel beton. Tinggi panggung sekitar 3 meter. Karena luasnya kolong, Samsudin sering menghabiskan hari di kolong rumah panggung tersebut. Kolong itu juga dijadikan ruang tamu dan kamar makan. Praktis hanya untuk istirahat malam baru Samsudin dan empat anggota keluarganya naik ke kamar tidur. Kamar tidur dua unit plus satu ruang keluarga.
Kesejukan di rumah yang baru ditempati Samsudin tiga bulan belakangan itu berbeda dengan hunian sementara yang ditempatinya selama hampir dua tahun terakhir. Hunian sementara itu terletak tak jauh dari bibir pantai. Dinding hunian sementara dari papan lapis dengan tinggi atap 2,5 meter. Ukurannya juga kecil. Hunian sementara dibangun di bekas rumah lama yang dihantam rata tsunami pada 28 September 2018.
Nantinya total 38 rumah berdiri di lahan 4.000 meter persegi tersebut. Selain dibangun Yayasan Arkom, huntap lainnya didirikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Pemerintah Kota Palu.
Rumah panggung yang ditempati saat ini merupakan hunian tetap (huntap) yang dibangun Samsudin dan warga Mamboro Barat lainnya bersama Yayasan Arsitek Komunitas (Arkom)Sulteng. Selain rumah Samsudin, telah dibangun juga 9 rumah panggung lainnya dan empat rumah tapak. Rumah-rumah tersebut sudah ditempati meskipun sebagian elemennya masih dirampungkan, seperti beton lantai kolong rumah dan kamar kecil.
Kompleks tersebut berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai atau 250 meter dari Jalan Trans-Sulawesi. Jarak itu memenuhi standar pembangunan hunian di luar zona rawan bencana di Teluk Palu dengan radius 100 meter-200 meter.
Nantinya total 38 rumah berdiri di lahan 4.000 meter persegi tersebut. Selain dibangun Yayasan Arkom, huntap lainnya didirikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Pemerintah Kota Palu.
Huntap di Mamboro Barat menjadi prototipe skema alternatif dalam rekonstruksi pascabencana di Sulteng, yakni relokasi mandiri. Penyintas bisa membangun huntap di lahan sendiri atau dengan fasilitas pihak lain dengan bukti keabsahan alas hak. Rumah dibangun pemerintah atau donatur seperti pada kasus Mamboro Barat.
Relokasi salah satu skema rekonstruksi pascagempa di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Sigi. Penyintas direlokasi karena lokasi rumah lama mereka ditetapkan zona merah yang terlarang untuk pembangunan hunian baru agar tak hancur dan menimbulkan korban jiwa di kemudian hari. Mereka direlokasi ke lahan baru yang ditetapkan pemerintah. Total keluarga penyintas yang direlokasi 11.000 keluarga.
Pada umumnya relokasi bersifat komunal. Mereka direlokasi di kawasan tertentu. Di Kota Palu, contohnya, hunian penyintas relokasi dibangun di Kelurahan Tondo dan Kelurahan Talise di Kecamatan Mantikulore, Kelurahan Duyu di Kecamatan Tatanga.
Dengan pembangunan terkonsentrasi, dibutuhkan lahan yang cukup luas. Salah satu kendala pembangunan huntap penyintas yang harusnya selesai pada akhir 2020 ini Sulteng justru soal lahan. Penyiapan lahan yang diambil dari hak guna bangunan selalu diganggu warga yang mengklaim lahan tersebut.
Belakangan muncul skema baru, yakni relokasi mandiri. Dalam skema ini, penyintas menyiapkan sendiri lahan pembangunan huntap dengan alas hak berupa serfitikat hak milik atau minimal surat keterangan pendaftaran tanah. Rumah dibangun oleh pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat seperti halnya pada skema relokasi komunal. Pembangunan huntap skema mandiri dimulai pada 2021.
Baca juga: Dibuka Opsi Relokasi Mandiri bagi Warga
Selain keabsahan lahan, syarat lain untuk skema relokasi mandiri, yakni akses berupa jalan dan jaringan listrik tersedia. Jika membangun huntap secara terkonsentrasi, penyintas membentuk kelompok sehingga akses bisa ditangani pemerintah. Anggota kelompok maksimal 15 keluarga penyintas.
Tak terhitung di Mamboro Barat, sejauh ini 160 keluarga penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, memilih relokasi mandiri. Mereka tersebar di Kelurahan Petobo, Duyu, dan Kayumaleo Pajeko.
Bagi Samsudin dan warga Mamboro Barat lainnya laut tak terpisahkan dari kehidupan. Mereka nelayan dan penjual ikan asin. Mereka tak sanggup harus bolak-balik 3 kilometer setiap hari untuk bekerja jika memilih tinggal di huntap komunal Kelurahan Tondo. “Ini yang menjadi ganjalan bagi kami. Makanya kami memilih cara lain,” kata bapak yang bisa mendulang hingga Rp 3,5 juta per bulan dari melaut dan menjual ikan kering/asin.
