Dosa Bocah ”Broken Home” di Sekolah Rumah Kayu Manado
Seorang siswa SMK Ichthus Manado, yang orangtuanya bercerai, membunuh gurunya pada 21 Oktober 2019. Izin operasional sekolah dicabut sepekan kemudian. Sejak itu, anak ”broken home” tersebut butuh perlakuan khusus.
”Kami, SMK Ichthus, terbuka untuk siapa saja. Yang kami bimbing bukan cuma anak pintar. Mereka yang broken home (anak yang orangtuanya bercerai) pun butuh pendidikan, Jadi, kami akan tetap menerima anak-anak yang broken home.”
Gersy Meike Dien tampak kaku di depan sorotan kamera dan ponsel para wartawan yang merekamnya, tetapi penataan katanya tetap rapi dan formal. Baru dua bulan lalu, ia resmi menjadi guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kristen Ichthus. Siang itu, Senin (14/12/2020), Gersy sudah tampil secara publik sebagai kepala sekolah yang baru.
Namun, tugas pertamanya setelah pegang kendali sedikit sangkut pautnya dengan murid dan kurikulum. Ia justru langsung dihadapkan pada misi memperbaiki nama baik SMK yang terletak di Kelurahan Mapanget Barat, Manado, Sulawesi Utara itu. Intinya, publik harus yakin, sekolahnya layak disebut lembaga pendidikan formal.
Gersy sebenarnya tidak tahu mendetail rentetan peristiwa yang berujung pada pencabutan izin operasional SMK Ichthus, akhir Oktober 2019. Yang ia tahu, selayaknya warga Kota Manado pada umumnya, seorang guru agama tewas pada 21 Oktober 2019 di tangan seorang siswa yang orangtua kandungnya bercerai. Sembilan tikaman disarangkan siswa itu pada tubuh sang guru di pekarangan sekolah.
Sebagai orang baru, Gersy menerima konsensus yang disepakati Yayasan Kasih Gembala sebagai penaung SMK Ichthus: siswa broken home bisa membawa masalah seserius Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) soal pembunuhan berencana di lingkungan sekolah. Reputasi sekolah dipertaruhkan.
Maka, Gersy melanjutkan perkataannya dalam konferensi pers siang itu. ”Tentunya kami, para guru, akan siap membimbing. Kami akan menyiapkan guru bimbingan konseling agar bisa membimbing mereka (siswa) yang broken home.”
***
Sebuah rumah adat Minahasa dari kayu berdiri di lahan berumput hijau, dengan dua tangga di muka menuju tiga ruang di lantai atas. Tembok-tembok beton bercat putih yang juga tersekat menjadi tiga ruangan menopang rumah kayu itu di lantai bawah. Bendera Merah Putih berkibar di pucuk tiang di luar rumah, lebih tinggi dari ornamen Bintang Daud pada dinding atap rumah.
Di sampingnya terhampar perkebunan kelapa yang pohonnya jarang-jarang. Beberapa sapi kurus putih dan coklat diikat di tengah rumput dan semak belukar yang menjalar di antara pohon-pohon kelapa. Jalinan pagar bambu memberi garis batas antara kebun kelapa dengan pekarangan rumah adat.
Penampakan fisik SMK Ichthus, rumah adat itu, terlampau sederhana jika dibandingkan dengan bayangan akan sekolah swasta pada umumnya, yang bangunannya minimal dari beton dan dilengkapi serba-serbi fasilitas penunjang proses belajar-mengajar. Namun, Senin siang itu adalah soal mengucap syukur bagi sekolah berusia 3 tahun itu.
Biarlah kasih membakar energimu sehingga engkau berkarya dengan hati lega.
Kursi-kursi ditata di kanan dan kiri halaman rumah. Di tengahnya berdiri sebuah mimbar. Selembar spanduk dipajang di dinding sebagai latarnya. Tulisannya: ”Yayasan Kasih Gembala Bersyukur Atas Dibukanya Kembali SMK Ichthus Manado”. Sembilan guru, termasuk Gersy, tampil senada dalam busana merah.
Tiga siswa hadir dalam seragam batik dan duduk bersama dua orangtua murid. Mereka adalah siswa kelas X, segelintir dari 48 siswa lainnya yang terdaftar di sekolah itu. Tahun lalu, setelah sekolah ditutup, sekitar 60 murid dipindahkan ke SMK lain sesuai jurusannya. Siswa kelas XII ada yang diikutkan Kejar Paket C.
”Apa pun yang kamu lakukan atau katakan, lakukanlah dan katakanlah dalam nama Tuhan Yesus sambil mengucap syukur!” seru Pendeta Johan Manampiring dalam ibadah syukur yang dipimpinnya. ”Biarlah kasih membakar energimu sehingga engkau berkarya dengan hati lega.”
