Banjir Genangi 120 Rumah di Manado Setelah Hujan Lebat pada Hari Natal
Sedikitnya 120 rumah di Manado tergenang air akibat hujan deras di wilayah Minahasa Raya sejak hari Natal. Warga terus menjadi korban banjir karena upaya pembangunan sempadan Sungai Tondano tak tuntas.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Setidaknya 120 rumah di Manado, Sulawesi Utara, tergenang banjir setelah hujan deras melanda wilayah Minahasa Raya pada Natal, Jumat hingga Sabtu (25-26/12/2020). Warga terus menjadi korban banjir karena upaya pembangunan sempadan sungai di sepanjang Daerah Aliran Sungai Tondano belum ideal.
Wilayah yang terendam banjir terletak di permukiman Ternate Tanjung, Kecamatan Singkil. Permukiman warga bersebelahan dengan DAS Tondano, nyaris tak berjarak dengan tepian sungai. Hujan yang terus turun selama sekitar 24 jam sejak Jumat siang hingga Sabtu siang itu menyebabkan air meluber dan membawa lumpur ke rumah warga.
Pada Sabtu sore, air telah surut dan hanya menyisakan genangan di beberapa tempat dengan letak tanah yang rendah. Namun, warga masih sibuk mendorong air dan lumpur ke luar rumah. Air di sungai masih tinggi dengan aliran yang deras sehingga saluran air permukiman masih mampet.
Suryanto Domili (44), warga Lingkungan 1 Ternate Tanjung, mengatakan, ketinggian air mencapai sekitar 1 meter pada malam hari. Warga menyelamatkan barang-barang mereka ke lantai dua rumah atau lantai atas masjid setempat. Untungnya, air mulai surut pada tengah malam. Warga pun mulai membersihkan rumah mereka sejak semalam.
”Pekerjaan ini tidak mudah, bisa seharian sampai tengah malam lagi. Kalau air sudah surut, warga harus cepat-cepat dorong lumpur ke saluran air. Pengalaman 20 tahun lalu saat ada banjir besar, lumpur dibiarkan sehingga keras. Kami butuh alat berat untuk mengangkatnya,” katanya.
Kampung Suryanto memang langganan banjir akibat lokasinya yang tepat di tepi sungai. Namun, warga enggan pindah. Akhirnya, mereka terbiasa mengungsi ke daerah kampung yang lebih tinggi atau sekadar mengungsi ke lantai atas masjid setempat.
Di Lingkungan 3 Ternate Tanjung, banjir juga melanda permukiman warga. Namun, rumah Hajrah Pakaya (52) yang terletak tepat di tepi sungai tidak sampai tergenang. Air meluap, tetapi tingginya hanya sekitar 20 sentimeter. Hajrah sudah selesai membersihkan rumahnya pada Sabtu sore.
Akan tetapi, ia sudah siaga jika ada hujan deras susulan saat arus sungai di samping rumahnya belum surut. Sofa-sofa kain ia tumpuk di atas sebuah meja, sedangkan baju-bajunya ia muat ke dalam karung. ”Kami belum menata rumah lagi. Kelihatannya masih akan hujan karena masih mendung. Kalau ada banjir, tinggal angkut ke rumah sebelah yang lebih tinggi,” kata Hajrah.
Pengamat meteorologi dan geofisika di Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado, Luky Kawuwung, mengatakan, hujan lebat pada Natal melanda seluruh wilayah Minahasa, Minahasa Selatan, Tomohon, dan Bitung. Hujan kemudian meluas ke semua kabupaten/kota di Sulut, termasuk Manado.
Menurut Luky, hujan dipicu Sirkulasi Eddy di sebelah utara Maluku. Dinamika atmosfer itu kemudian menyebabkan konvergensi udara, yaitu pertemuan dua atau lebih massa udara menuju wilayah yang memiliki tekanan udara lebih rendah, di atas Kabupaten Minahasa.
”Kelembaban udara di lapisan 850-500 milibar juga bersifat basah, sekitar 65-95 persen. Akibatnya adalah cuaca ekstrem di wilayah Sulut,” kata Luky.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Manado Stany Lonteng mengatakan, jumlah rumah terdampak yang sudah terdata adalah 120 rumah di Lingkungan 1, 2, dan 3 Ternate Tanjung. Belum ada laporan banjir dan permintaan bantuan dari kelurahan lainnya yang terletak di bantaran sungai.
Stany mengatakan, BPBD sudah membawa makanan siap saji, yaitu mi instan untuk dibagikan kepada warga. Namun, personel yang ada sangat terbatas karena banyak pegawai sedang libur. Pada Senin (28/12/2020), bantuan berupa peralatan rumah tangga dan keluarga akan disalurkan.
Akan tetapi, bantuan BPBD Manado ini berasal dari kas pribadi para pegawai. ”Anggaran kami sudah dialihkan untuk penanganan Covid-19 semua, jadi benar-benar sudah nol. Kami hanya mengumpulkan dana dari kerelaan warga,” kata Stany.
Relokasi
Suryanto Domili mengatakan, banjir terparah terjadi pada 15 Januari 2014 yang dijadikan bencana nasional. Setelah kejadian itu, pemerintah sudah menawarkan warga yang rumahnya di bantaran sungai pindah 12 kilometer ke utara, yaitu di permukiman relokasi Kelurahan Pandu, Bunaken.
Relokasi yang dipaketkan dengan rekonstruksi rumah warga didanai hibah pemerintah pusat sebesar Rp 213,34 miliar. Namun, tawaran itu ditolak.
”Rumah warga di sini dua lantai dan besar-besar. Sementara rumah di Pandu sangat kecil. Waktu itu, bahkan bangunannya belum batako, masih papan gipsum. Jelas warga tidak mau, apalagi mayoritas di sini adalah pedagang di Pasar Bersehati, jadi mereka tidak mau pindah jauh,” katanya.
Suryanto yang juga pernah menjadi ketua kelompok masyarakat penerima bantuan rekonstruksi rumah rusak mengatakan, dana Rp 213,34 miliar itu seharusnya dipakai juga untuk membangun sempadan sungai. Saat ini, karena sebagian warga di bantaran tidak mau direlokasi ke Pandu, konstruksi sempadan hanya dibangun di beberapa titik yang tidak saling tersambung.
Kini, dana hibah itu telah habis dan malah berujung pada kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala BPBD Manado Max Tatahede. Kerugian negara sebesar Rp 6,35 miliar. Max tidak mendapat untung, tetapi tanda tangannya mengizinkan korupsi untuk terjadi. ”Berarti, pembangunan sempadan tidak akan berlanjut,” kata Suryanto.
Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Manado Budhi Yasin mengatakan, sudah ada 2.047 rumah yang dibangun di Pandu bagi warga bantaran sungai. Namun, penghuninya hanya sekitar 600 keluarga pada hari biasa dan 1.000 pada akhir pekan.