Keinginan untuk relokasi tak jauh dari sumber penghasilan ekonomi sudah menggelayut benak para nelayan di Mamboro Barat sejak awal 2019, empat bulan pascabencana. Samsudin secara informal menyampaikan ide tersebut kepada warga lainnya dan ditanggapi beragam. Ada yang menyambutnya baik, tak sedikit pula yang cuek. Kondisi itu dimaklumi karena pada saat itu semua penyintas masih mengurus kebutuhan pokok untuk keluarga.
Dalam ketakjelasan itu, Yayasan Arkom Sulteng menangkap asa para penyintas Mamboro Barat. Ide reloksi mandiri dimatangkan dan Arkom yang dari awal telah membantu pemulihan ekonomis-sosial penyintas di pesisir Mamboro bersedia untuk mendampingi para penyintas memperjuangkan alternatif relokasi selain relokasi komunal di tempat yang disediakan pemerintah. Rencana itu makin matang pada Februari 2020.
Dari 120 keluarga penyintas yang didekati, sebanyak 34 keluarga memantapkan pilihan mengambil program relokasi mandiri mandiri. Mereka lalu membicarakan desain rumah dan ukuran huntap serta cara pengerjaannya. Warga sepakat membangun rumah berbentuk panggung dan dikerjakan secara gotong royong.
Selain penyediaan lahan seluas 4.000 meter persegi, Yayasan Arkom menyiapkan anggaran per unit rumah sebesar Rp 75 juta. Pembersihan lahan dan konstruksi dimulai pada Maret 2020.
Dalam advokasi dan dialog lanjutan dengan pemerintah, tak semua rumah dibangun dengan oleh Arkom. Sebanyak 28 huntap berbentuk tapak dengan tipe 36 dibangun oleh Pemerintah Kota Palu dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ke-28 rumah sementara dirampungkan.
Pendamping penyintas Mamboro Barat Yayasan Arkom Sulteng Abdi Saputra menyatakan relokasi mandiri model ideal untuk penyintas yang terikat secara ekonomi dengan daerah tertentu. Relokasi yang menjauhkan mereka dari sumber penghasilannya, seperti para nelayan di Mamboro Barat, bisa menyulitkan ekonomi mereka di kemudian hari.
Alasan sosial-budaya
Meskipun tak secepat penyintas di Mamboro Barat pengerjaan huntapnya, Ridwan (31), penyintas gempa dan likuefaksi Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, juga merintis jalan relokasi mandiri. Ia bergabung dalam kelompok Jajaki Jaya bersama 13 keluarga penyintas lainnya, termasuk dua saudaranya.
Calon lokasi huntap mandiri mereka terletak di dekat kompleks perumahan di Petobo yang berjarak sekitar 3 kilometer dari bekas likuefaksi. Lokasi tersebut persis di pinggir jalan. Lahan cukup rata. Sebagian saat ini diolah untuk ditanami sayuran. Mereka memegang sertifikat hak milik atas lahan tersebut. Keabsahan lahan telah diperiksa oleh tim verifikasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang akan membangun rumah atau huntap.
Bagi Ridwan, ikatan sosial-budaya menjadi salah satu alasan memilih skema relokasi mandiri. Ikatan kebatinan antarkerabat tak tergantikan. Jika memilih relokasi di tempat lain, seperti relokasi komunal, itu akan menjauhkannya dari lingkungan keluarga besar yang sebagiannya masih tinggal di Petobo. “Kita ini kalau ada apa-apa, ya, keluarga yang menjadi sandaran utama,” katanya.
Di samping itu, bapak satu anak itu memilih relokasi mandiri karena pengerjaan huntap bisa dikontrol. Berdasarkan pertemuan pembentukan kelompok, penyintas yang memilih relokasi mandiri diberi kesempatan untuk mengontrol kualitas konstruksi. Ukuran rumah pun bisa ditambah di luar standar tipe 36 dengan biaya ditanggung sendiri pada saat pengerjaan huntap berlangsung.
Ridwan menilai jika skema relokasi mandiri dibuka sejak awal penanganan pascabencana, sudah barang tentu banyak huntap telah dibangun. “Meskipun terlambat, skema ini bisa menjadi contoh baik untuk penanganan ke depannya. Intinya dialog dengan penyintas dibuka lebar karena altenatif bisa muncul dari forum tersebut,” katanya.
Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Palu Zulfikli menyatakan relokasi mandiri diakomodasi untuk menjawab aspirasi yang berkembang dalam perjalanan penanganan pascabencana. “Penanganan bencana tak bisa kaku. Kami harus melihat dinamika di masyarakat,” katanya.
Baca juga: Sebanyak 160 Rumah Tangga Penyintas Bencana di Palu Pilih Relokasi Mandiri
Manajemen pascabencana memang perlu menangkap aspirasi yang berkembang di tengah penyintas. Dengan tetap patuh pada rencana dasar, seperti zonasi rawan bencana, relokasi sebagai salah satu isu krusial pascabencana bisa dilaksanakan dalam berbagai format atau skema, seperti relokasi mandiri. Penanganan pascabencana di Palu mengetengahkan contoh baik.