Jika tujuh wartawan yang hadir tak dihitung, ibadah syukur itu mungkin dihadiri tak sampai 20 orang. Namun, jumlah tak terlalu penting karena pembina yayasan datang jauh-jauh dari Jakarta meninggalkan sejenak kesibukan pelayanannya. Ia adalah Pendeta Shepherd Supit, yang juga Ketua Persatuan Gereja-gereja di Indonesia wilayah DKI Jakarta.
Pendeta Shepherd tak segan mengakui dirinya kurang pengetahuan akan hal-hal teknis dan kurikulum sekolah kejuruan itu. Namun, ia sangat tahu visi dan misi sekolah. Baginya, kesederhanaan fisik sekolah justru adalah modal awal diakonia transformatif—pelayanan untuk perubahan sosial—di daerah rural Manado dan Minahasa Utara.
”Jangan anggap remeh kesederhanaan karena ia bisa jadi sesuatu yang besar. Seperti Mikha Pasal 5 Ayat 1, ’Tetapi engkau, hai Bethlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel’,” katanya.
Pendeta Shepherd berani berkata demikian karena faktanya SMK Ichthus adalah satu-satunya sekolah menengah lanjutan yang ada di Mapanget Barat. Seandainya sekolah itu tak ada, warga sekitar, termasuk daerah Teterusan, Lapangan, Kima Atas, Wusa, Warisa, dan Patokaan, harus menempuh lebih dari 10 kilometer ke SMA atau SMK terdekat.
Di balik kesederhanaan kami, ada kerinduan besar untuk mendidik anak-anak muda di lokasi ini.
Nyaris tiada angkutan kota masuk ke area permukiman warga di sana, yang masih kalah luas ketimbang perkebunan kelapa dan semak-semak liar. Kemampuan ekonomi warga di daerah itu pun, kata Pendeta Shepherd, tergolong menengah ke bawah sehingga biaya transportasi bisa jadi beban signifikan. Maka, SMK Ichthus seharusnya menjadi anugerah.
”Di balik kesederhanaan kami, ada kerinduan besar untuk mendidik anak-anak muda di lokasi ini. Kami juga ingin mengakomodasi kerinduan orangtua murid di sekitar yang agak kesulitan jika anak-anak mereka harus sekolah di tempat yang jauh. Nantinya, malah tidak bisa dikontrol, apa anak benar-benar ke sekolah atau tidak,” tutur Shepherd.
Meike Lontaan, orangtua murid kelas XI jurusan perhotelan, mengamini perkataan Pendeta Shepherd. Bagi dia, yang berlatar belakang ekonomi pas-pasan, kehadiran SMK Ichthus bagai oase di tengah gurun. Anaknya hanya perlu jalan kaki ke sekolah. Uang sekolah pun hanya Rp 100.000 per bulan.
Meike sudah merasakan kesulitan yang cukup besar ketika SMK Ichthus ditutup hingga anaknya harus pindah sekolah ke daerah Kalasey, Minahasa, yang ada di ujung selatan Manado. Kini napasnya semakin lega karena tiga bulan pertama pada semester genap 2021, ia dibebaskan dari kewajiban membayar uang sekolah selama tiga bulan.
Insiden yang terjadi tahun lalu pun tak lagi penting untuk dibahas. ”Orangtua mana yang tidak khawatir tentang anaknya. Tetapi, saya yakin sekolah ini sudah jadi lebih baik,” ujar Meike.
Bagi Pendeta Shepherd, kejadian pada Oktober 2019 itu murni human error, disebabkan kelalaian siswa karena kodratnya dari manusia yang tak luput dari cela. Kendati begitu, tetap ada hikmah di balik musibah. SMK Ichthus pun berbenah, dimulai dari rekrutmen tujuh guru baru dari total sembilan demi tampak anyar dan lebih segar.
Getar optimisme Gersy sefrekuensi dengan Shepherd. SMK Ichthus siap menapaki lembaran baru. Delapan syarat pendidikan nasional yang disyaratkan Dinas Pendidikan Sulut demi pembukaan kembali mereka coba penuhi.
Mula-mula, standar pendidik dan tenaga kependidikan. Dua jurusan yang mereka buka, Perhotelan dan Administrasi Perkantoran, mereka isi dengan guru-guru berkualifikasi sesuai. Ada juga guru khusus Matematika dan Bahasa Indonesia. Adapun jurusan pertanian dan kelistrikan belum dapat dibuka karena memang belum ada guru.
Tidak ada anak yang terlalu bodoh, tidak ada anak yang terlalu nakal, semua bisa dibina.
Tanpa menyebut lokasinya, Gersy juga menyatakan SMK Ichthus sudah punya laboratorium perhotelan. Jadwal belajar-mengajar ia janjikan tak akan luput lagi sehingga siswa tak bisa bebas keluar-masuk area sekolah sesuka hati. Ia juga menjanjikan ada petugas keamanan untuk mengawasi murid dan mencegah musibah lainnya terjadi.
