Perayaan Natal tahun ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena pandemi Covid-19. Namun, virus mematikan itu tidak melunturkan semangat persaudaraan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Kalimantan Tengah dikenal dengan sebutan ”Bumi Pancasila”. Di wilayah ini keberagaman dijunjung tinggi. Banyak sekali tempat ibadah yang dibangun bertetangga, dalam satu gang, satu jalan, dan satu visi yang sama, yakni persaudaraan.
Jumat (25/12/2020) pagi, Ilham Qodri (40), penjaga Masjid Nurul Iman di Jalan Sangga Buana, Kota Palangkaraya, Kalteng, sedang sibuk mengurus parkir di halaman Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Efrata yang dinding bangunannya berimpitan dengan masjid itu.
Pagi itu, tidak banyak umat gereja yang datang. Pandemi Covid-19 membuat gereja mengambil kebijakan membuat ibadah dalam jaringan (daring) dan membatasi umat yang mengikuti ibadah. Ilham juga membantu panitia gereja untuk memeriksa protokol kesehatan.
Maskernya masih dipakai. Ia mendorong, menggeser, dan menyiapkan motor agar tempat parkir rapi. Ibadah Natal pagi itu berlangsung khidmat. Terlihat petugas mulai dari kepolisian, Dinas Perhubungan Kota Palangkaraya, hingga tim satuan tugas Covid-19 berjaga di luar gereja. Mereka semua beragama Muslim, sengaja bergantian berjaga dengan yang beragama Nasrani karena cuti.
Hingga kini, data dari tim Satgas Penanganan Covid-19 Provinsi Kalteng, jumlah kasus masih meningkat pada Jumat siang,yaitu 90 kasus, dibandingkan dengan Kamis (24/12/2020). Total kasus sampai saat ini di Kalteng 9.193 kasus.
Kabar baiknya, orang terduga terpapar virus itu atau yang disebut suspek berkurang 22 orang. Jumlah pasien yang sembuh pun bertambah banyak hingga 224 pasien.
Meskipun demikian, dalam tiga hari belakangan selalu ada korban jiwa. Pada Jumat siang pun terdapat tiga pasien lagi yang meninggal sehingga total selama ini menjadi 257 orang meninggal. Tingkat kematian pun meningkat menjadi 2,8 persen.
Hal itu yang membuat Pemerintah Kota Palangkaraya dan Kalteng pada umumnya membatasi perayaan Natal. Begitu juga ibadah di rumah ibadah lainnya.
Tak sampai dua jam ibadah Natal usai. Sembari mengucapkan selamat Natal kepada umat gereja, Ilham kemudian bergegas ke masjid. Ia menyiapkan ibadah selanjutnya. Shalat Jumat.
Parkiran di gereja pun kosong. Namun, berselang beberapa menit, umat Muslim menggunakannya untuk tempat parkir umat yang beribadah shalat Jumat. ”Gara-gara pandemi makanya tak terlalu ramai, biasanya kalau parkir itu penuh,” ujar Ilham.
Hal serupa juga terjadi pada GKE Nasaret yang satu dinding dengan Masjid Al-Azhar. Ronny Kankarendeng Mankin (42), umat GKE, mengungkapkan, ibadah malam Natal mereka digeser beberapa menit seusai shalat Maghrib.
”Di sini sudah biasa itu. Malah kalau puasa, pernah kami rayakan buka puasa bersama di halaman gereja. Sudah seperti itu sejak dulu, tak pernah ada masalah,” ungkap Ronny.
Pada saat perayaan malam Natal pun para petugas dibantu umat masjid mengatur lalu lintas karena posisi gereja dan masjid yang dekat dengan jalan raya sehingga pada saat hari raya apa pun jalanan itu selalu ramai, kadang macet.
Pengurus masjid dan yayasan di Al-Azhar, Haji Noorsabri, menceritakan, kedua tempat ibadah itu dibangun bersama-sama tahun 1984. ”Alasannya hanya satu, toleransi. Kami sepakati untuk dibuat satu dinding saja. Dibangunnya juga bersamaan,” ungkapnya.
Dindingnya pun dibangun menyatu. Bagian terbawah atap bersentuhan, menyiratkan eratnya persaudaraan di antara pemeluk kedua agama.
