Kerugian Banjir Bandang Kolaka Utara Rp 6,5 Miliar, Kerusakan Hulu Mendesak Ditangani
Banjir bandang di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, menyebabkan kerugian hingga Rp 6,5 miliar. Perbaikan di kawasan hulu harus jadi prioritas utama.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kerugian akibat banjir bandang di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, mencapai Rp 6,5 miliar. Selain ribuan rumah rusak, banjir menyapu ratusan hektar kawasan perkebunan dan persawahan warga. Penyebab utama banjir, yaitu rusaknya kawasan hulu, harus ditangani agar bencana tidak terulang di kemudian hari.
Banjir bandang menerjang 1.079 rumah di 10 desa dan kelurahan serta merusak tujuh rumah ibadah dan sekolah di berbagai wilayah. Tercatat warga terdampak mencapai 3.379 jiwa, dengan total 1.040 rumah tangga. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kolaka Utara menyebutkan, total kerugian akibat banjir bandang mencapai Rp 6.534.030.000.
”Selain ribuan rumah, 205 hektar lahan persawahan dan 182 hektar kebun warga terimbas luapan banjir. Ada 471 ekor ternak yang hilang dari banjir ini,” kata Kepala BPBD Kolut Syamsuryani, dihubungi dari Kendari, Sultra, Selasa (22/12/2020).
Sejauh ini, ia menuturkan, pihaknya masih terus mendata kerugian dan dampak banjir bandang. Selain itu, penyaluran bantuan dan evakuasi terhadap warga juga terus dilakukan.
Hal itu seiring masih adanya lebih kurang 50 rumah tangga yang berada di daerah yang sangat sulit dijangkau, khususnya di Desa Puncak Monapa. Akses jalan terputus dan warga harus melintasi bukit terjal untuk keluar dari perkampungan.
Terkait ribuan rumah yang rusak, menurut Syamsuryani, pihaknya akan memfasilitasi perbaikan kediaman warga tersebut. Pihaknya akan mengusulkan dana ke pemerintah pusat, khususnya ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terkait pengadaan hunian sementara maupun hunian tetap.
”Saat ini masih pendataan final karena kami masih dalam situasi darurat. Ke depan, perbaikan rumah akan kami kirimkan ke pusat karena anggaran di daerah juga sangat terbatas,” ucapnya.
Banjir bandang menerjang tiga kecamatan di Kolaka Utara pada Kamis (17/12/2020) malam. Tiga daerah aliran sungai yang berada di tiga kecamatan, yaitu Rante Angin, Lasusua, dan Wawo, meluap dalam jangka waktu yang tidak jauh berbeda.
Sungai di Rante Angin lebih dahulu menerjang dua desa dan satu kelurahan, diikuti di daerah Wawo yang mendera dua desa. Setelahnya, aliran sungai di Lasusua meluap dan menerjang empat desa dan satu kelurahan. Tiga wilayah paling terdampak adalah Desa Tojabi, Batu Ganda, dan Desa Pitulua.
Kepala Desa Tojabi, Sukirman (52), menceritakan, banjir terjadi begitu cepat meski hujan hanya gerimis di wilayahnya. Ketinggian air naik dengan cepat dan mengalir deras membawa potongan batang kayu dan ranting pohon.
”Saya sedang melayat, lalu dikasih tahu bahwa air di Sungai Batu Ganda meluap. Pas saya tiba di desa, air sudah masuk ke perkampungan. Saya lalu ke masjid untuk mengumumkan ke warga agar segera mengungsi,” kata Sukirman, Jumat pekan lalu.
Begitu cepatnya air menggenangi pemukiman, ia melanjutkan, warga tidak sempat lagi menyelamatkan barang berharga. Semua warga fokus menyelamatkan diri karena ketinggian air terus bertambah dan mengalir deras. Jarak perkampungan dari sungai sekitar 50 meter. Sungai Batu Ganda merupakan salah satu sungai besar di Kolaka Utara, yang membentang selebar 40 meter.
”Saat ini kami khawatir akan banjir lagi karena sudah gelap lagi di hulu. Kalau di sana hujan deras, kami di sini yang kena dampaknya. Sepertinya di sana hutan sudah rusak karena banyak batang pohon yang ikut arus,” tuturnya.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Sultra, curah hujan di Kolaka Utara pada Kamis sangat rendah, yaitu hanya 1,8 milimeter. Curah hujan ini sangat rendah dibandingkan sehari sebelumnya yang mencapai 125,5 mm/hari atau termasuk kategori lebat.
Nur Arafah, pengajar Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, menjelaskan, banjir yang membawa material lumpur dan potongan kayu merupakan bukti tak terbantahkan rusaknya hutan di daerah hulu. Kondisi tanah tidak mampu lagi menyerap air sehingga semua curah hujan masuk ke sungai.
”Potongan kayu juga membuktikan adanya aktivitas penebangan pohon secara ilegal. Kemungkinan besar di daerah hulu sudah sangat terbuka jika banjir bandang terjadi begitu cepat,” katanya.
Sekitar lima tahun lalu, ia menuturkan masuk ke wilayah pegunungan di Kolaka Utara. Saat itu, kondisi di daerah hulu tersebut sudah sangat terbuka, khususnya akibat perkebunan berbagai jenis.
Oleh karena itu, tambah Arafah, penanganan jangka pendek harus dilakukan sesegera mungkin, terutama penanaman kembali daerah hulu dan menjaga agar hutan tidak semakin terbuka. Pekerjaan ini harus dilakukan lintas sektor karena mencakup banyak kepentingan dan kompleksitas permasalahan.
”Jika tidak segera tertangani, bencana akan terus datang dan masyarakat akan paling terdampak. Tinggal kemauan pemerintah mengambil langkah sesegera mungkin,” ucapnya.