Sudah ada 10 siswa baru kelas X jurusan perhotelan yang diterima. Adapun bangku-bangku di kelas XI dan XII akan diisi oleh siswa yang ditarik kembali dari sekolah-sekolah tempat mereka dipindahkan setelah penutupan SMK Ichthus pada 2019. Jumlah siswa nantinya menjadi 48. ”Jika Dapodik (Data Pokok Pendidikan) SMK Ichthus sudah dibuka, kami dapat segera melaksanakan proses mutasi. Kami masih menunggu konfirmasi dan penerbitan izin operasional dari Dinas,” kata Gersy.
Ia mengakui, konferensi pers siang itu hanyalah formalitas, sebuah syarat tambahan dari Dinas Pendidikan Sulut demi mendapat izin operasional sekolah. Dengan begitu, masyarakat tahu bahwa insiden yang dulu menggemparkan seisi kota, bahkan negeri, itu kini hanyalah serpihan masa lalu yang telah dilumat waktu.
Pendeta Shepherd melihat semuanya itu baik. Namun, ia tak mampu menampik kekhawatirannya akan penerimaan siswa broken home. Atas alasan normatif dan finansial, tidak mungkin juga mereka ditolak. ”Kalau ada sesuatu yang rusak, pasti Tuhan mampu memulihkannya. Tidak ada anak yang terlalu bodoh, tidak ada anak yang terlalu nakal, semua bisa dibina,” ujar Shepherd.
***
FL tak ambil pusing. Senin, 21 Oktober 2019, pukul 10.00 Wita, siswa SMK Ichthus yang masih berumur 16 tahun kala itu menyulut rokok, lalu mengisapnya dengan santai di depan ruang guru. Ia bukannya tak terlihat, malahan tak sendirian karena ada seorang temannya, O, yang saat itu berusia 17 tahun.
Mereka baru saja kelar menjalankan hukuman merapikan pot tanaman dan polybag di halaman. Pagi itu, keduanya datang terlambat. Lucunya, selesai satu pelanggaran, mereka terang-terangan melanggar peraturan sekolah lainnya, yaitu larangan merokok.
Tingkah itu rupanya membuat Alexander Valentino Werupangkey (54), guru agama yang juga pendeta, merasa dikangkangi. Segera ia menghampiri para siswa yang merokok itu lalu menegur mereka. Alexander menarik ponsel dari sakunya, kemudian mulai merekam mereka sambil melaporkan situasi seolah sedang siaran langsung televisi.
FL merasa terusik. ”Mister, tolong kasih mati kamera,” katanya. Namun, kata-katanya mental dari telinga Alexander yang terus merekam. Di tengah reportasenya, guru agama itu menyisipkan ancaman akan mengunggah video itu di media sosial.
Pertengkaran antara guru dan dua siswa itu pun tak terhindarkan. Ujungnya, FL diminta pulang saja ke rumahnya ketimbang bikin ribut. Ia menurut dan beranjak. Rumahnya cuma 200 meter dari sekolah. Namun, Alexander tiba-tiba menantangnya membawa bala bantuan untuk melawannya. ”Saya tidak takut!” seru guru agama itu.
Tantangan itu memecahkan bendung amarah si remaja. ”Tunggu di situ!” FL menghardik balik. Sesaat kemudian, ia sudah kembali dengan sebilah badik bergagang putih di tangannya.
Baca juga: Mencari Keadilan bagi Remaja Pembunuh Guru
Rentetan peristiwa selanjutnya terekam oleh ponsel seseorang dari lantai atas sekolah. FL tampak beringas mengejar Alexander yang berlari tertatih, kewalahan memohon si murid untuk berhenti menyerangnya. Pendeta itu akhirnya terkulai lemas di halaman sekolah. Tak satu pun orang datang melerai. Sosok O, teman yang bersama FL saat awal tadi, tak tampak di video itu.
Tiba-tiba FL panik dan gemetar, tak menyangka amarah telah membuatnya kesetanan. Ia harus lari. Satu tujuan muncul di kepalanya, yaitu rumah neneknya. Hati FL kacau, pikirannya tak tenang dan berubah-ubah. Lalu ia menelepon ayahnya, meminta diantarkan ke rumah ibu kandungnya di Likupang, Minahasa Utara.
Kabar ngeri itu ternyata cepat menyebar. ”Sudah, Papa jemput, lalu bawa ke kantor polisi saja, ya,” jawab ayah FL. Rupanya, dua teman FL sudah lebih dulu melaporkan perbuatannya pada ayah dan ibu tirinya.
Dan, sebagai anak penurut, FL mengiyakan. Rekaman peristiwa itu terus berputar di kepalanya selama perjalanan, hingga akhirnya dituangkan dalam berita acara polisi di Polsek Mapanget.
