Nelayan Anambas Berharap Menteri Wahyu Larang Cantrang Lagi
Nelayan di Kepulauan Anambas kembali berunjuk rasa meminta pemerintah melarang kembali penggunaan alat tangkap cantrang. Harapan itu mereka sampirkan di pundak Menteri KP yang baru, Sakti Wahyu Trenggono.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, kembali berunjuk rasa meminta pemerintah pusat melarang kembali penggunaan alat tangkap cantrang. Harapan tersebut kini mereka sampirkan di pundak Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Lebih kurang 40 orang perwakilan nelayan dari 10 kecamatan di Kepulauan Anambas melakukan unjuk rasa menolak cantrang di depan Kantor Satuan Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di Tarempa, Pulau Siantan, Rabu (23/12/2020). Sebelumnya, aksi serupa pernah dilakukan ratusan nelayan Kepulauan Anambas pada 3 dan 16 September 2020.
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra mengatakan, mereka berunjuk rasa untuk mengingatkan pemerintah pusat tentang tingginya potensi konflik di Laut Natuna Utara. Situasi di perairan Anambas dan Natuna memanas setelah penggunaan cantrang dilegalkan kembali.
”Kami menolak penggunaan pukat tarik, termasuk cantrang, di Laut Natuna Utara. Kalau pemerintah tetap memaksakan hal itu, kami akan melakukan protes besar di laut maupun di darat,” kata Dedi.
Pada 30 November, pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas. Peraturan itu merevisi Permen KP No 71/2016 yang melarang penggunaan cantrang, dogol, dan pukat udang.
Dalam Pasal 23 Ayat 4 Permen KP No 59/2020 disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara.
Menyikapi keluarnya peraturan baru itu, kata Dedi, nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna berencana memperbanyak rumpon di perairan yang berjarak hingga 20 mil dari garis pantai. Hal tersebut untuk mencegah kapal cantrang dari pantai utara Jawa masuk ke zona tangkap nelayan tradisional.
”Kami ingin pemerintah pusat mengkaji ulang Permen KP No 59/2020 karena peraturan itu dibuat tanpa mempertimbangkan suara kami, nelayan tradisional di pulau-pulau kecil,” ujar Dedi.
Bupati Kepulauan Anambas Abdul Haris menyatakan, langkah pemerintah pusat yang tidak konsisten soal pengunaan cantrang itu sangat merugikan nelayan tradisional. Kini, nasib nelayan Anambas sangat bergantung kepada keputusan selanjutnya yang bakal diambil terkait pemberlakuan Permen KP No 59/2020.
”Pemerintah Kabupaten dan masyarakat nelayan Kepulauan Anambas memohon kepada Menteri KP yang baru supaya tidak lagi mengizinkan penggunaan alat tangkap cantrang yang tidak ramah lingkungan. Laut kami memang kaya, tetapi hal itu tidak akan ada artinya jika masyarakat lokal tidak diberi kesempatan untuk memanfaatkannya,” kata Abdul Haris.
Permen KP No 59/2020 ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada 18 November atau tujuh hari sebelum ia ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka kasus suap perizinan budidaya lobster oleh KPK. Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, seharusnya penangkapan itu mendorong pemerintah untuk melakukan koreksi total atas kebijakan pengelolaan perikanan yang diterbitkan satu tahun terakhir.
Abdul Halim juga menilai, langkah pemerintah yang kembali mengizinkan kapal cantrang beroperasi di Laut Natuna Utara, ada hubungannya dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang membuka akses bagi kapal penangkapan ikan berbendera asing untuk beroperasi di ZEEI.
”Itu akan menjadi jembatan pemerintah untuk memberikan izin pemanfaatan sumber daya ikan bagi kapal asing yang menggunakan trawls untuk beroperasi di WPP 711. Menurut saya, hal ini tinggal menunggu waktu dikeluarkan rancangan peraturan pelaksanaannya,” kata Abdul Halim.
Ia menambahkan, langkah pemerintah mengizinkan cantrang untuk digunakan kembali akan berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan sekaligus rawan memicu konflik sosial. Melegalkan cantrang menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap nelayan tradisional.
”Dengan konsep pemanfaatan sumber daya berbasis WPP seharusnya yang didahulukan adalah nelayan provinsi setempat. Pemerintah sebetulnya harus mendorong mereka, bukan malah mendatangkan nelayan dari daerah lain kemudian mengebiri hak nelayan setempat,” kata Abdul Halim.