Cinta Menembus Batas Tanpa Syarat
Generasi milenial Maluku terus berupaya menembus sekat segregasi yang terbentuk akibat konflik sosial dua dekade lalu. Semangat kasih lewat saling berbagi menjadi kekuatan mereka. Kasih tanpa syarat.
Pendeta Eklin Amtor de Fretes (28) datang ke sekretariat Komunitas Rumah Beta pada Kamis (17/12/2020) siang dengan membawa sejumlah kado Natal. Kado yang dihimpun dari sejumlah donatur itu akan dihadiahkan bagi belasan anak dengan HIV/AIDS yang didampingi komunitas tersebut. Anak-anak itu berasal dari berbagai latar belakangan, termasuk agama.
Sambil tetap menjaga jarak dan memakai masker, anak-anak itu menanti pembagian kado yang dikemas dalam kotak. Sesekali Eklin melempar candaan, yang disambut senyum dan tawa riang anak-anak. Tak tampak ada kesedihan di raut wajah mereka yang hidup dengan HIV/AIDS itu.
Eklin meraih tas, mengambil sebuah boneka dan mulai mendongeng. Ia menggerakkan boneka sambil memainkan suara dengan seni ventriloquisme, sebuah teknik berbicara tanpa menggerakan bibir. Anak-anak itu menyimak dan sesekali berinteraksi saat Eklin melempar pertanyaan. Mereka ramai-ramai mengacungkan telunjuk berebut menjawab.
Baca juga: Mau Tahu Potret Kerukunan Maluku 4 Tahun Terakhir?
Dongeng yang dibawakan Eklin berkisah tentang saling mengasihi sesama ciptaan Tuhan. Ia mengisahkan dogeng tentang kelinci dan gajah yang tidak saling menyakiti. Kisah itu ia tarik dalam keseharian manusia yang juga dianjurkan agar saling mengasihi. ”Berbagi kado untuk teman-teman itu contoh perbuatan kasih. Jangan lihat suku, agama, atau warna kulitnya,” ujar Eklin.
Eklin merupakan salah satu tokoh milenial Maluku yang konsen menyuarakan semangat menjaga toleransi dan perdamaian. Dia mendirikan Rumah Dodi. Dodi, akronim dari Dongeng Damai. Di tempat itu berkumpul generasi milenial di Ambon. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, termasuk agama. Mereka sepakat menyebarkan pesan damai dengan cara mendongeng.
Mereka ingin secara perlahan meluluhkan segregasi pemikiran akibat konflik sosial bernuansa agama yang merusakkan persaudaraan Maluku sekitar dua dekade silam. Bukan tanpa tantangan. Tembok segerasi yang mulai luluh itu belakangan kembali menemukan tempatnya akibat menguatnya politik identitas dan provokasi kelompok yang menggunakan baju agama.
Baca juga: Solidaritas di Gereja Ebenhaezer Kampung Yoka
Natal kali ini menjadi momentum bagi Eklin dan teman-temannya untuk menegaskan bahwa mereka tidak goyah menyebarkan pesan perdamaian. Pemberian kado Natal bagi anak-anak yang tidak merayakan Natal merupakan bagian dari pesan kasih. Kasih bersifat universal, untuk siapa saja. Kasih tak boleh meminta syarat. ”Rasa kasih biasanya teruji saat masa-masa sulit, seperti pandemi Covid-19 saat ini,” ucap Eklin.
Kondisi ekonomi yang terguncang akibat pandemi Covid-19 tidak sampai menyurutkan semangat orang-orang Maluku untuk berbagi. Tak hanya komunitas anak muda, jemaat dari Gereja Protestan Maluku di Desa Poka Ambon, misalnya, berbagi dengan tetangga mereka yang beragama Islam. Bantuan dalam bentuk paket bahan pokok itu diberikan kepada 60 kepala keluarga.
Bantuan gereja
Sekretaris Umum Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku Pandeta Elifas Tomix Maspaitella mengatakan, pemberian bantuan dikhususkan bagi mereka yang paling terguncang ekonominya akibat pandemi. Mereka adalah pekerja harian, seperti pengayuh becak, pengojek, sopir angkutan, pedagang asongan, dan buruh serabutan. Juga bagi janda, anak yatim, dan lanjut usia.
Baca juga: Umat Kristiani Ambon Berbagi Bahan Pokok untuk Warga Berpuasa
Menurut Elifas, pemberian bantuan itu semata lantaran rasa persaudaraan sesama warga yang tinggal di dalam satu desa yang sama. Bagi umat Kristiani, umat Muslim yang bertetangga dengan mereka telah menjadi bagian dari proses bersama merangkai persaudaraan selama ini. Saling memberi tidak hanya terjadi pada saat pandemi sekarang, tetapi sejak lama.