Pada saat yang sama, Alexander meregang nyawa. Tim medis tergesa membawanya ke ruang operasi Rumah Sakit Umum Pusat Prof dr RD Kandouw Manado. Isak tangis Silvia Walalangi, istri Alexander, mengiringinya. ”Sudah, berdoa saja,” sang suami sempat menghibur istrinya yang kalut.
Namun, sekitar pukul 15.00, denyut nadi Alexander berhenti. Otopsi mengungkap sembilan tikaman yang disarangkan FL di tubuhnya. Badik sang murid telah menghunjam beberapa organ penting sang guru, antara lain hati dan paru-paru. Dan, secara tidak langsung, FL juga menghunjamkan pada jiwa Silvia sebuah luka yang teramat dalam.
***
Beberapa versi kronologi mencuat setelah kejadian itu, tetapi yang resmi adalah hasil penyelidikan Polresta Manado. Secara resmi terbukti, FL dan O berdiskusi dan sepakat untuk membunuh Alexander setelah ketiganya berdebat. Mereka pun terlibat pembunuhan berencana yang dilarang Pasal 340 KUHP.
Penyelidikan juga mengungkap, FLmenikam Alexander berkali-kali begitu saja ketika sang guru agama sudah mengendarai motornya hendak meninggalkan sekolah. Provokasi yang dilontarkan Alexander beberapa saat sebelumnya tidak menjadi informasi kunci dalam penyelidikan meski tetap tercatat dari beberapa saksi.
Lagi pula, itu tidak akan mengubah fakta hukum bahwa FL pulang mengambil pisau, kemudian menggunakannya untuk menghilangkan nyawa gurunya. ”Itu (provokasi oleh Alexander) sudah tidak bisa dikonfirmasi karena korban sudah meninggal,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Manado Ajun Komisaris Thommy Aruan, beberapa hari setelah pembunuhan pada Oktober 2019.
Memang, polisi hanya bertugas membuktikan tindak kriminal yang terjadi, bukan mengungkap mengapa seseorang mengambil tindakan demikian. Intinya, FL dan O telah melanggar hukum negara dan moral kemanusiaan, titik. Sisanya terserah pengadilan.
Katharina Lapagu (59) punya kesimpulannya sendiri dari hasil penyelidikan selama di sekolah. Tahun lalu, ia menjabat Kepala SMK Ichthus. Dengan nada bicara dan raut wajah bangga, ia mengatakan FL sering curhat langsung padanya tentang kekesalannya pada ibu tirinya. Jabatannya sebagai kepala sekolah tak membuatnya berjarak dari siswa.
Kalau ada tingkah laku anak yang tidak biasa, torang (kita) harus cepat ambil tindakan.
”Anak ini sudah sering mengeluh kalau mama tirinya begini dan begitu. Ada kemarahan yang lama terpendam karena keadaan rumah. Kita (saya) belum sempat sampaikan pada ibu tirinya, tetapi sudah kejadian lebih dulu,” ujar Katharina.
Katharina merayakan ulang tahunnya yang ke-59 bersamaan dengan hari ibadah syukur pembukaan kembali SMK Ichthus. Ia tampil modis dalam seragam merah kain bentenan Minahasa, dengan rona pipi merah dan eye shadow hitam yang sedikit tak merata. Kado ulang tahun telah ia terima beberapa bulan lalu, yaitu ”naik pangkat” menjadi Sekretaris Yayasan Kasih Gembala.
Sebagai guru berusia 59 tahun yang telah puluhan tahun pula malang melintang dalam urusan didik mendidik, Katharina cukup percaya diri untuk menarik sebuah teori besar dari pengalaman mengikuti kasus FL. Jika orangtua siswa bercerai, sekolah akan kesulitan membina kerja sama dan komunikasi tentang perkembangan siswa. Jika mau menerima siswa broken home, sekolah sudah seharusnya sadar akan risiko yang dibawa.
”Kalau ada tingkah laku anak yang tidak biasa, torang (kita) harus cepat ambil tindakan. Torang harus rangkul anak-anak, cari tahu kiapa dorang (mengapa mereka) begini, kemudian cepat konsul deng orangtua sebelum kejadian tahun lalu,” ujar Katharina.
Kehadiran Badan Pemasyarakatan (Bapas) Manado dalam kasus itu memberikan perspektif lain. Robert Derry, seorang Pembina Kemasyarakatan Muda, diutus untuk membimbing dan mendampingi FL melalui lika-liku proses hukum. Ia pun menolak premis yang dibuat SMK Ichthus secara khusus dalam kasus ini.
Robert yakin, berdasarkan hasil pendampingan, kliennya bertindak demikian bukan karena kurang kasih sayang di rumah. Pada awal pendampingan, Oktober 2019, Robert juga melihat FL sangat lancar dalam berdoa. Bukti ia ditelantarkan sangat sedikit.
Orangtua FL bercerai ketika ia masih kecil. Pada usia 10 tahun, ia diperkenalkan pada ibu tirinya, Friscka Barahula (36) dan tiga saudara baru. Sejak itu, FL tinggal dengan keluarga barunya itu di rumah mereka sekarang, 200 meter dari SMK Ichthus.