Sejak pertama dibangun, lanjutnya, tak pernah ada konflik di antara kedua belah pihak. Tak ada yang protes ketika azan berkumandang. Begitu pula ketika lonceng gereja menggema.
Dindingnya pun dibangun menyatu. Bagian terbawah atap bersentuhan, menyiratkan eratnya persaudaraan di antara pemeluk kedua agama.
Bahkan, dirinya pernah diingatkan jemaat gereja ketika suara azan tidak terdengar. Saat itu pelantang suara masjid sedang rusak. ”Kalau di tempat lain masih ada yang protes soal pelantang suara, di sini justru malah diingatkan kalau tidak ada suara azan,” ujarnya.
Di Kota Palangkaraya saja terdapat tiga lokasi gereja yang dibangun berdampingan dengan masjid, yakni GKE Efrata dan Masjid Nurul Iman di Sangga Buana, lalu GKE Nasaret dan Masjid Al-Azhar di Jalan Galaxy, juga GKE Evangelis Zerubabel yang bertetangga dengan Masjid Al-Fuqron di Jalan Garuda. Tak hanya itu, di Jalan Sangga Buana, sekitar lima ratus meter dari gereja dan masjid juga terdapat Pura Pitamaha.
Gambaran bertetangga itu bukan hanya ada di Kota Palangkaraya. Di Kabupaten Kotawaringin Timur bahkan terdapat satu desa yang membangun empat rumah ibadah, yakni Balai Basarah umat Hindu Kaharingan, Gereja Kristen Eka Shinta Gereja Katolik Stasi Kudus, dan Masjid Al-Haddi. Semua tempat ibadah itu terletak di Desa Tumbang Kalang, Kecamatan Antang Kalang.
Di Kalimantan Tengah, keberagaman muncul karena berbagai faktor. Di Desa Tumbang Kalang, misalnya, desa yang dihuni 502 keluarga itu dihuni beragam suku, antara lain Batak, Jawa, Banjar, dan suku asli Dayak. Itu jadi gambaran kecil toleransi di provinsi yang luasnya 1,3 kali Pulau Jawa ini.
Sebutan Bumi Pancasila juga tak datang begitu saja. Pada 11 Juni 2011, Pemerintah Provinsi Kalteng dideklarasikan sebagai Bumi Pancasila oleh Gubernur Kalteng saat itu Agustin Teras Narang bersama Yayasan Indonesia Satu. Deklarasi itu dilaksanakan di Tugu Soekarno, Kota Palangkaraya.
Kalimantan Tengah juga memiliki filosofi huma betang atau rumah khas Dayak. Antropolog Dayak, Marko Mahin, mengatakan, rumah betang menjadi simbol keberagaman karena dalam rumah satu keluarga bebas memilih agamanya masing-masing. Dalam satu rumah pun mereka saling mendistribusikan kasih pada penghuni lainnya.
”Orang Dayak itu pemburu dan peramu. Jadi kalau satu orang dapat rusa dari hutan, ya, dinikmati bersama-sama. Kebiasaan itu menjadi tradisi yang dijaga hingga kini dalam bentuk-bentuk yang lain,” ungkap Marko.
Seperti keluarga Hardiansyah, di Kota Palangkaraya. Di satu rumah ia tinggal dengan istri dan ketiga anaknya. Semuanya Kristen. Namun, di momen Natal, adik-adiknya yang Muslim pasti mendatangi rumahnya untuk makan bersama di malam Natal.
”Tradisi itu sudah sejak lama, tapi karena pandemi akhirnya hanya video call saja. Makan malam diganti dengan ucapan,” katanya.
Kamis (24/12/2020) malam memang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Makan bersama di malam Natal diganti dengan ramah-tamah daring. Padahal, malam itu istrinya memasak begitu banyak makanan.
Pandemi memang menggeser tradisi, tetapi kehangatan malam Natal di Bumi Pancasila masih terasa lewat upaya toleransi dan persaudaraan yang ditunjukkan umat beragama di tempat itu.
Suara azan mengiringi dan masuk hingga ke dinding-dinding gereja. Lonceng Natal pun terembus masuk ke sudut-sudut masjid. Begitulah keindahan Natal di Bumi Pancasila.