Selain saling berbagi, setiap kali hari raya besar keagamaan, pemuda dari agama lain hadir menjaga keamanan. Pada saat shalat Idul Fitri tahun ini, sejumlah pemuda Kristiani hadir menjaga keamanan di beberapa masjid. ”Malam Natal nanti, kami akan jaga keamanan di gereja,” ujar Zulkifli Lestaluhu, tokoh pemuda Muslim Maluku.
Kebersamaan sesama warga menjadi faktor dominan yang membawa Maluku cepat pulih dari konflik. Ambon bangkit menjadi kota dengan indeks toleransi tertinggi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sebelum Covid-19 sempat melampaui 5 persen.
Ambon sempat menjadi kota mati saat konflik. Banyak orang lari meninggalkan Ambon lantaran merasa kiamat telah menghampiri kota itu. Ribuan orang meninggal. Pertumbuhan ekonomi anjlok hingga minus 26 persen.
Uskup Diosis Amboina Mgr PC Mandagi MSC mengatakan, salah satu kunci keberhasilan masyarakat Maluku keluar dan konflik dan membangun kembali persaudaraan adalah sikap saling terbuka, saling mengasihi, dan juga saling mengampuni. Hal itu harus dimulai dari para pemimpin.
Ia mencontoh dirinya yang berani datang menemui seorang tokoh Muslim berpengaruh pada saat perayaan Idul Fitri. Ketika itu, konflik masih membara. Tokoh dimaksud pun sering terlibat perang opini dengan dirinya di media. ”Saya datang ke sana, dan dia kaget. Dia bertanya mengapa Uskup Mandagi berani datang ke rumah saya, tetapi yang pasti hatinya mulai luluh,” ujar Mandagi.
Seiring waktu, terjadi komunikasi dan dialog di antara para pemimpin sehingga tercipta kesepakatan damai di Maluku. Konflik mulai pecah pada 19 Januari 1999 dan mulai reda sekitar tahun 2003. Mandagi yang merupakan salah satu tokoh perdamaian Maluku itu mengaku bangga dengan kedamaian saat ini.
Meski begitu, itu masih tetap khawatir dengan menguatnya politik identitas atas nama agama serta berkembangnya kelompok intoleran di Indonesia. Daerah bekas konflik, seperti Maluku, kini teruji. Pemerintah diharapkan bersikap tegas terhadap gerakan yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa itu.
Belajar dari Ambon
Dalam acara silaturahim dan dialog lintas tokoh agama Kota Ambon bertajuk ”Pesan Damai dari Ambon untuk Indonesia” yang digelar oleh Pemerintah Kota Ambon pada Selasa (8/12/2020), Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta KH Nasaruddin Umar mengajak segenap anak bangsa agar belajar dari pengalaman Kota Ambon. Konflik yang telah membawa kesengsaraan jangan sampai terulang lagi dimana pun.
Ia juga mengaku bangga kerukunan yang terjadi di Ambon setelah konflik. Hal itu ia temukan saat Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tahun 2012 di Ambon. Panitia MTQ saat itu berasal dari semua agama. Yang paling berkesan bagi Nasaruddin adalah peserta MTQ dari Provinsi Banten diterima untuk tinggal kantor Litbang Keuskupan Amboina. ”Mereka ngaji dengan suara yang sangat merdu dan keras di gedung litbang,” ujarnya.
Cerita tentang kerukunan di Ambon, lanjut Nasaruddin yang pernah menjadi pejabat di Kementerian Agama, itu sering menjadi ”jualan” mereka ketika memperkenalkan kerukunan Indonesia kepada dunia Internasional. Dunia pun kagum pada kerukunan di Indonesia. Menurut dia, Maluku merupakan miniatur Indonesia. Sejumlah negara, seperti Myanmar, pernah datang belajar cara penyelesaian konflik di Ambon.
Baca juga: Ambon Tempat Belajar Kerukunan Bangsa
Dosen Institut Agama Islam Negeri Ambon sekaligus pegiat perdamaian, Abidin Wakano, dalam sejumlah kesempatan mengatakan, saling mengasihi merupakan budaya orang Maluku yang terwariskan sejak turun-temurun. Itu ada dalam berbagai ungkapan, seperti sagu ”salempeng dipatah dua, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta”.
Akan tetapi, Abidin selalu mengingatakan akan segregasi yang tercipta pascakonflik. Segregasi tempat tinggal berdasarkan komunitas agama dapat berpengaruh pada segregasi pemikiran. Diperlukan gerakan bersama untuk mengikis segregasi itu dengan berbagai cara, seperti perjumpaan sosial dan membangun rasa saling percaya.
Eklin bersama teman-temannya mulai mengikis segregasi itu dengan dongeng damai dan perbuatan kasih dengan saling berbagi. Kasih yang telah mereka tunjukkan itu melampaui batas, tidak memilih dan memilah. Itulah kasih yang sesungguhnya, tanpa syarat.