”Justru ibu tirinya sangat peduli. Kami tidak menemukan kaitan perbuatannya dengan fakta dia (FL) broken home. Malahan, dia disekolahkan di situ (SMK Ichthus) agar dekat dan orangtuanya bisa memantau,” kata Robert dalam percakapan via telepon.
Justru kami tidak menemukan kaitan dengan broken home.
Robert melanjutkan, biang masalah justru mengakar pada kemarahan pribadi FL pada Alexander. Boleh dikatakan, bukan hanya FL dan O yang kesal terhadap guru agama itu. Celakanya, hanya FL yang ”kelepasan”. Beberapa siswa telah diinterogasi dan semua punya kesaksian yang sama.
”Almarhum guru itu sering mengobral kata-kata yang menyulut (emosi siswa), yang tidak sepantasnya dilontarkan seorang guru. Sering menunjukkan dirinya jagoan karena pernah bage (hajar) orang. Kebetulan dia juga bisa bela diri, entah karate atau apa,” kata Robert.
Senin pagi, 21 Oktober 2019, itu menjadi titik jenuh kekesalan FL. Tantangan dari sang guru betul-betul membakar murkanya. Di samping itu, sistem sekolah yang buruk seolah melapangkan jalan untuk peristiwa itu. Pada hari kejadian, misalnya, program praktik kerja lapangan (PKL) yang diikuti FL sudah tidak berjalan berhari-hari. Tidak ada pula prasarana keamanan yang memadai seperti pagar, apalagi petugas keamanan.
”Puntung rokok juga ada di mana-mana. Artinya, siapa saja dibiarkan bebas merokok. Jadi, sebenarnya pengaruh utama, ya, lingkungan sekolah itu sendiri. Justru kami tidak menemukan kaitan dengan broken home,” tutur Robert.
Lengkana Nasman, psikolog rekanan Bapas Manado yang turut membimbing FL, punya pandangan serupa. Lewat telepon, dia menyatakan tak ada bukti bahwa FL adalah tipe ”bocah begal”.
Justru gurunya sering melontarkan hal yang tidak mengenakkan dan seakan menantang para murid berkelahi. Lengkana juga mengaku heran, mengapa almarhum Alexander berani menantang siswa ketika penegakan disiplin di sekolah memang buruk.
”Dulu saya juga merokok rame-rame waktu SMA, tetapi di kantin dan langsung saya matikan kalau guru olahraga datang. Lah, sekarang, anak-anak (SMK Ichthus) malah merokok di depan ruang guru, terlihat oleh guru-guru dan petugas administrasi. Ini kayak gimana?” katanya.
Logat Sunda Lengkana tak luntur meski sudah 32 tahun tinggal di Manado. Psikolog yang biasa berurusan dengan narapidana itu melanjutkan, ”Ini, kan, anak remaja, ya jangan diancam dong. Remaja mah dinasihati, bukan diajak kelahi. Hari gini, yah, remaja boleh ditegur, tapi harus friendly. Kita tonjolkan keunggulannya, keburukannya nanti bisa hilang sendiri.”
Sejak insiden itu, kritik dan cerca tak hanya terus terlontar pada pelaku, terutama FL. Katharina Lapagu mengatakan, Dinas Pendidikan Sulut pun juga kena getahnya. “Pemprov merasa mereka di-bully publik di medsos. Karena terlalu ramai, akhirnya sekolah ini ditutup, padahal, kan, keadaan di medsos tidak bisa jadi alasan utama,” kata Katharina yang mengaku turut merintis SMK Ichthus sejak 2017.
Tepat sepekan setelah pembunuhan Alexander, Kepala Dinas Pendidikan Sulut dr Liesje Grace Punuh mencabut izin operasional SMK Ichthus menurut rekomendasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tim investigasi telah diturunkan ke lapangan dan terungkaplah berbagai masalah yang telah lama dibiarkan, seperti plak di gigi yang lama kelamaan menjadi lubang.
Pertama, reputasi sekolah itu buruk karena kerap menerima siswa drop out dari SMK lain, seperti SMK Negeri 5 Manado. Kedua, sistem pembelajaran tidak lancar, tidak pernah mulai tepat waktu pada pukul 07.00 seperti dijadwalkan sendiri oleh tim guru. Upacara bendera pun nyaris tak pernah digelar.
Ketiga, proses belajar sering tak menentu karena gaji guru kerap macet dari yayasan sehingga sekolah sering gonta-ganti guru. Akibatnya, Dapodik SMK Ichthus dicabut, dan 62 siswa dipindahkan ke SMK lain. Mereka diwajibkan mengikuti tes kemampuan terlebih dahulu untuk menguji hasil belajar selama ini.
