Sejumlah nelayan di Roban Timur, Desa Sengon, Kecamatan Subah, Batang, Jawa Tengah, mengeluhkan adanya batubara yang ikut terjaring saat mereka melaut. Batubara itu mengontaminasi ikan dan merusak jaring.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
BATANG, KOMPAS — Sejumlah nelayan di Batang, Jawa Tengah, mengeluhkan bongkahan batubara yang ikut terjaring dan merusak alat tangkap mereka. Pemerintah daerah berjanji melindungi nelayan dan mengusut persoalan tersebut.
Lebih kurang sepekan terakhir, sejumlah nelayan di Roban Timur, Desa Sengon, Kecamatan Subah, Batang, mengeluhkan batubara yang ikut terjaring saat mereka menangkap ikan. Ukuran batubara yang terjaring beragam, mulai dari seukuran kelereng hingga buah kelapa.
Selain rentan mengontaminasi air, batubara tersebut juga membuat alat tangkap nelayan rusak. Kerugian yang ditanggung berpotensi mencapai jutaan rupiah.
”Jaring itu, kalau sudah rusak, biaya perawatannya bisa sampai Rp 1,5 juta. Kalau jaring rusak, kami tidak bisa melaut dan biaya yang dikeluarkan untuk membeli perbekalan sebesar Rp 200.000 per hari juga sia-sia,” kata Wahyono (46), nelayan Roban, saat dihubungi, Selasa (22/12/2020).
Wahyono menuturkan, batubara di perairan Batang muncul setelah ada uji coba operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang. Selama uji coba, tiga tongkang pengangkut batubara, dilihat Wahyono, sedang bongkar muat di sekitar PLTU.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Batang Teguh Tarmujo mengatakan sudah mendengar kabar terkait temuan batubara di jaring nelayan Batang. Namun, dia belum mendapat laporan resmi dari para nelayan terkait peristiwa tersebut.
”Sementara ini memang ada rumor, tetapi belum ada laporan resmi. Kalau sudah ada laporan, nanti kami data dan cari solusinya,” ujar Teguh.
Wahyono enggan melapor ke HNSI karena menilai laporan dari nelayan tidak ditanggapi serius. Mekanisme pelaporan dinilai rumit sehingga para nelayan Roban lebih memilih mengunggah keluhan mereka di media sosial.
”Kami pernah berembuk dengan HNSI, tetapi tidak ada jalan temu. Katanya, kalau ada jaring rusak mau diganti, tetapi jalannya panjang dan repot. (Kami) harus tukaran (berdebat) dulu, jadi malas,” ucap Wahyono.
Bupati Batang Wihaji berjanji mencari tahu duduk persoalan terkait keberadaan batubara di perairan Batang. Menurut Wihaji, pemerintah akan melindungi nelayan agar tidak merugi dan mengusut persoalan tersebut.
”Saya sudah perintahkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan untuk mencari tahu dari mana datangnya batubara itu. Siapa yang membuang atau membuat batubara itu tercecer, kalau memang itu tercecer,” tuturnya.
Wihaji menambahkan, ia juga akan mengecek ada atau tidaknya hubungan kemunculan batubara di perairan Batang dengan uji coba PLTU Batang. Dalam mengusut persoalan ini, Pemkab Batang akan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti pengelola PLTU Batang dan Pemprov Jateng.
PLTU Batang dikelola PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). Dikonfirmasi secara terpisah, General Manager Community and Government Relation BPI Ary Wibowo mengatakan, PLTU Batang masih dalam proses pembangunan sehingga aktivitas pengiriman batubara di tempat tersebut masih terbatas.
”Sebagai obyek vital, kawasan PLTU Batang memiliki kawasan steril, sekitar 2,5 kilometer dari bibir pantai yang digunakan sebagai kawasan pelabuhan khusus. Nelayan tidak boleh masuk atau melakukan aktivitas di kawasan steril itu maupun alur pelayaran yang sudah ditetapkan sesuai peraturan yang berlaku,” katanya.
Menurut Ary, pihaknya sudah menyosialisasikan peraturan tersebut kepada para nelayan secara berkala. Ary menambahkan, PLTU Batang berkomitmen untuk melestarikan lingkungan laut dengan membangun rumah ikan di sejumlah titik di perairan Ujungnegoro hingga Roban serta memasang terumbu karang buatan di Karang Maeso dan Karang Bapang.