***
Pembunuhan terhadap Alexander mencederai nurani publik. Seseorang bernama Darell Mawitjere bahkan membuat petisi daring yang mengajak setidaknya 100 orang menuntut Pengadilan Negeri (PN) Manado menjatuhkan hukuman mati bagi FL. Petisi itu tidak pernah mencapai target 100 penanda tangan.
Untungnya, proses hukum berlangsung relatif cepat di Pengadilan Negeri Manado. Tak sampai genap dua bulan, Ketua Majelis Hakim Franklin Tamara menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun pada FL dan 8 tahun pada O pada 2 Desember 2019. Silvia Walalangi, istri almarhum Alexander, menangis histeris mendengar pembacaan vonis itu. Tidak adil, pikirnya.
Di luar gedung pengadilan, massa sudah siap jika harus melangkah 1.000 tahun ke belakang menjadi barbar. Kalau cuma dihukum 10 tahun, kata mereka, lebih baik FL dibebaskan saja sekalian. ”Kase bebas jo, biar nanti di luar bakudapa deng torang!” (Bebaskan saja, nanti ketemu kami di luar!)
Setelah emosinya terkendali, Silvia menyatakan keterpaksaannya menerima putusan hakim. Hukuman 10 tahun hanya setengah dari hukuman maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelanggar Pasal 340 KUHP. Ia tidak terima para pelaku dilindungi sistem peradilan anak yang juga memuat pendampingan dari Bapas.
Sistem peradilan anak harus dikoreksi, jangan melindungi anak di bawah umur yang sengaja menghilangkan nyawa manusia.
”Seharusnya pelaku jangan dilindungi sistem peradilan anak. Dalam kasus ini, mereka telah berencana membunuh suami saya. Sistem peradilan anak harus dikoreksi, jangan melindungi anak di bawah umur yang sengaja menghilangkan nyawa manusia,” kata Silvia.
Walakin, palu hakim telah diketok. FL dan O dijebloskan ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Tomohon. Setidaknya hingga 2021, mereka masih akan menyandang status narapidana anak.
Namun, bagi Lengkana, psikolog mitra Bapas Manado itu, FL sebenarnya sudah cukup siap kembali bermasyarakat, bahkan sebelum menjalani hukumannya. Sejak masih ditahan di Polresta Manado, Lengkana telah melihat penyesalan yang besar dalam diri FL. Bukan karena dirinya akan masuk penjara, melainkan murni karena teringat akan perbuatannya yang keji tersebut.
”Dia menangis terus karena perbuatannya salah. Dia bilang patut dan siap menerima hukuman, padahal belum divonis. Kesan saya sangat bagus terhadap anak itu. Orangnya juga, sebenarnya biasa-biasa saja. Nakalnya sewajarnya anak SMK pada umumnya,” ujarnya.
Lengkana sudah melihat yang terburuk dari kelompok manusia terburuk di lembaga pemasyarakatan empat tahun terakhir, mereka yang pura-pura menyesal sampai yang tidak menunjukkan sesal sedikit pun. Suatu kali ia menghadapi seorang narapidana yang sudah delapan tahun mendekam di penjara karena memerkosa dan membunuh pacarnya.
Dia dipersiapkan untuk asimilasi, tetapi apa yang dikatakan benar-benar membuat Lengkana shock. ”Dia tetap merasa berhak melakukan apa yang dia lakukan. Bahkan, dia menyatakan, ’Yang penting dia yang tercantik di kampung dan saya yang mendapatkan keperawanannya.’ Saya marah sekali, saya bilang, proses pemasyarakatannya telah gagal. Dia tidak dapat dimasyarakatkan,” ujar Lengkana.
FL adalah titik ekstrem lain dari narapidana itu dan ia sangat mengesani sang psikolog. Menurut Lengkana, sedari awal penahanannya, FL sadar kesempatan mengenyam pendidikan formal sudah hangus. Ia sempat ingin menjadi pendeta, tetapi kesempatan meraih gelar sarjana atau master di ranah teologi ia anggap sudah hangus pula.
Baca juga: Gunung Es dari Perilaku Kejahatan Anak
Dalam dialog saat pendampingan, Lengkana mengingat, FL menyatakan rencananya untuk belajar alkitab secara otodidak atau informal agar bisa menjadi penginjil. Ia ingin menyebarkan kabar suka cita surgawi ke berbagai tempat. Ia percaya, injil dapat mengubah hidup banyak orang.
”Banyak pendeta yang dapat menyadarkan umat dari kesalahannya melalui pelayanan. FL juga ingin mengubah hidup orang sebagai upaya menebus kesalahannya. Ia sangat terinspirasi oleh para pendeta, tetapi mungkin bukan pendeta yang itu (almarhum Alexander),” ujar Lengkana mewakili kliennya.
***
Friscka Barahula tak ingin menerima tamu Senin siang itu. Ia hanya berdiam di ambang pintu. Jangankan menawari duduk, kursi di halaman rumahnya bahkan tak ia lirik. Alisnya yang seharusnya tebal seperti stempel, dengan garis-garis yang lurus layaknya ditarik dengan penggaris, memudar. Matanya sayu, rambutnya berantakan. Jelas dia baru bangun tidur siang.
Apa yang terjadi pada FL, anak tirinya, tak menghambatnya. Hidup harus berlanjut, dan ia melanjutkannya. Selain rambutnya yang kini pirang, Friscka juga memiliki usaha kecil di halaman rumahnya. Ia menjual krim kecantikan serta beberapa asesoris feminin. Sebuah spanduk yang memuat fotonya dipajang di samping kotak etalase dagangannya.
”Yah, dia baik-baik. So (sudah) di (LPKA) Tomohon,” ujarnya ketika ditanya soal FL. Tak seperti setahun silam, perlu pertanyaaan susulan agar ia mau membeberkan keadaannya. ”Hubungan (kami) masih baik, masih sering berkunjung ke sana. Namun, karena Covid-19, belum pigi (pergi) ulang. So dua bulan,” katanya.
Memang harus begitu, kami percayakan saja.
Seperti FL, Friscka mengakui kesempatan pendidikan formal bagi anak tirinya itu tertutup sudah. Setidaknya 10 tahun ke depan ada pendidikan yang difasilitasi Bapas Manado. Sebagai orangtua, memang tidak ada pilihan selain berlapang dada. Lagi pula, FL sudah mengakui kesalahannya. ”Memang harus begitu, kami percayakan saja,” katanya.
Tahun lalu, Friscka sempat menyesalkan kejadian itu ketika masih hangat-hangatnya. Seandainya kegiatan PKL berjalan lancar, kesempatan berbuat kriminal tak akan terbuka selebar itu. Ia juga memahami bahwa anaknya bosan, setiap hari hanya di rumah karena sekolah tak jelas. Semua tak akan terjadi seandainya almarhum Alexander tak pernah menantangnya pagi itu.
Kini, Friscka tak terlalu ingin tahu keadaan di SMK Ichthus. Pada hari pembukaan kembali sekolah itu, ia menyatakan tidak ada dan tidak akan ada satu pun dari tiga saudara tiri FL yang disekolahkan di sana. Lebih baik cari sekolah lain, katanya. Apakah karena takut jadi buah bibir di sekolah atau takut anaknya jadi korban perundungan, Friscka tidak bilang.
Kehidupan keluarga Silvia Walalangi, istri almarhum Alexander, pun berlanjut. Perih karena kehilangan yang mereka rasakan setahun lalu belum terlupakan, tetapi dapat ditenggelamkan dalam kesibukan sehari-hari, setidaknya sementara. Silvia pun masih bekerja seperti biasa sebagai pegawai negeri sipil di Minahasa.
Vemmy Tulungan-Walalangi (65) masih mengingat kehancuran hati Silvia, putrinya. Vemmy menggenggam tangan Silvia yang kalut pada detik-detik terakhir kehidupan Alexander. Ia juga ikut tenggelam dalam isak tangis ketika anaknya meratap ditinggal suami terkasih.
Alexander, menantunya itu, sudah ia anggap anak sendiri semenjak ia mulai tinggal di rumahnya setelah menikahi Silvia lima tahun lalu. ”Belum riki (sempat) ada anak, kasiang. Tapi dia (Alexander) so ada anak dua di Manado (dari pernikahan sebelumnya),” ujar Vemmy, Jumat (18/12/2020).
Menurut Vemmy, almarhum menantunya adalah orang yang sangat baik dan tak pernah sekalipun kasar kepadanya, suaminya, ataupun anaknya. Kata-kata sang ibu senada dengan Silvia, dalam ibadah duka pada 2019. Saat itu, Silvia menggambarkan suaminya sebagai pendeta pecinta damai yang tak bisa tidur jika sedang punya masalah dengan seseorang.
Hukuman 10 tahun jelas kurang, tapi torang pasrah jo.
Kebaikannya memberikannya banyak anak bimbingan rohani. Kepada Silvia sendiri, cinta kasihnya terwujud bahkan dalam hal sesederhana penggunaan kata angko (’kamu’) yang lebih halus ketimbang ngana ketika berbicara dengan Silvia.
Tetangga-tetangga yang selama ini segan karena kebaikan pendeta sekaligus guru itu ikut terpukul mendengar Alexander meninggal dengan cara yang keji. Karena itu, Vemmy masih tak rela menerima kenyataan FL dan O hanya divonis masing-masing 10 tahun dan 8 tahun.
”Sampe sekarang kita nimau (tidak mau) kase maaf pa anak-anak kapista (maafkan anak-anak kurang ajar) bagitu. Di pengadilan torang ada kase lia (perlihatkan) video yang Valent (panggilan Alexander di rumah) ada rekam sebelum dorang bunuh pa dia (mereka membunuhnya). Hukuman 10 tahun jelas kurang, tapi torang pasrah jo,” ujar Vemmy.
Terlepas dari itu, Vemmy pun belajar melupakan dan melanjutkan hidup. Halaman rumahnya di Tondano Utara, Minahasa, kini dipenuhi tanaman-tanaman hias seperti kuping gajah, puring, dan beberap jenis bunga. Di dua lorong samping rumahnya, puluhan, mungkin ratusan pot kecil ditata pada rak bambu yang diteduhi atap seng.
Hobi yang sudah dimilikinya dari dulu itu semakin ia hayati, terutama sejak pandemi Covid-19 merebak. Sekarang, ia lebih suka merawat dan menumbuhkan tanamannya, yang ia sendiri tidak tahu pasti ada berapa batang. Kemarahan dan patah hati Vemmy tak akan ikut tumbuh di tengah hijau segar yang terus tumbuh di taman botani mini miliknya.
***
”Kalau sudah dapat persetujuan untuk buka, pada prinsipnya (SMK Ichthus) sudah memenuhi semua persyaratan bagi sekolah kejuruan. Saya tidak hafal apa saja syarat yang harus dipenuhi, tetapi yang penting sudah ada perbaikan dari SMK Ichthus,” kata dr Lisje Grace Punuh, dokter yang menjadi Kepala Dinas Pendidikan Sulut.
Selama beberapa bulan ke depan, Dinas Pendidikan Sulut tak akan berhenti ”memelototi” sekolah berbentuk rumah kayu itu. Tim pengawas dan investigasi akan dikirim ke lapangan untuk mengawasi selama masa percobaan itu.
Katharina Lapagu, mantan kepala sekolah yang sudah naik pangkat jadi sekretaris yayasan itu, menyebut Dinas Pendidikan Sulut adalah atasan mereka. Apa pun yang diminta bos, tentu harus dituruti bawahan. Syarat-syarat dalam delapan standar nasional pendidikan telah mereka coba penuhi.
Guru-guru sudah punya SK kontrak dengan yayasan, ada tanda tangan di atas meterai.
”Torang pe sekolah ini lengkap persuratannya. IMB (izin mendirikan bangunan) ada, sertifikat hibah tanah ada, NPSN (nomor pokok sekolah nasional) ada, NPWP (nomor pokok wajib pajak) sekolah ada. Tidak ada yang tidak lengkap. Guru-guru sudah punya SK kontrak dengan yayasan, ada tanda tangan di atas meterai,” kata Katharina.
Untuk sementara, SMK Ichthus masih berupaya mencari guru untuk jurusan pertanian dan kelistrikan. Sebelum ada guru yang kualifikasinya sesuai, jurusan tidak boleh dibuka.
Pembukaan kembali sekolah pada bulan Desember berarti para siswa SMK Ichthus akan memulai sekolah pada semester genap. Gersy, kepala sekolah saat ini, dan Katharina tak menjelaskan bagaimana mekanisme pembelajaran akan dimulai, terutama ketika pembelajaran harus dilaksanakan secara daring di tengah pandemi Covid-19.
Gersy dan Katharina juga tidak menjelaskan mengapa 10 siswa baru jurusan perhotelan tidak hadir dalam ibadah pembukaan kembali sekolah. Sementara dua dari tiga siswa yang hadir, Riska pontoh (15) dan Vanessa tiwow (15), mengaku sebagai siswa kelas X jurusan administrasi perkantoran, tak termasuk dalam 10 siswa baru yang disinggung Gersy.
Covid-19 pun disebut menghalangi kehadiran semua siswa sehingga hanya beberapa yang diwakilkan. Pada titik itu, manajemen SMK Ichthus memang hanya ingin izin operasional diterbitkan. Konferensi Senin siang itu adalah syarat pamungkas yang harus dipenuhi.
Selepas bubar ramah-tamah dengan beberapa pengurus yayasan, Katharina dan beberapa guru lain segera bersiap menuju kantor Dinas Pendidikan Sulut. Persyaratan memang sudah penuh. Ia ingin, sekolah yang ia rintis bersama yayasan itu kembali hidup oleh kegiatan belajar-mengajar.
Baca juga: Salah Kaprah Pendidikan Karakter di Sekolah
Pada satu titik sebelum berangkat, Katharina seperti mengulang hasil temuan Bapas Manado. ”Insiden itu jadi pelajaran buat torang. Ke depan, guru-guru jangan ada yang kata-katanya di luar kata-kata pendidikan,” katanya.
Satu per satu guru dan undangan pergi. Desau angin menggantikan celoteh manusia di pekarangan rumput sekolah. Dan, perkataan penutup Pendeta Johan Manampiring ketika ibadah sayup-sayup kembali terdengar bagi yang meresapinya.
”Ichthus artinya ikan dalam bahasa Yunani. Artinya, sekolah ini ingin menjalankan perutusan menjadi penjala manusia, menangkap yang mati rohani untuk diubah menjadi hidup.”